in

BPOM Keluarkan Daftar Obat Yang Mengandung EG dan DEG Tinggi

Lies Dina Liastuti.(NET)

RSUP dr Cipto Mangunkusumo (RSCM) sudah mendapati enam pasien acute kidney injuri( AKI) terpapar Etilon Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG). Pada kesempatan lain, Badan Pengawas Obat dan Makan (BPOM) telah mengumumkan lima obat sirup yang mengandung EG dan DEG. Namun, penyebab AKI hingga kini belum diketahui.

Direktur Utama RSUP dr Cipto Mangunkusumo (RSCM) Lies Dinaliastuti menyatakan angka kematian pasien acute kidney injury (AKI) atau gangguan ginjal akut misterius mencapai 63 persen. Dari Januari hingga kemarim rumah sakitnya merawat 49 anak. “Hanya tujuh anak yang sembuh dam 11 masih dirawat,” tuturnya kemarin (20/10).

Sejauh ini, pasien AKI termuda yang dirawat RSCM berusia 8 bulan. Sedangkan tertua 8 tahun. Rata-rata datang dalam kondisi yang gawat dan membutuhkan cuci darah atau hemodialisa. Pasien sudah tidak bisa kencing.

Jangan ditanya hasil laboratoriumnya, sebab kreatinnya sudah pasti tinggi. Untuk pasien sembuh, rata-rata dirawat selama tiga minggu. Gagal ginjal akut menurutnya biasa terjadi baik pada dewasa maupun anak-anak.

Pada mulanya dokter-dokter di RSCM sempat bingung dengan pasiennya yang datang karena berkemihnya sedikit atau tidak sama sekali, namun ketika diperiksa ginjalnya dengan USG tidak menunjukkan gangguan.

Pasien rujukan datang lebih banyak sejak Agustus. Pada bulan itu ada delapan kasus yang ditangani. Sebulan setelahnya 20 anak datang dalam kondisi serupa. Sementara itu di Gambia, Afrika Barat, dilaporkan anak-anak mengalami AKI yang disebabkan oleh kandungan Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG) pada paracetamol sirup. “Lalu dilakukan penelitian dengan ambil darah dan urin serta cari obat yang telah diminum,” ujar Lies.

Hingga kini, penelitian itu masih berlangsung. Lies menegaskan bahwa semua belajar dari Gambia. Termasuk pada kecurigaan pada obat yang mengandung bahan kimia tersebut. Namun hingga kemarin, dari 49 pasien ada enam yang terdapat kandungan EG dan DEG dalam penelitiannya.

Pengobatan untuk mengurangi gejala yang timbul diberikan. Yang terbaru, RSCM minta izin kepada Kemenkes untuk mengimpor antidotum atau penawar. Mereka mendapatkan saran dari beberapa peneliti dan jurnal imiah, ada penawar yang bisa diberikan. “Selasa lalu (18/10) baru sampai 10 vial,” katanya.

Obat ini rencananya diberikan pada 11 pasien. Pemberian tergantung usia dan bobot pasien. “Belum bisa lihat hasilnya karena baru 48 jam,” ujarnya. Penawar ini menurutnya bukan obat baru. Khasiatnya bisa mengikat EG dan DEG. “Belum terlihat pulih total,” ujarnya.

Di lain tempat, RSUD dr Soetomo mencatat ada 59 kasus AKI pada anak per 6 Agustus. Rinciannya, 45 kasus AKI yang diketahui penyebabnya. Sementara, 14 kasus merupakan AKI misterius. Sebanyak 10 kasus di antara 14 AKI misterius tersebut meninggal.

“Saat ini, masih ada 1 pasien yang dirawat. Usianya satu tahun asal Pasuruan,” kata Wakil Direktur Pelayanan Memdik dan Keperawatan RSUD dr Soetomo (RSDS) Prof Dr dr Anang Endaryanto SpA (K).

Anang menjelaskan, kasus AKI misterius pada anak tersebut hingga saat ini belum diketahui penyebabnya. Lantaran itu, treatment yang diberikan disesuaikan dengan standar tata laksana yang ada.

Angka kematian dari AKI misterius juga terbilang tinggi. Rata-rata terjadi pada pasien usia di bawah 11 tahun. Mayoritas balita. “Kalau dari total kasus AKI misterius di RSDS persentase kematiannya di atas 70 persen,” ujarnya.

Anang menyebutkan, banyak menganggap anak dengan kasus AKI misterius meninggal karena parasetamol atau obat-obatan sirup. Namun, pada kasus yang ditangani RSDS, ada beberapa pasien yang sembuh tersebut sebelumnya diberi paracetamol oleh orang tuanya. “Dan bisa sembuh. Artinya, dugaan karena konsumsi paracetamol belum valid,” kata dia.

Dokter Spesialis Anak Konsultan Ginjal RSUD dr Soetomo dr Muhammad Riza Kurniawan SpA (K) mengatakan, 14 pasien AKI misterius yang dirawat sejatinya memiliki gejala yang sama dengan kasus AKI pada umumnya.

Anak dengan gangguan ginjal akut biasanya memiliki banyak komplikasi. Rata-rata pasien yang datang ke RSDS sudah dalam kondisi penurunan kesadaran, awalnya juga disertai demam, tiba-tiba anak tidak kencing.

“Langsung dilakukan cuci darah dan pemberian antibiotic hingga pemeriksaan sesuai dengan tata laksana. Namun, hasilnya negatif (tidak diketahui penyebabnya),” ujarnya.

Berbeda dengan 45 kasus AKI yang gejala dan penyebabnya ditemukan. Mereka bisa dilakukan treatment dan pengobatan sesuai dengan penyebab kasus AKI tersebut. Namun, berbeda dengan AKI misterius yang terjadi pada 14 pasien di RSDS.

Secara nasional, jumlah kasus AKI yang tercatat di Kementerian Kesehatan hingga berita ini ditulis adalah 206 anak dengan 99 diantaranya meninggal dunia. Kemarin Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menuturkan bahwa bisa jadi kasus lebih banyak.

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menuturkan bahwa kementeriannya mendapatkan data dari rumah sakit dan laporan IDAI. Dia menyadari bahwa data yang dimiliki tidak realtime.

Tergantung rumah sakit dan IDAI melaporkan kepada Kemenkes atau belum. “Sejak imbauan kewaspadaan banyak laporan dari daerah. Tapi tentu perlu kami validasi apakah gagal ginjal akut yang biasa atau gangguan ginjal ini,” ujarnya.

Sementara itu penelitian obat yang mengandung EG dan DEG terus berlangsung. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengumumkan hasil penelitiannya pada sampel obat yang diduga mengandung EG dan DEG pada 26 obat sirut di 39 bets.

Lima diantaranya melebihi ambang batas. Yakni Termorex Sirup produksi PT Konimex dengan nomor izin edar DBL7813003537A1, Flurin DMP Sirup produksi PT Yarindo Farmatama dengan nomor izin edar DTL0332708637A1, dan Unibebi Cough Sirup produksi Universal Pharmaceutical Industries dengan nomor izin edar DTL7226303037A1.

Ada juga Unibebi Demam Sirup dengan nomor izin edar DBL8726301237A1 dan nomor izin edar DBL1926303336A1. yang diprodukso Universal Pharmaceutical. BPOM telah memberitahu industri yang membuat obat itu untuk menarik seluruh obat sirup tersebut. Industri pun dipekernankan untuk melakukan pengujian secara mandiri.

Masih dalam keterangan BPOM, sirup obat yang diduga mengandung cemaran EG dan DEG kemungkinan berasal dari empat bahan tambahan yaitu propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan gliserin atau gliserol.

Empat bahan ini bukan merupakan bahan yang berbahaya atau dilarang digunakan dalam pembuatan sirup obat. Namun, sesuai Farmakope dan standar baku nasional yang diakui, ambang batas aman atau Tolerable Daily Intake (TDI) untuk cemaran EG dan DEG sebesar 0,5 mg/kg berat badan per hari.

Meski demikian, hasil uji cemaran EG tersebut bukan berarti penggunaan sirup obat tersebut memiliki keterkaitan dengan kejadian gagal ginjal akut. Sebab masih ada beberapa faktor risiko yang masih diteliti.

Desak Pemerintah Bersikap Tegas

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mendesak pemerintah mengambil sikap tegas. Salah satu solusinya adalah mencari pengganti dari paracetamol sirup yang selama ini sering dikonsumsi anak-anak. “Pilihannya hanya boleh atau tidak boleh. Jika dianggap tidak boleh, maka buat larangan segera. Bukan imbauan lagi. Jadi tidak, abu-abu,” kata Dasco.

Jika sudah ada larangan tegas, kata Dasco, pemerintah harus membuat keputusan soal obat alternatif. Sebab, selama ini paracetamol sudah menjadi kebutuhan pokok terhadap berbagai penyakit di keluarga.

Dengan cara itu, lanjutnya, masyarakat tidak dibuat bingung terkait kebutuhan obat untuk keluarga. Dasco mengatakan, ketidaktegasan pemerintah akan menimbulkan berbagai reaksi negatif dan fitnah. “Harus ada keputusan tegas, sehingga tidak simpang siur,” tegas Ketua Harian Partai Gerindra itu.

Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Emanuel Melkiades Laka Lena mengatakan, Kemenkes, BPOM, dan IDAI harus segera duduk bersama memberikan keterangan kepada publik, sehingga masyarakat mempunyai gambaran yang jelas terkait kasus gagal ginjal akut misterius pada anak. “Kami mendorong tiga pihak ini duduk bersama dalam waktu yang secepat-secepatnya,” ujarnya.

Melki menyatakan, saat ini pemerintah telah meminta seluruh apotek untuk menyetop sementara penjualan obat bentuk cair atau sirup. Namun, dia berharap ada batasan waktu terhadap diskresi tersebut.

Menurutnya, sebenarnya penggunaan etilen glikol dan dietilen glikol memang sudah dilarang, tapi kemudian di lapangan ditemukan cemaran pada gliserin atau propilen glikol. Hal itu menjadi masalah karena diduga berkaitan dengan gagal ginjal akut misterius. “Ini semua butuh penjelasan hasil investigasi yang betul-betul bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah kepada publik,” jelas Melki.

Dia mendorong BPOM untuk memberikan informasi yang tegas dan jelas terkait kandungan bahan berbahaya pada obat-obatan yang beredar itu, agar tidak terjadi kesimpangsiuran informasi yang membingungkan dan meresahkan di tengah masyarakat.

Anggota Komisi IX DPR Lucy Kurniasari meminta BPOM bertanggung jawab. Menurut dia, persoalan itu tidak akan terjadi jika BPOM melaksanakan fungsinya dengan benar. Sebab, salah satu fungsi BPOM melaksanakan pengawasan obat dan makanan sebelum dan selama beredar.

Karena itu, BPOM harus memastikan semua obat yang beredar di masyarakat sudah aman, berkualitas, dan bermanfaat. “Kalau ada obat legal yang beredar tidak memenuhi standar tersebut, maka hal itu berkaitan langsung dengan tidak berjalannya fungsi pengawasan BPOM dengan baik,” ungkapnya.

Untuk itu, kata Lucy, BPOM harus bertanggung jawab atas izin edar suatu obat yang telah dikeluarkannya. Badan itu harus mengevaluasi kembali prosedur pengeluaran izin edar obat di Indonesia. Hal itu perlu dilakukan agar kasus seperti obat sirup paracetamol tidak terulang lagi.

Ketua Pengurus Harian Lembaga Yayasan Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi ikut menyoroti keberadaan obat-obatan sirup pemicu sakit ginjal pada anak-anak. Dia mengatakan Kemenkes dan BPOM tampak ambigu dengan langkah dan kebijakan yang diambil.

Menurut dia sikap dan pernyataan Kemenkes sampai saat ini kurang tegas. “Karena hanya meminta masyarakat untuk tidak mengonsumsi obat panas cair berupa sirup yang diduga menjadi penyebab (penyakit ginjal),” katanya kemarin.

Menurut dia semestinya Kemenkes maupun BPOM melakukan recalling atau penarikan obat-obat berbahaya atau tercemar tersebut dari peredaran. Hingga saat ini Tulus belum melihat upaya penarikan tersebut.

Tulus berharap Kemenkes atau BPOM transparan kepada publik. Kalaupun obat-obatan penyebab kasus serupa di Gambia tidak beredar di Indonesia, kenapa kasus kerusakan ginjal pada anak-anak di Indonesia sangat tinggi. Bahkan sampai ada kasus yang merenggut korban jiwa. “Ini menjadi hal yang sangat aneh dan pertanyaan serius,” tuturnya.

Tulus mengatakan YLKI meminta pemerintah bergerak cepat dan sinergis dalam menangani kasus obat-obatan berbahaya tersebut. Pemerintah harus bisa memberikan perlindungan yang menyeluruh pada masyarakat. Apalagi korban dari peredaran obat teremar tersebut adalah anak-anak yang sejatinya masuk kelompok rentan dan harus dilindungi.

Dia juga mengatakan produsen farmasi harus mengganti atau memberikan kompensasi atas produk obatnya yang tercemar kandungan berbahaya. Kompensasi itu diberikan kepada konsumen perorangan yang sudah membeli, maupun kepada apotek atau toko obat. (wan/lum/ayu/lyn/jpg)

What do you think?

Written by Julliana Elora

Jumat Berkah Andre Rosiade Sampai ke Muaro Paneh Kabupaten Solok

Tim Inovasi PT Semen Padang di Ajang Internasional Dibekali Bahasa Inggris