Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin bersuara keras terkait munculnya akun Facebook dengan nama Charlie Heboh.
Mirip namanya itu, pemilik akun Facebook itu mengunggah gambar-gambar karikatur senada atau mirip dengan karikatur Nabi Muhammad yang menggegerkan dunia, buatan majalah satir terbitan Prancis Charlie Hebdo (baca: Sharlie Ebdo). Karikatur Charlie Heboh itu membuat satir yang seolah menyamakan orang Muslim sebagai teroris.
Menteri Agama meminta aparat kepolisian menindak pemilik akun Facebook itu. Sekaligus juga orang-orang yang terlibat dalam pembuatan dan penebaran karikatur tersebut. Ia menganggap perbuatan penyebaran karikatur itu merupakan bentuk penyalahgunaan kebebasan berpendapat untuk menista agama Islam. Kapolri Badrodin Haiti segera merespon dengan janji Badan Reserse Kriminal Mabes Polri akan mengusut kasus tersebut.
Tahun lalu Kapolri mengeluarkan Surat Edaran soal cara menangani hate speech atau ujaran kebencian. Ujaran kebencian merupakan upaya menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu atau kelompok atas dasar suku, agama, aliran keagamaan, keyakinan atau kepercayaan, hingga ras dan orientasi seksual.
Indonesia memang masih rentan ancaman konflik karena isu SARA. Tapi kita juga melihat standar ganda dari para petinggi dan aparat penegak hukum. Jika para petinggi negeri ini resah dengan munculnya akun Facebook maupun majalah Charlie Heboh, kita tidak melihat sikap seperti itu saat ujaran kebencian muncul dari kelompok-kelompok intoleran seperti FPI dan gerombolan sejenisnya.
Kelompok-kelompok intoleran seperti FPI dan kelompok sejenis rasanya jauh lebih berbahaya dibanding majalah atau akun Facebook Charlie Heboh. Mereka tidak hanya menebar kebencian terhadap kelompok tertentu seperti Ahmadiyah, Syiah, dan lain-lain, tapi juga melakukan tindakan paksa. Mereka membubarkan, menekan aparat daerah dan membuat aparat kepolisian ketakutan. Seolah jadi pemilik negeri ini.
Apa bedanya Charlie Hebdo, Charlie Heboh dan FPI dan sejenisnya? Mereka sama-sama menebar kebencian. Hanya yang satu mengatasnamakan kebebasan berpendapat, yang lain mengatasnamakan kebenaran agama. Lantas, mengapa menindak satu pihak dan membiarkan pihak lain?