Daan Goppel mengaku jatuh cinta setengah mati pada apa pun yang berbau Indonesia. Tidak hanya fasih berbahasa Indonesia, atau sekadar gemar berbagai kuliner khas Indonesia, bule kelahiran Amsterdam ini bahkan rela menjadi tukang becak untuk mempromosikan Indonesia di kota kelahirannya.
Setiap akhir pekan dan musim liburan datang, akan menjadi waktu bagi Daan untuk “narik” becak keliling Amsterdam. Penumpangnya rata-rata adalah wisatawan, baik domestik maupun wisatawan mancanegara asal Indonesia dan negara lainnya yang tengah berwisata ke Belanda. Rute kayuhan becaknya juga tidak sembarangan.
Daan hanya mengantar wisatawan ke situs-situs kuno yang ada kaitannya dengan sejarah Indonesia-Belanda. Maklum saja, kedua negara itu memiliki sejarah sangat panjang, di mana Belanda pernah menjadi penjajah di Tanah Air kita. Becak itu pun sengaja didatangkan Daan dari Yogyakarta beberapa tahun lalu.
Ia menghabiskan uang yang tidak sedikit untuk becak ini. Daan harus merogoh kantong sebesar empat juta rupiah hanya untuk pembuatan becak. “Saya pesan yang kursinya lebar dan atapnya lebih tinggi karena orang bule besar-besar,” kata Daan saat ditemui di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan, pekan lalu.
Belum lagi biaya mengecat becak sebesar 2,5 juta rupiah, empat juta lagi dikeluarkan untuk membayar biaya ekspedisi Jakarta–Belanda, dan 12 juta rupiah untuk membayar pajak masuk di Belanda. “Saya sampai pinjam uang orang tua saya sebanyak 1.900 euro untuk menambah kekurangannya,” ungkap pria yang sehari-hari menjadi pegawai negeri salah satu instansi pemerintahan di Amsterdam itu.
Dalam sekali tarikan becak, pria yang ingin disapa Dani ini menetapkan tarif 65 euro atau sekitar 700 ribu rupiah setiap orangnya untuk sebuah rute wisata bersejarah selama 2,5 jam. “Tidak hanya jalan-jalan, wisatawan juga akan disuguhi spekuk dan teh jahe untuk menemani perjalanan,” ungkap Daan. Daan mengaku sangat mencintai Indonesia.
Sedikitnya, ia sudah lima kali bolak-balik Belanda–Indonesia, terutama untuk mengunjungi daerahdaerah wisata Yogyakarta, Bandung, dan Maluku. “Saya juga sempat tinggal sementara di Condet, Jakarta Timur,” ujar pria yang sering dijuluki Bule Condet oleh teman-temannya ini. Ia juga sangat fasih berbahasa Indonesia.
Bahkan, Daan menjadi salah satu warga negara asing yang diundang Presiden Joko Widodo pada upacara peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia di Istana Negara pada 17 Agustus lalu. Daan menjadi satu dari 50 warga negara asing yang menjadi pemenang lomba pidato berbahasa Indonesia.
Lomba tersebut digelar Kedutaan Besar Indonesia di 18 negara, salah satunya Belanda. Daan, yang pernah sengaja belajar bahasa Indoensia selama dua bulan di Universitas Indonesia ini, kemudian berhasil menjadi pemenang dari Belanda. “Saya dapat hadiah, yaitu tiket ke Indonesia, sangat menyenangkan,” serunya.
Ketertarikan Daan kepada Indonesia salah satunya adalah karena sejarah panjang kedua negara. “Saya suka belajar sejarah, dan suka belajar bahasa Indonesia,” katanya. Di mata Daan, Indonesia merupakan negara yang hebat dengan bahasanya yang mampu mempersatukan begitu banyak pulau, suku, ras, dan daerah.
“Biasanya negara jajahan selalu mewarisi bahasa penjajahnya untuk digunakan sehari-hari meskipun telah merdeka. Tapi Indonesia tidak, Indonesia tetap menggunakan bahasanya sendiri dan tidak pakai bahasa Belanda,” tegasnya. Meski sudah terhitung fasih, namun Daan mengaku masih harus banyak belajar lagi tentang bahasa Indoensia.
Ia mengaku masih sering kesulitan mengucapkan huruf R dan sering tertukar-tukar dalam penggunaan kata-kata tertentu. “Saya pernah salah menyebut kelapa desa, padahal maksudnya kepala desa. Atau pernah juga salah mengucap bintang film menjadi binatang film,” selorohnya. Selain bahasa, Daan juga menggemari berbagai kuliner khas Indonesia, seperti sate, gado-gado, dan nasi goreng. “Dan jangan lupa kerupuk!” seru bule yang kerap disapa Mister Gado-gado juga oleh teman-temannya ini. cit/E-3