in

Daya Beli Masyarakat Semakin Merosot

Fluktuasi Harga I Deflasi 3 Bulan Beruntun Adalah Pertama Kalinya dalam 21 Tahun Terakhir

» Inflasi inti yang tetap rendah menandakan pengaruh permintaan domestik belum kuat.

» Kalau deflasi berlanjut akan mematikan produsen karena tidak sanggup jual rugi produknya.

JAKARTA – Penurunan harga (deflasi) yang terjadi dalam tiga bulan berturut-turut mulai dari Juli, Agustus, dan Sep­tember menunjukkan daya beli masya­rakat terus merosot. Kemerosotan daya beli itu karena kebijakan membatasi aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat untuk mencegah meluasnya penyebar­an wabah Covid-19.

Badan Pusat Statistik (BPS) menca­tat deflasi tiga bulan berturut-turut me­rupakan pertama kalinya dalam 21 ta­hun terakhir sejak September 1999. Saat itu, akibat krisis moneter deflasi bahkan terjadi tujuh bulan berturut-turut dari Maret hingga September 1999.

Untuk tahun ini, Kepala BPS, Kecuk Suhariyanto, dalam video konpersnya di Jakarta, Kamis (1/10), mengatakan de­flasi pada September 0,05 persen, sama dengan Agustus 0,05 persen, sedangkan pada Juli deflasi 0,10 persen.

“Hal yang perlu diwaspadai adalah inflasi inti yang turun sejak Maret. Itu menunjukkan daya beli masih sangat-sangat lemah,” kata Suhariyanto.

Direktur Eksekutif Departemen Ko­munikasi Bank Indonesia (BI), Onny Wi­djanarko, dalam keterangannya menga­takan inflasi inti September 2020 tercatat rendah 0,13 persen secara bulanan atau month to month (mtm), menurun diban­dingkan dengan inflasi bulan sebelum­nya sebesar 0,29 persen (mtm). Secara tahunan atau year on year (yoy), inflasi inti tercatat tetap rendah 1,86 persen, melambat dibandingkan dengan inflasi Agustus 2020 sebesar 2,03 persen (yoy).

“Inflasi inti yang tetap rendah tidak terlepas dari pengaruh permintaan do­mestik yang belum kuat,” kata Onny.

Secara terpisah, Kepala Badan Kebijak­an Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Febrio Nathan Kacaribu, mengakui ekonomi belum pulih dan pro­sesnya tidak secepat yang dibayangkan.

Core inflasinya belum negatif, tapi makin kecil. Ini menunjukkan permin­taan belum pulih secepat yang diba­yangkan,” kata Febrio dalam konferensi pers virtual.

Dengan mengacu pada lemahnya daya beli masyarakat, pemerintah ma­sih melanjutkan pemberian bantuan hingga tahun depan.

Mematikan Produsen

Menanggapi kondisi tersebut, Pakar Ekonomi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Bhima Yudhistira, mengatakan deflasi yang berturut-turut merupakan sinyal sisi permintaan terus tertekan karena menurunnya pendapat­an secara agregat. Hal itu sebagai gam­baran perilaku masyarakat yang me­nurunkan belanja dan memperbanyak tabungan, sehingga produsen memberi­kan diskon atau menjual dengan harga di bawah biaya pokok produksi.

“Tren ini kalau terus berlanjut akan mematikan produsen yang tidak sang­gup lagi menjual rugi produknya. De­flasi yang berkelanjutan pun bisa meng­arah pada indikasi depresi ekonomi, jadi kita tidak sedang menghadapi resesi tapi depresi,” kata Bhima.

Stimulus termasuk bantuan sosial (bansos) memang penting, tetapi yang di­salurkan saat ini baru menyasar masyara­kat berpenghasilan menengah ke bawah. Padahal porsi menengah bawah dalam total belanja masyarakat kecil sekali. Porsi belanja terbesar, justru masyarakat mene­ngah ke atas yakni 83 persen. Kelas mene­ngah atas itu, jelasnya, baru mulai belanja kalau pandemi tertangani dengan baik.

Kalau kasus positif Covid-19 masih cukup tinggi, masyarakat kelas mene­ngah atas cenderung menahan belanja dan menabung di bank. “Jadi, kuncinya di penanganan pandemi untuk men­stimulus konsumsi masyarakat,” jelasnya.

Lebih Parah

Sementara itu, Ekonom Universitas Kebangsaan, Eric Sugandi, mengatakan lemahnya daya beli tersebut dapat di dorong dengan memberikan stimulus fiskal di mana seperti dilihat besaran bantuan sosial masih relatif sedikit.

“Besaran bantuan langsung tunai dan bansos per rumah tangga relatif ti­dak besar. Selain itu, dananya belum se­luruhnya tersalurkan,” ujarnya.

Secara terpisah, Pakar Ekonomi dari Universitas Brawijaya, Malang, Mu­nawar Ismail, mengatakan deflasi ber­turut-turut menunjukkan stimulus yang dikeluarkan pemerintah belum cukup untuk mengatasi krisis yang terjadi.

“Stimulus hanya bisa menjaga agar daya beli tidak merosot terlalu dalam. Seandainya tidak ada bantuan tunai itu, tentu daya beli jatuh lebih parah lagi. Bantuan tunai belum mampu mengim­bangi merosotnya daya beli secara ke­seluruhan,” tutupnya. n uyo/SB/E-9

What do you think?

Written by Julliana Elora

Kementerian Luar Negeri Rumuskan Kurikulum Batik untuk Para Diplomat

Satu Keluarga di Mata Air Sakit, Andre Kirimkan Bantuan Langsung