Kamis (09/11/2016) Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh Periode 2017-2022, menandatangani deklarasi pilkada damai dan berintegritas, di Aula Mapolda Aceh. Dalam deklarasi tersebut, seluruh calon berkomitmen untuk mensukseskan pilkada, dengan semangat persaudaraan dan persatuan sehingga Pilkada Aceh berlangsung sukses.
Deklarasi pilkada damai merupakan kegiatan rutin yang dibuat tiap kali pemilu dihelat. Ia masuk agenda penting dengan semangat untuk mewujudkan suasana kondusif menjelang dan saat pemilihan berlangsung.
Banyak pihak berharap agar pada pilkada kali ini, Aceh benar-benar mampu berdemokrasi secara jujur, damai, berintegritas dan berkualitas. Untuk itu pula penyelenggara seperti KIP dan Panwaslih diminta untuk tidak bermain mata dengan salah satu kandidat, demi tercapainya pemilu yang benar-benar berintegritas.
Selain itu, para kandidat yang bertarung pun diminta untuk benar-benar bekerja sesuai dengan aturan main. Tidak ada upaya untuk menghegemoni antar sesama. Namun sepertinya harapan ini masih seperti berharap garam mampu bertahan di tengah derasnya hujan.
Di Pidie, bendera Partai Aceh dibakar di halaman Kantor Partai Aceh di Kecamatan Kembang Tanjong, Pidie, Rabu (2/11/2016) sekitar pukul 11.00 WIB.
Sebelumnya bendera Partai Nasional Aceh (PNA) dan baliho calon gubernur Aceh, Irwandi Yusuf dan calon wakil gubernur Aceh, Nova Iriansyah dirusak di posko pemenangan Irwandi Yusuf.
Walau saling klaim tentang siapa yang terzalimi dan dizalimi, kedua kelompok ini berhasil di damaikan oleh aparat hukum.
Kemudian, tidak berselang lama satu unit mobil Opel Blazer warna hitam-silver nopol BK 1411 BL milik Sekjend Seuramoe Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah Pidie, Muhammad (41 tahun) yang menjabat Ketua Forkab Pidie, hangus dibakar OTK, Jumat (11/11/2016) sekitar Pukul 05.00 WIB.
Ibrahim (48), tim pemenangan pasangan calon Irwandi Yusuf – Nova Iriansyah, ditembak orang tak dikenal (OTK), menggunakan senjata laras panjang. Diduga jenis AK 47, di Desa Cot Cantek, Kecamatan Sakti, Kabupaten Pidie, Sabtu (12/11/2016). Dari empat peluru yang dilepaskan, tidak satupun yang berhasil mengenai tubuhnya. Tersiar kabar bahwa ini motif pribadi. Pun demikian, tindak kekerasan dengan senpi ini telah ikut menimbulkan percikan api pada pilkada.
Tiga kasus di atas kiranya cukup untuk mewakili puluhan kekerasan kecil di tiap kabupaten/kota di Aceh, seperti perusakan baliho, teror sesama timses dan lainnya.
Banyak yang bertanya, apakah pilkada 2017 masih haus darah layaknya helatan yang sama di tahun lampau? Tentu tidak ada jawaban pasti. Semua tergantug komitmen bersama, juga sangat tergantung pada kemampuan penegak hukum dalam mereduksi kekerasan, serta kemauan dari penyelenggara, maukah mereka fair play kali ini?
Trend penggunaan senjata api sudah mulai dinampakkan ke publik. Ini ada semacam warning bahwa pilkada di Aceh masih berpeluang menuai tumbal nyawa. Dari beberapa info yang saya terima, memang penggunaan senpi sebagai bentuk “gertak politik” masih sangat berpotensi terulang.
Kapolda Aceh, Rio Septianda Djambak, (9/12/2016) mengatakan hingga sepekan lebih kran kampanye dibuka, kondisi keamanan di Aceh berlangsung kondusif. Meski beberapa kejadian yang mengakibatkan gangguan kamtibmas terjadi, namun polisi bersama Forkopimda daerah mampu mendinginkan suasana.
Ia berharap para kandidat dan tim pemenangan, bekerja sesuai dengan aturan yang berlaku. Harapan yang sama juga disampaikan oleh Plt Gubernur Aceh, Soemarmo. Ia meminta penyelenggara dan peserta pilkada bekerja sesuai aturan.
Tentu, himbauan mereka (para pejabat) merupakan harapan yang seyogianya dipatuhi. Para peserta pilkada dan timsesnya harus menghormatinya.
Pun demikian, kita semua pantas berharap, baik Kapolda maupun Plt Gubernur Aceh, tidak bicara formalitas saja. Bila ada yang melanggar, maka harus dilibas. Tidak ada anak tiri dan anak kandung. Karena siapapun yang tidak patuh, merupakan musuh bersama, siapapun dia. Polisi pun harus mampu memutus mata rantai peredaran senpi ilegal. Juga benar-benar mampu memastikan tidak ada pihak yang mempersenjatai antar pendukung kandidat.
Trend kekerasan semakin menggejala. Polisi dan dibantu oleh TNI harus benar-benar hadir untuk menekan dan menghilangkan sumbernya. Bila tidak, demokrasi Aceh masih tetap di bawah ancaman. Bila sudah demikian siapa yang akan rugi?