in

Dinamika dan Konsepsi Perundingan Perubahan Iklim

Johar Arifin & Taufik AkbarOleh: Dr. Johar Arifin, S.IP., M.P.M.*) dan Taufik Akbar, S.IP., M.A.**)

Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim (United Nations Framework on Climate Change Conference/UNFCCC) ditandatangani tanggal 14 Juni 1992 dan mulai diberlakukan pada 21 Maret 1994. Saat ini, sebanyak 197 negara telah meratifikasi Konvensi tersebut. Selama tiga puluh tahun sejak ditandatangani, perundingan perubahan iklim dalam kerangka UNFCCC telah membahas banyak agenda utama dan menghasilkan sejumlah kesepakatan progresif dalam penanganan perubahan iklim. Perundingan dalam kerangka UNFCCC memiliki berbagai rangkaian kegiatan yang terbagi dalam beberapa submisi/kelompok bidang baik pembahasan agenda utama, agenda khusus, maupun penyelenggaraan side event berupa workshop, expert meeting, serta pelatihan untuk kepentingan penanganan perubahan iklim. Banyaknya agenda kegiatan tersebut merupakan langkah progresif dari UNFCCC untuk dapat mengakomodasi semua stakeholder, tidak hanya dari pihak pemerintah namun juga non-pemerintah (observer) untuk berpartisipasi dalam perundingan dan membahas penanganan perubahan iklim dunia guna menghasilkan kesepakatan yang nyata dan komprehensif.

Partisipasi dalam Perundingan Perubahan Iklim
Banyaknya rangkaian kegiatan dalam perundingan UNFCCC memberikan tantangan berat bagi Negara Pihak, observer, ataupun Sekretariat UNFCCC sendiri. Untuk dapat berpartisipasi dan menyuarakan kepentingannya pada setiap submisi/kelompok bidang dalam berbagai rangkaian perundingan UNFCCC, Negara Pihak dan observer harus mengirimkan banyak negosiator. Sementara tidak semua Negara Pihak dan observer memiliki kemampuan untuk mengirimkan negosiator yang memadai secara kapasitas, kualitas, dan kuantitas yang berimbang. Tidak sedikit seorang negosiator harus menghadiri banyak agenda perundingan dalam waktu bersamaan, sehingga besar kemungkinan terdapat agenda perundingan yang terlewatkan.

Secara substansi, agenda-agenda yang dibahas secara terpisah tersebut sebenarnya memiliki keterkaitan isu satu sama lain. Apabila setiap agenda pembahasan dihadiri oleh negosiator yang berbeda dari waktu ke waktu, maka besar kemungkinan pengambilan kebijakannya tidak sinkron dan tidak bisa langsung diputuskan, karena perlu koordinasi internal terlebih dahulu, sehingga dapat mengakibatkan perbedaan dan perubahan posisi pada setiap periode perundingan. Sementara itu, Sekretariat UNFCCC juga menghadapi tantangan dalam mengatur banyaknya jadwal rangkaian kegiatan dan pertemuan selama penyelenggaraan UNFCCC.

Secara garis besar, Negara Pihak dalam berbagai pembahasan perundingan UNFCCC telah memahami dan menyampaikan usulan untuk mengatasi tantangan tersebut dengan cara: pertama, mengelompokkan/mengarusutamakan (clustering/mainstreaming) agenda utama; kedua, menyusun technical paper yang berisi data teknis penyelenggaraan Conference of the Parties (COP) dari tahun ke tahun (jumlah peserta, biaya yang diperlukan, staf yang diperlukan), yang dapat dipakai untuk penyusunan kebijakan pengaturan pertemuan selanjutnya; ketiga, menyelenggarakan workshop sebagai ajang sharing knowledge dan best practice (dengan mendatangkan mantan pejabat UNFCCC sebelumnya atau organisasi internasional serupa lainnya); dan keempat, perlunya penyusunan rules of procedure khusus untuk pertemuan COP UNFCCC.

Melihat hal tersebut, muncul pertanyaan bagaimana idealnya pelaksanaan suatu perundingan multilateral, khususnya perundingan UNFCCC yang memiliki cakupan luas yang mengharuskan banyak partisipan dan agenda yang dibahas. Pemahaman umum mengenai perundingan adalah suatu proses di mana terdapat penyampaian posisi dari pihak terkait terhadap suatu isu yang muncul dengan tujuan untuk mencapai kesepakatan yang didasarkan pada kepentingan bersama [1] (Jeong: 2016). Selanjutnya, dalam perundingan isu lingkungan yang melibatkan banyak negara, pelaksanaan perundingan yang dilakukan akan semakin kompleks dengan semakin banyak faktor yang dipertimbangkan, seperti struktur dan proses perundingan, serta dinamika negosiasi termasuk didalamnya pembentukan koalisi dan mobilisasi dukungan.

Dinamika dalam Perundingan Perubahan Iklim
Kedinamisan dan banyaknya isu yang dibahas mengakibatkan penilaian terhadap pelaksanaan perundingan UNFCCC menjadi sulit, sehingga efektivitas perundingannya tetap bergantung pada bagaimana pencapaian tujuan dapat diwujudkan dan tidak bisa didasarkan dengan membandingkan pelaksanaannya dengan entitas lain [2] (Iragorri: 2003). Bahkan, jika ada penelitian khusus terkait efektivitas perundingan UNFCCC ini, tetap tidak akan bisa menjelaskan secara komprehensif seluruh proses yang telah terlaksana tersebut sudah berjalan dengan baik. Dengan demikian, kekhususan dalam struktur perundingan UNFCCC telah membentuk kekhasan pada mekanisme dan proses tersendiri yang berbeda dengan struktur perundingan lainnya.

Menurut Zartman dan Berman, agar perundingan itu dapat berjalan efektif, proses perundingan yang ideal perlu melalui tiga tahapan, yaitu: pertama, brainstorming dan mendiagnosis terkait situasinya sehingga dapat memastikan proses perundingan perlu berlanjut atau tidak; kedua, apabila berlanjut, perlu mendiskusikan formula atau definisi umum dari isu yang dibahas untuk penyamaan persepsi dalam pencapaian solusi; dan ketiga, mendiskusikan detail dari formula pencapaian solusi tersebut dalam aksi nyata yang jelas dalam pelaksanaan solusi yang disepakati [3] (Zartman and Berman: 1982). Ketiga tahapan tersebut telah menjadikan perundingan UNFCCC menjadi pertemuan besar pembahasan penanganan perubahan iklim dunia yang menjadikannya memiliki banyak agenda dan partisipan. Banyaknya partisipan tersebut tidak bisa dihindari, untuk memastikan pihak-pihak yang terkait dan terdampak harus turut terlibat dalam perundingan. Selain Negara Pihak, perundingan UNFCCC perlu melibatkan observer yang terdiri atas Non-Governmental Organizations, para peneliti lingkungan, kelompok marginal dan indigenous, serta kelompok pemuda.

Keberadaan observer menjadi penting dalam struktur perundingan UNFCCC, karena: (i) untuk memperluas cakupan, baik partisipasi dan objek pembahasan penanganan perubahan iklim yang lebih komprehensif; (ii) banyak observer yang memiliki hasil-hasil penelitian terkait penanganan perubahan iklim yang sangat bermanfaat bagi negara pihak dalam mengambil kesepakatan bersama; serta, (iii) observer dapat mewakili komunitas yang terdampak perubahan iklim secara langsung. Bahkan, suatu komunitas lebih merasa bisa terwakili dengan keberadaan observer dari pada negara pihak yang memiliki hak suara dalam perundingan [4] (Ferrer dkk.: 2021).

Walaupun keberadaan observer dalam struktur perundingan UNFCCC adalah suatu keniscayaan, posisi observer tetap perlu mendapatkan perhatian lebih. Observer memang tidak memiliki hak suara dalam perundingan, akan tetapi pandangan/posisi observer perlu diwaspadai mengingat terdapat kemungkinan observer memiliki vested interest yang dapat kontra-produktif dengan penanganan perubahan iklim sehingga dapat mempengaruhi pandangan dari para pihak dalam menentukan suatu kebijakan dalam perundingan UNFCCC. Selain itu, observer dapat ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan yang tidak sejalan dengan penanganan perubahan iklim. Mempertimbangkan hal tersebut, peningkatan peran observer memang diperlukan guna meningkatkan komprehensifitas dan efektivitas perundingan UNFCCC, namun pemberian hak suara kepada observer dalam perundingan UNFCC bukanlah solusinya, walaupun hal tersebut dapat memberikan kekuatan bagi komunitas yang diwakilinya. Akan tetapi, Negara Pihak tetap wajib memperhatikan dan mempertimbangkan pandangan/posisi dari observer dalam menyepakati kebijakan penanganan perubahan iklim pada perundingan UNFCCC.

Konsepsi Perundingan Perubahan Iklim
Secara konseptual, pembahasan penanganan perubahan iklim seyogyanya tidak menggunakan konsep “negotiations” atau “perundingan”. Pemilihan konsep “negotiations” atau perundingan dalam UNFCCC dinilai kurang tepat. Konsepsi perundingan cenderung dianggap sebagai konsep ekonomi yang lebih mementingkan peningkatan pasar serta keuntungan [5] (Bachram: 2004). Penggunaan konsep ekonomi dalam penanganan perubahan iklim terlihat tidak sejalan mengingat kegiatan ekonomi merupakan kegiatan yang sebagian besar mengeksplorasi alam yang tidak sedikit memberikan dampak negatif pada lingkungan [6] (Hannah dkk.: 2021). Sehingga praktik negosiasi pada perundingan UNFCCC, yang terjadi adalah bukan proses untuk memenangkan atau mengutamakan perlindungan alam namun lebih kepada bagaimana penanganan perubahan iklim tidak merugikan pihak-pihak yang melakukan negosiasi [7] (Zartman and Berman: 1982).

Selain itu, penggunaan konsep ekonomi dalam pelaksanaan perundingan UNFCCC dapat menimbulkan kesan kompromi untuk mengeksplorasi alam dalam batas wajar selama hal tersebut disepakati oleh negara pihak. Kondisi inilah yang memungkinkan menjadi celah bagi para pelaku ekonomi untuk mempengaruhi kesekapatan dalam UNFCCC agar tidak memberikan kerugian yang besar [8] (Fernandes and Girard: 2011). Dengan demikian, apabila penggunaan konsep negotiations masih tetap dipakai dalam penanganan perubahan iklim yang menitikberatkan pada pencarian keseimbangan antara melindungi dan mengeksplorasi alam, maka pencapaian targetnya akan sulit tercapai.

Salah satu alternatif dalam me-reconceptualization konsep “negotiations” atau “perundingan” adalah dengan menggantinya dengan kata yang lebih menekankan pada pencarian solusi bersama dalam menangani perubahan iklim. “Agreement-Making [9] (Hannah dkk.: 2021) atau “penyusunan kesepakatan” dapat menjadi salah satu pilihan dalam menciptakan kesepakatan bersama dalam lingkup tatanan politik global untuk menangani permasalahan perubahan iklim dengan aksi nyata, aktor, tempat, serta mekanisme yang jelas dan detail. Menurut Hannah, pencapaian penyusunan kesepakatan tersebut dapat dilakukan dengan cara:

1. Memperluas konseptualisasi kesepakatan lingkungan global khususnya terkait aktor, tempat, dan mekanismenya termasuk interkoneksinya, tidak hanya dalam kesepakatan formal namun juga informal, yang dapat menunjukkan aksi nyata dalam pelaksanaannya. Selain itu, penyusunan kesepakatan perlu berfokus pada proses pembentukannya (tidak hanya hasilnya) mengingat proses pembentukannya perlu melibatkan seluruh pihak yang terkait dan terdampak.

2. Memperhatikan etnografi dari setiap aktor pihak yang terkait dan terdampak serta menciptakan kolaborasi yang nyata di antara para pihak tersebut. Pendekatan etnografi akan memungkinkan untuk melihat tentang siapa, apa dan di mana dampak perubahan iklim tersebut terjadi. Karakter dan budaya dari setiap komunitas yang terkait atau terdampak akan dipertimbangkan dalam membuat kesepakatan penanganan perubahan iklim tersebut sehingga lebih komprehensif dan mudah diterima.

3. Meningkatkan fleksibilitas dan kemampuan untuk beradaptasi pada proses penyusunan kesepakatan agar pembahasannya dapat tetap berjalan dengan efektif walaupun terdapat tantangan dalam pelaksanaannya, seperti pandemi yang tidak memungkinkan pertemuan fisik dilakukan.

4. Memberikan peran yang lebih besar kepada observer, khususnya dari kelompok marginal dan indigenous yang sangat terdampak oleh perubahan iklim, agar kepentingannya dapat terakomodir dan terwujud.

5. Menyeimbangkan antara political world order, yang dibentuk melalui penyusunan kesepakatan tersebut, dengan social order yang mengharapkan agar masyarakat dapat secara sadar dan ikhlas melaksanakan kesepakatan tersebut.

Sebagai penutup, perundingan perubahan iklim sudah seharusnya menjadi prioritas bagi seluruh pemangku kepentingan di setiap negara mengingat dampaknya pada seluruh lapisan masyarakat tidak melihat lintas batas negara. Idealnya, seluruh pihak yang terdampak berhak ikut dalam perundingan perubahan iklim, khususnya masyarakat sebagai individu, yang dalam hal ini dapat diwakili oleh keberadaan observer yang hadir. Namun, keberadaan observer perlu dipastikan harus memberikan kontribusi positif terhadap kelestarian lingkungan dan penanganan perubahan iklim. Sedangkan me-reconceptualization konsep “negotiations” atau “perundingan” merupakan alternatif yang bisa dipilih untuk memastikan bahwa penanganan perubahan iklim bukan merupakan kompromi dari pihak-pihak yang berkepentingan yang cenderung kontra-produktif dengan penanganan perubahan iklim. Namun demikian, selama penanganan perubahan iklim dapat menghasilkan kesepakatan yang berpihak pada kelestarian lingkungan dan terdapat aksi nyata dalam pelaksanaan pencapaian targetnya, pemilihan penggunaan konsep “negotiations” maupun “Agreement-Making” menjadi tidak signifikan.

*) Asisten Deputi Bidang Hubungan Internasional, Kedeputian Polhukam, Sekretariat Kabinet RI
**) Kepala Sub Bidang Hubungan Multilateral Perserikatan Bangsa-Bangsa, Kedeputian Polhukam, Sekretariat Kabinet RI

Referensi:

[1] Jeong, Ho-Won. (2016). International Negotiation: Process and Strategies. Cambridge University Press DOI: 10.1017/CBO9781139207713, hal:4.

[2] Iragorri, Alexandra Garcia. (2003). Negotiation in Internastional Relations. Revista de Derecho, Universidad Del Norte, pp.91-102, hal:97.

[3] Zartman, I. William and Berman, Mavreen R. (1982). The Practical Negotiator. New Haven , CT:  Yale University Press.

[4] Ferrer EM, Cavole LM, Clausnitzer S, Dias DF, Osborne TC, Sugla R and Harrison E (2021) Entering Negotiations: Early-Career Perspectives on the UN Conference of Parties and the Unfolding Climate Crisis. Front. Mar. Sci. 8:632874. doi: 10.3389/fmars.2021.632874

[5] Bachram, H. (2004). Climate fraud and carbon colonialism: the new trade in greenhouse gases. Capitalism Nat. Socialism 15, 5–20. doi: 10.1080/ 1045575042000287299

[6] Hannah Hughes, Alice Vadrot, Jen Iris Allan, Tracy Bach, Jennifer S. Bansard, Pamela Chasek, Noella Gray, Arne Langlet, Timo Leiter, Kimberly R. Marion Suiseeya, Beth Martin, Matthew Paterson, Silvia Carolina Ruiz-Rodríguez, Ina Tessnow-von Wysocki, Valeria Tolis, Harriet Thew, Marcela Vecchione Gonçalves, Yulia Yamineva. (2021). Global environmental agreement-making: Upping the methodological and ethical stakes of studying negotiations,

Earth System Governance, Volume 10, 100121, ISSN 2589-8116, https://doi.org/10.1016/j.esg.2021.100121. (https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2589811621000252)

[7] Zartman, I. William and Berman, Mavreen R. (1982). The Practical Negotiator. New Haven , CT:  Yale University Press

[8] Fernandes, S., and Girard, R. (2011). Corporations, Climate and the United Nations How Big Business has Seized Control of Global Climate Negotiations. Available online at: https://d3n8a8pro7vhmx.cloudfront.net/polarisinstitute/pages/31/attachments/original/1411065499/CorporationsClimateandtheUN. pdf?1411065499 (accessed June, 2022)

[9] Hannah Hughes, Alice Vadrot, Jen Iris Allan, Tracy Bach, Jennifer S. Bansard, Pamela Chasek, Noella Gray, Arne Langlet, Timo Leiter, Kimberly R. Marion Suiseeya, Beth Martin, Matthew Paterson, Silvia Carolina Ruiz-Rodríguez, Ina Tessnow-von Wysocki, Valeria Tolis, Harriet Thew, Marcela Vecchione Gonçalves, Yulia Yamineva. (2021).

Global environmental agreement-making: Upping the methodological and ethical stakes of studying negotiations,

Earth System Governance, Volume 10, 100121, ISSN 2589-8116, https://doi.org/10.1016/j.esg.2021.100121. (https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2589811621000252)

What do you think?

Written by Julliana Elora

Kuasa hukum keluarga Yoshua yakin tak ada pelecehan

Gara-gara Bakar Sampah, Gudang Bulog Ludes Terbakar di Kecamatan Padang Selatan