Salah satu novel favorit saya adalah The Godfather karya Mario Puzo. Novelis ini sebetulnya tinggal di New York, Amerika Serikat, tetapi dia begitu fasih menuturkan perihal dunia cosa nostra yang tumbuh subur di Italia dan kemudian menyebar ke antero negeri.
Anda masih ingat apa arti cosa nostra? Iya, ini ungkapan yang dilontarkan Don Corleone, tokoh mafia dalam novel itu—yang juga sudah difilmkan bahkan sampai tiga seri dan menyabet sejumlah penghargaan Academy Award atau Piala Oscar. Arti kata itu adalah”kita urus dunia kita sendiri”.
Para mafia memang tidak mau tunduk pada aturan pemerintah. Mereka menciptakan hukum, aturan, dan tradisi sendiri. Salah satunya adalah tradisi “cuci darah”. Mengerikan. Ini tradisi yang merujuk pada perang antarmafia yang menyebabkan ratusan korban berjatuhan di mana-mana sehingga menciptakan banjir darah.
Darah itulah yang digunakan untuk mencuci. Siapa yang dicuci? Para mafia lama, tokoh-tokoh tua, penguasa kemapanan, generasi yang sudah obsolete dan tiba waktunya untuk digantikan dengan generasi baru yang lebih segar. Lagipula zamannya memang sudah berganti. Itulah dunia cosa nostra.
Empat Faktor
Fenomena ala “cuci darah” juga terjadi di ranah bisnis. Mulai dari yang skala kecil tetapi bersifat masif hingga ke skala besar. Contohnya ojek tradisional vs GoJek/GrabBike hingga perusahaan taksi Blue Bird/Express vs Uber/GrabCar. Mengapa ini bisa terjadi?
Kuncinya adalah adanya kesenjangan. Ada gap antara yang dibutuhkan konsumen dan produk atau layanan dari para penyedia jasa. Lalu ada excess capacity yang dimiliki sesama konsumen.
Intinya, konsumen mau ojek yang mudah didapat dengan tarif murah, tetapi yang ada ojek yang sulit dicari dengan tarif sesukanya. Kadang tarifnya terkesan memeras. Konsumen mau taksi yang tarifnya lebih bersahabat dan mudah dipesan.
Di lapangan, yang ada taksi dengan tarif kurang ramah kantong dan pada jam-jam sibuk sulit dipesan. Lalu ada konsumen yang punya kelebihan kapasitas karena fasilitas yang dimilikinya tak terpakai 24 jam secara utuh. Beberapa jam dalam sehari masih bisa dikomersialkan.
Fenomena ada ojek vs Gojek/GrabBike atau Blue Bird/Express vs Uber/GrabCar kini meluas ke mana-mana, ke berbagai bidang usaha. Di bisnis perhotelan ada Airbnb yang menjadi pesaing hotel. Lalu yang belakangan berkembang secara masif adalah bisnis fintech.
Apa itu fintech? Ini kepanjangan dari financial technology. Artinya tentu Anda bisa dengan mudah menerka, yakni inovasi dalam bidang finansial dengan menerapkan teknologi modern.
Ada banyak aktivitas di industri finansial yang berbasis fintech seperti proses pembayaran, transfer, jual beli saham, peminjaman uang secara peer to peer, dan sebagainya. Jadi, bukan sekadar e-money atau e-wallet.
Di kawasan Asia-Pasifik, bisnis fintech mampu berkembang dengan sangat pesat. Ini tecermin setidak-tidaknya dari besarnya nilai investasi di industri itu.
Menurut data Accenture, sepanjang 2014 investasi fintech mencapai USD880 juta. Namun selama sembilan bulan pertama tahun 2015, investasi di industri fintech sudah senilai USD3,5 miliar. Jadi sudah tumbuh hingga tiga kali lipat dan bukan tidak mungkin akan mencapai empat kali lipat.
Apa yang membuat industri fintech mampu berkembang begitu pesat? Saya melihat setidak-tidaknya ada empat faktor. Pertama, banyak anak muda kita yang begitu lulus kuliah langsung mengembangkan bisnis start-up.
Mereka ini sangat terbantu dengan adanya fintech. Mereka bisa memperoleh pinjaman untuk modal usaha hingga menemukan mitra untuk berkolaborasi.
Kedua, meluasnya fintech membuat banyak usaha bisa memperoleh pinjaman dengan suku bunga yang lebih rendah ketimbang suku bunga perbankan atau lembaga pembiayaan lain. Salah satu aplikasi yang memfasilitasi para start-up untuk memperoleh pinjaman adalah KoinWorks.
Selama ini banyak pebisnis kreatif yang kesulitan memperoleh pinjaman dari bank karena mereka tak memiliki agunan. Aplikasi KoinWorks mempertemukan mereka yang butuh modal dengan para pemilik dana tanpa harus ribet soal agunan.
Aplikasi seperti KoinWorks ini banyak berkembang di Indonesia. Contohnya ada, cukup banyak. Hanya saja business model-nya masih banyak yang harus dibongkar lagi agar benar-benar disruptif.
Ketiga, tumbuhnya bisnis fintech juga membuat bitcoin berkembang. Untuk Anda ketahui, bitcoin adalah mata uang virtual yang digunakan sebagai alat bertransaksi di dunia digital. Jadi kalau mata uang dolar atau rupiah digunakan untuk bertransaksi di dunia nyata, di dunia digital transaksinya bisa menggunakan bitcoin.
Berkembangan fintech membuat penggunaan bitcoin juga meluas. Di dunia ini ada 2,5 miliar pengguna bitcoin yang tidak memiliki akun bank. Dengan adanya bitcoin, mereka tetap bisa bertransaksi seperti melakukan pembayaran, transfer.
Keempat, berkembangnya bisnis fintech juga meningkatkan taraf hidup masyarakat. Di Malaysia ada Soft Space, sebuah start-up yang mengembangkan aplikasi untuk menggandeng merchant-merchant yang mau menerima pembayaran dengan kartu kredit, tetapi suku bunganya sangat rendah. Anda tahu bukan betapa tingginya suku bunga kartu kredit di negara kita?
Game Changer
Melihat begitu masifnya perkembangan bisnis fintech, saya berharap para pelaku bisnis keuangan di negara kita tidak gagap meresponsnya. Jangan sampai seperti yang terjadi pada pelaku di industri transportasi. Mereka ramai-ramai menolak kehadiran ojek atau taksi berbasis aplikasi setelah penghasilannya terpangkas lebih dari separuhnya.
Juga saya berharap Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia, dan Kementerian Keuangan tidak merespons kehadiran fintech dengan cara-cara yang kurang pas sebagaimana pernah dilakukan Kementerian Perhubungan ketika menyikapi hadirnya ojek atau taksi berbasis aplikasi. Mereka memakai paradigma masa lalu untuk mengatur bisnis-bisnis masa depan. Jelas tidak kena!
Di kalangan industri, saya lihat mereka merespons kehadiran fintech dengan lebih bersahabat. Contohnya Bank Mandiri. Melalui anak usahanya PT Mandiri Capital Indonesia (MCI), bank BUMN ini malah berinvestasi di 4 perusahaan fintech. Untuk tahun ini MCI menargetkan penyertaan modal pada 8 sampai 10 bisnis fintech.
Kalau langkah Bank Mandiri ditiru oleh bank-bank atau lembaga pembiayaan yang lain, ini tentu menjadi kabar gembira. Hanya, catatan saya, jangan sampai kolaborasi atau penyertaan modal dijadikan bank atau lembaga pembiayaan untuk “membonsai” bisnis fintech. Jadikanlah penyertaan modal itu sebagai strategi atau vehicle untuk pertumbuhan bisnis di masa mendatang.
Saya termasuk orang yang yakin bahwa bisnis fintech akan menjadi game changer bagi industri keuangan kita dan mungkin juga dunia. Di Indonesia, misalnya, baru 19% dari seluruh penduduknya yang memakai bank. Jadi masih ada 81% yang belum menggunakan bank. Ini tentu bisa menjadi pasar potensial bisnis fintech.
Maka tak selayaknya pelaku bisnis dan regulator membendung laju bisnis fintech. Kalau itu dilakukan, saya khawatir, bakal terjadi “cuci darah” sebagaimana menimpa kalangan cosa nostra. Kita tentu tak berharap jangan sampai hal itu terjadi. (*)
LOGIN untuk mengomentari.