in

Jaksa Abaikan Pembaruan Hukum

Tanggapan atas Gugatan Praperadilan Dahlan Iskan

Sikap Kejaksaan Agung (Kejagung) yang bernafsu ingin menjerat Dahlan Iskan dalam kasus prototipe mobil listrik terlihat dalam lanjutan sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, kemarin (7/3).

Dalam sidang dengan agenda tanggapan jaksa itu, Kejagung dengan jelas mengabaikan berbagai pembaruan hukum di Indonesia. Mereka juga menabrak Pasal 1 angka 2 KUHAP.

Dalam sidang yang dimulai pukul 10.30 tersebut, jaksa bersikukuh bahwa penyidikan sudah dilakukan dan telah mendapatkan bukti maupun keterangan saksi. Dalam materi yang dibacakan jaksa, salah satu pertimbangan adalah putusan kasasi Dasep Ahmadi oleh Mahkamah Agung (MA).

”Penyidik telah menemukan persesuaian antara perbuatan, kejadian, atau keadaan berdasarkan keterangan saksi-saksi dan alat bukti surat yang didukung keterangan ahli,” kata jaksa Wilyanto.

Jaksa menyangkal menjadikan Dahlan sebagai tersangka karena petikan putusan Dasep saja. Meski, cukup banyak tertulis dalam jawaban mereka bahwa hasil kasasi masih berkaitan.

Jaksa mengklaim sudah memiliki dua alat bukti yang didapat dari pemeriksaan 21 saksi dan ahli keuangan negara, serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Selain itu, yang dipermasalahkan kuasa hukum Dahlan soal tidak adanya aturan hukum yang diduga dilanggar mantan menteri BUMN itu dianggap tetap sah. Jaksa beralasan, tidak ada aturan yang mengharuskan penetapan tersangka diikuti pencantuman pasal yang dilanggar. 

Padahal, hal tersebut jelas melanggar Pasal 1 angka 2 KUHAP. Pasal itu berbunyi: Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari, serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Dalam sidang, jaksa juga mengabaikan pembaruan hukum karena yakin BPKP boleh menghitung kerugian negara. Karena itulah, hasil audit pada 15 Oktober 2015 tetap akan dipakai. Padahal, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) 4/2016 menggariskan bahwa kerugian negara hanya bisa ditetapkan oleh BPK!

Dalam tanggapannya, jaksa berupaya membangun opini seolah-olah Dahlan tidak kooperatif. Jaksa beralasan selama ini tak bisa mendapatkan keterangan dari Dahlan sebagai tersangka karena mantan menteri BUMN itu sakit.

Menurut jaksa, surat keterangan sakit Dahlan tidak sesuai. Sebab, ketika dicek ke Graha Medika RSUD dr Soetomo, tidak ada perawatan atas nama pasien Dahlan Iskan.

Namun, keterangan jaksa itu dibantah Dirut RSUD dr Soetomo Harsono. Dia menegaskan, surat sakit tidak perlu melalui registrasi, tetapi bisa dilakukan langsung oleh dokter yang bersangkutan. “Kewenangan memberi surat keterangan istirahat ada pada dokter yang tahu kondisi pasien,” ujar Harsono saat dihubungi koran ini.

Setelah pembacaan tanggapan jaksa, hakim tunggal praperadilan dari PN Jakarta Selatan Made Sutrisna menawari tim pengacara Dahlan untuk menanggapi tanggapan itu atau tidak. Namun, tim yang terdiri atas Agus Dwiwarsono, Indra Priangkasa, dan Deni Aulia Ahmad tersebut sepakat tidak memberikan tanggapan.

Karena itu, sidang pada hari ini dilanjutkan pada pembuktian surat dan keterangan satu ahli dari pihak Dahlan. Rencananya, keterangan ahli dari kedua pihak diberikan pada Kamis (9/3). “Jadi, Jumat sudah kesimpulan dari praperadilan ini,” kata Made, lantas menutup sidang.

Setelah sidang, Agus Dwiwarsono menyatakan tidak perlu menanggapi tanggapan jaksa karena yang diinginkan sudah terjawab. Menurut dia, jelas bahwa jaksa mengabaikan perubahan hukum yang terjadi.

Yakni, putusan Mahkamah Konstitusi 25/PUU-XIV/2016 tentang pengujian Pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tipikor serta SEMA 4/2016. “Mereka sampaikan kerugian negara melalui BPKP, bukan BPK. Sesuai SEMA, yang harusnya diajukan untuk kerugian negara berasal dari BPK,” katanya.

Lebih lanjut, dia menjelaskan, SEMA 4/2016 ditujukan untuk memupus ketidakpastian dalam menentukan siapa yang berwenang memastikan kerugian negara.
Benar bahwa putusan MK pada 2012 menyatakan, BPKP, BPK, auditor independen dan jaksa bisa mengeluarkan audit.

Namun, itu dulu. Ketidakpastian yang muncul atas putusan tersebut saat ini diperbarui dengan SEMA 4/2016. Selain itu, putusan kasasi Dasep muncul sebelum dua pembaruan hukum tersebut muncul.

“Karena itu, alat bukti maupun keterangan saksi untuk Dasep tidak bisa dipakai lagi begitu saja. Itu semua murni untuk Dasep,” terangnya. 

Selain itu, secara formal, para saksi yang diperiksa juga untuk Dasep, bukan Dahlan. Seharusnya jaksa memahami hal itu dan tidak memaksa menjadikan kliennya sebagai tersangka.

“Dengan keadaan baru ini, putusan MK harusnya bersesuaian. Itu (alat bukti dan saksi, red) sudah dianggap tidak bisa digunakan dalam penegakan hukum,” tegasnya.

Dia juga heran atas sikap jaksa yang ngeyel tidak memasukkan aturan atau pasal yang dilanggar Dahlan dalam sprindik. Norma yang disampaikan jaksa, yakni Pasal 1 angka 2 UU No 8/1981 tentang KUHAP, juga menjadi rujukannya. Dikatakan, jaksa telah mengumpulkan bukti dan sudah memeriksa berbagai saksi.

Namun, yang disampaikan dalam tanggapan semua itu berasal dari kasus Dasep. Padahal, tindak pidana tersebut muncul karena ada aturan yang dilanggar dan jaksa memilih untuk menyembunyikan pelanggaran itu.  

“Keterangan saksi untuk Dasep, ya untuk Dasep. Bukan untuk Pak Dahlan. Tidak bisa serta-merta seperti itu,” terangnya.

Di tempat terpisah, Juru Bicara MA Suhadi saat dikonfirmasi koran ini menegaskan bahwa SEMA 4/2016 menyepakati soal BPK yang berhak menentukan kerugian negara. Untuk audit, dia menyebut memang siapa saja bisa melakukan. Namun, acuan untuk menentukan kerugian negara hanya BPK.

“Dalam praktiknya, kerugian negara versi BPK dan BPKP sering berbeda. Sebagai pelaksana undang-undang, MA telah mengambil sikap,” terangnya. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Disruption dan Cuci Darah

Madrid dan Munich ke Perempat Final dengan Kemenangan