in

Nasehat Kepada Pemimpin Aceh di Hari Meugang

Sumber: Theglobejournal.com

Oleh Tibrani*)

Sebuah potret bangsa yang beradab dapat dilihat dengan adanya berbagai tradisi, adat istiadat dan kebudayaanya. Salah satu tradisi yang telah mengakar, berdarah daging bagi masyarakat Aceh adalah tradisi meugang atau makmeugang.

Meugang merupakan tradisi dalam sosial dan kultural Aceh dimaknai sebagai hari menyambut bulan puasa Ramadhan, Idul Fitri, Idul Adha. Yaitu tradisi membeli daging di pasar, kemudian disantap dan diolah di rumah masing-masing, serta disantap bersama keluarga tercinta.

Sudah menjadi kebiasaan masyarakat Aceh untuk menyambut hari makmeugang, dan menjadi tradisi rutin masyarakat Aceh, untuk membeli harga daging, kemudian disantap bersama keluarga.

Namun, di tengah kegembiraan menyambut meugang, ada rasa duka sebagian masyarakat Aceh, terutama kalangan ekonomi menengah ke bawah, karena sudah menjadi lumrah dan hal biasa, pada hari meugang harga kebutuhan barang pokok dan daging naik dari biasanya.

Tentunya, naiknya harga daging, dan kebutuhan pokok menjadi nestapa bagi masyarakat ekonomi kelas bawah, karena mereka untuk makan sehari-hari saja susah apalagi untuk membeli daging sapi atau kerbau.

Akan tetapi apa hendak dikata makmeugang sebentar lagi akan datang. Dalam istilah masyarakat Aceh juga muncul “sithon tamita, sigo tapajoh”(Setahun kita mengais nafkah, sekali kita makan daging). Itulah pepatah yang muncul di masyarakat Aceh, ketika menyambut hari meugang, walaupun pada kenyataannya harga daging, di hari makmeugan mencapai 160.000, s/d 200.000, tidak mempengaruhi daya beli masyarakat Aceh. Masyarakat tetap membeli karena itu telah menjadi adat dan rutinitas setiap menjelang menyambut Idul Adha dan Idul Fitri.

Beberapa tahun terakhir ini, saat mendekati hari meugang, masyarakat Aceh dari berbagai daerah ramai-ramai mendatangi kantor Gubernur Aceh, dengan tujuan sekedar berharap bantuan ala kadar untuk keperluan membeli daging meugang untuk menyambut hari raya Idul Adha.

Di sisi lain, maraknya warga untuk meminta bantuan kepada pemimpin Aceh adalah bukan fenomena baru, karena jauh sebelum itu, Ketika Sultan Iskandar Muda berkuasa,(1607-1636) dalam menjalankan roda pemerintahannya, uroe makmeugang termasuk satu agenda penting saban tahun menjelang Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. Dalam Qanun itu disebutkan, sebulan sebelum meugang, Sultan memerintah para Keuchik, Imum Meunasah dan Tuha Peut seluruh Aceh untuk mendata warga yang tergolong fakir miskin, inong balee (perempuan janda), yatim piatu, orang sakit (lumpuh) dan orang buta, serta orang sakit yang tak mampu lagi mencari nafkah. Mereka yang termasuk dalam kategori ini akan mendapatkan daging meugang gratis dari Sultan. (Serambi Indonesia, 24/05/2017).

Begitulah cara Pemerintahan Aceh dulu (zaman kesultanan) menangani kaum kelas menengah kebawah dalam menyambut hari meugang tanpa perlu ke kantor berdesakan hanya untuk mendapatkan uang jatah hari meugang.

Jadi kalau pemerintah Aceh saat ini, harus dapat belajar dari sejarah bagaimana Sultan terdahulu menangani rakyatnya yang miskin dalam menghadapi makmeugang. Waktu memang telah berubah, namun konsep yang pernah diterapkan oleh endatu kita, perlu diaplikasikan kembali untuk membantu masyarakat miskin di hari yang berbahagia uroe makmeugang.

Dana otsus Aceh tahun ini yang mencapai Rp 8, 022 triliun, dana yang sangat fantasis dan banyak, apa salahnya dana yang begitu banyak dilokasikan sedikit untuk membantu masyarakat miskin merayakan hari meugang.

Kalau perlu untuk memperkuat identitas nilai-nilai keacehan, maka perlu dibuat suatu qanun yang berhubungan dengan perayaan uroe Makmeugang, karena pada zaman dahulu hari meugang ada diatur dalam qanun kesultanan.

Oleh karena itu, dengan adanya semacam qanun yang membahas masalah meugang, maka kedepanya, menurut hemat penulis, tidak apa lagi masyarakat yang berebut dana meugang dari Gubenur -Wakil Gubenur, Bupati-Wakil Bupati, Walikota-Wakil Walikota, karena semuanya telah diatur di dalam Qanun.

*)Mahasiswa Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala, Juga Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat FISIP.

Komentar

What do you think?

Written by virgo

“Orang Kampung” di Eskalator Suzuya Bireuen

Kembali ke Bogor Usai Kunjungi Pesantren dan Salat Jumat