KPK: Lelang Jabatan Harus Transparan
Sistem pengisian jabatan di daerah belum sepenuhnya menutup celah perilaku koruptif. Kasus suap yang menyeret Bupati Klaten Sri Hartini yang diduga melakukan praktik suap menyuap dalam mutasi dan promosi jabatan di lingkungan Pemerintah Kabupaten menjadi salah satu buktinya.
Namun, Sekretaris Ditjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Anselmus Tan menegaskan penerapan PP 18 Tahun 2016 tentang Organisasi Perangkat Daerah (OPD) sebenarnya tidak membuka peluang korupsi.
Menurutnya, sistem yang ada sudah sangat baik, di mana lelang jabatan dilakukan secara terbuka. “Penentuan sejak tim seleksinya saja sudah melibatkan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN),” ujarnya kepada koran ini, kemarin (9/1).
Spesifikasi yang disiapkan dalam proses tersebut juga tidak sembarangan. Misalnya, menyangkut kapasitas kemampuan maupun kesehatan secara jasmani dan rohani.
Ansel mengatakan, terbitnya PP OPD juga tidak mewajibkan semua dinas mengganti pejabat baru. Untuk dinas-dinas yang melakukan merger, kepala dinas sebelumnya masih bisa dikukuhkan selama memiliki kepasitas yang masih relevan.
Sebelumnya, Dirjen Otonomi Daerah Sumarsono juga menegaskan bahwa mekanisme penempatan OPD saat ini sudah sesuai. Kalaupun muncul kasus penyelewenangan seperti di Klaten, pria yang akrab disapa Soni itu melihatnya lebih disebabkan faktor individual. Sebab, sistem yang ada sangatlah ketat.
Soni mencontohkan, di daerah yang sekarang dijabat pelaksana tugas (Plt) misalnya, penempatan OPD baru harus mendapat persetujuan Kemendagri.
Sementara daerah dengan kepala daerah definitif dilakukan pengawasan berjenjang oleh pemerintah di atasnya. Misalnya proses di kabupaten/kota juga diawasi pemerintah provinsi.
Tak cukup sampai di situ, upaya juga diperkuat dengan adanya pengawasan dari saber pungli dan pembentukan pakta integritas bersama KPK. “Jadi ini bukan pengawasan kurang, tapi faktor individu yang memanfaatkan peluang yang ada. Bahkan, kepala daerahnya di Klaten sudah dilatih di KPK. Ini soal mentalitas,” tuturnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksana Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengatakan, semestinya Kemendagri tidak hanya menyerahkan proses pengawasan kepada KASN dan Inspektorat. Pasalnya, kedua lembaga tersebut masing-masing memiliki kekurangan.
Inspektorat misalnya, dengan kewenangan dan struktur yang berada di bawah tanggung jawab kepala daerah, maka sangat mustahil untuk melakukan pengawasan kepada sesuatu yang menjadi atasannya. “KASN ini hanya 60 orang, sementara terjadi pergantian di 542 daerah. Jelas sulit,” ujarnya.
Oleh karenanya, yang harus dilakukan pemerintah sejak awal adalah menyiapkan manajemen risiko dalam menghadapi pergantian OPD secara serentak tersebut. Apalagi, PP tersebut sudah disahkan sejak pertengahan tahun 2016 lalu. “Baru ribut setelah muncul kasus Klaten, enam bulan yang lalu itu ke mana,” imbuhnya.
Lalu bagaimana semestinya? Endi menjelaskan, sebelum proses perombakan di daerah dilakukan, Kemendagri semestinya mengantisipasi risiko tersebut sejak awal. Salah satu upayanya memetakan daerah-daerah mana saja paling berpotensi terjadi penyalahgunaan.
“Daerah dengan dinasti politik seperti Klaten, dan daerah dengan sumber daya alam besar harus menjadi perhatian,” tuturnya.”
Di daerah dengan dinasti politik, lanjutnya, power kepala daerah berpotensi mendegradasi prosesnya sejak awal. Misalnya terkait intervensi terhadap pembentukan tim seleksi lelang hingga penggembosan inspektorat. Sementara daerah dengan SDA besar sangat rawan dengan intervensi pemodal.
“Ini tidak kita lihat, karena kita paham ada risiko. Enam bulan ini nggak ada upaya, setelah Klaten baru ribut,” tuturnya. Terkait sumber daya manusia (SDM), pemerintah bisa saja menggandeng pengawas yang berasal dari masyarakat sipil.
Meski dilakukan melalui mekanisme lelang terbuka, lanjutnya, risiko terjadinya penyelewenangan bukan berarti tertutup. Sebab, selama ada persaingan, potensi dilakukannya permainan curang dengan menyuap selalu ada. Terlebih, biaya politik yang mahal membuat kepala daerah.
Pencegahan korupsi dalam pengisian jabatan di daerah memang memerlukan upaya ekstra. Pasalnya, meski dilakukan melalui sistem lelang terbuka, kepala daerah masih memiliki kewenangan memutuskan hasil akhir mutasi pejabat atau PNS. Celah itu rawan digunakan kepala daerah untuk mengeruk keuntungan pribadi dengan cara “dagang jabatan”.
Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Basaria Panjaitan mengatakan, sistem lelang terbuka paling efisien dibanding mekanisme pengisian jabatan lain. Namun, sistem itu harus didukung komitmen transparansi yang kuat dari pemda itu sendiri.
“Tapi, tidak semua kepala daerah melakukan hal yang sama (lelang terbuka),” ujarnya di gedung KPK Jakarta.
KPK akan mendorong seluruh provinsi menerapkan elektronik government (e-government) sebagai penguatan transparansi itu. Sejauh ini, baru 17 provinsi sudah meneken nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) penerapan sistem tersebut.
Yakni, Aceh, Bengkulu, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Lampung, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat.
”Yang transparan mulai dari penganggaran, perencanaan dan pengadaan sampai pelaksanaan, sehingga tidak ada celah pejabat ambil keuntungan pribadi,” paparnya. KPK akan evaluasi sistem itu triwulan pertama tahun ini. ”Kami perbaiki suatu permasalahan tidak secepat yang diharapkan,” imbuhnya.
Perkuat APIP
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, pihaknya juga akan terus mendorong penguatan aparat internal pengawas pemerintah (APIP) atau inspektorat di daerah. Selama ini KPK melihat peran APIP di daerah belum berjalan baik.
”Sudah ada lebih dari 60 kepala daerah, baik itu wali kota, bupati dan gubernur. Hampir dipastikan peran inspektorat (APIP) tidak berfungsi dengan baik,” kata Alexander Marwata di kantornya, Senin (9/1).
Alex berharap, melalui peraturan pemerintah atau perubahan perundang-undangan, APIP bisa diperkuat. Pasalnya, selama ini APIP masih rentan diintervensi pihak berkepentingan, tidak terkecuali kepala daerah yang tengah berkuasa.
Alexander juga menyoroti tingginya korupsi di Indonesia karena sulit mendeteksinya. Termasuk belum adanya efek jera. Meski sudah banyak diproses tetap saja ada lagi yang melakukan korupsi.
“Karena di sisi lain pengawasan internal masih sangat lemah, sehingga korupsi kembali terulang,” ungkap mantan hakim ad hoc tipikor itu.
Karenanya Alex menegaskan tak heran banyak kepala daerah leluasa mengatur proyek barang dan jasa. Sebab, pengawasan internal di bawah kendali kepala daerah sehingga rentan diintervensi ketika melakukan audit oleh pihak yang berkepentingan.
Hal seperti inilah yang akan dihilangkan dengan memperkuat peran APIP sehingga independen dan tidak mudah diintervensi. ”Sehingga saat mengetahui ada penyelewenangan tidak segan melaporkan ke aparat penegak hukum dan tidak segan dimutasi,” katanya. (*)
LOGIN untuk mengomentari.