in

Energi Berkeadilan

Berbagai upaya terus dilakukan Pemerintah Republik Indonesia dalam mewujudkan energi yang berkeadilan untuk warga negaranya. Setelah beberapa waktu yang lalu presiden menetapkan BBM satu harga untuk seluruh wilayah Indonesia, kali ini pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menerapkan skema Gross Split, untuk perhitungan bagi hasil kontrak pengelolaan wilayah kerja minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia. 

Meskipun sempat menuai pro-kontra terhadap kontrak bagi hasil dengan skema Gross Split tersebut, tak membuat surut pemerintah untuk tetap memberlakukannya terhadap kegiatan hulu industri migas (eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi dan gas) karena menurut pemerintah, skema yang dahulu dipakai memiliki catatan penting yang harus segera dievaluasi.  

Sebagai payung hukumnya, Menteri ESDM, Ignasius Jonan pada tanggal 13 Januari 2017 menetapkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 8 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split. Skema Gross Split ini pada dasarnya tidak menghilangkan kendali negara di dalamnya, karena penentuan wilayah kerja, kapasitas produksi dan lifting, serta pembagian hasil masih di tangan negara. Oleh karenanya, penerapan skema ini diyakini akan lebih baik dari skema bagi hasil sebelumnya. Terlebih lagi penerapan Gross Split diklaim sebagai wujud dari amanat UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) yang berbunyi, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Skema Gross Split 

Skema Gross Split diterapkan dalam rangka pelaksanaan kegiatan usaha hulu Migas berdasarkan kontrak bagi hasil yang berorientasi pada peningkatan efisiensi dan efektivitas pola bagi hasil produksi migas tanpa mekanisme pengembalian biaya operasi. Melalui skema ini negara akan mendapatkan bagi hasil migas dan pajak dari kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sehingga penerimaan negara menjadi lebih pasti.

Kenapa menjadi lebih pasti? Sebelumnya, kegiatan usaha hulu Migas menggunakan skema Cost Recovery, di mana negara akan melakukan pengembalian biaya operasi kepada Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S) yang digunakan dalam melakukan eksplorasi dan eksploitasi Migas. Akan tetapi dalam implementasinya, pengembalian biaya tersebut justru rawan dan kental dengan praktek curang maupun prilaku korupsi, sehingga pada akhirnya anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) membengkak untuk menutupi pengembalian biaya operasi (cost recorvery) akan tetapi minim untuk pemasukan ke dalam kas negara dari industri Migas itu sendiri, bak “ayam mati kelaparan dilumbung padi”.

Keadaan tersebut membuat APBN meningkat dari tahun ke tahun untuk cost recorvery pada industri Migas. Cost recovery pada tahun 2010 membebani negara sebesar sekitar US$ 11,7 miliar dan meningkat menjadi US$ 16,2 miliar pada tahun 2014, meskipun berdasarkan data tahun 2015 dan 2016 (unaudited), besaran cost recovery sempat menurun menjadi US$ 13,7 miliar dan US$ 11,5 miliar akibat rendahnya harga minyak dunia. Pada tahun 2016, penerimaan migas bagian Pemerintah hanya sebesar US$ 9,9 miliar atau lebih rendah dibanding cost recovery yaitu sekitar US$ 11,4 miliar. Kondisi lebih besarnya cost recovery dibanding penerimaan bagian negara terjadi sejak tahun 2015. 

Oleh karenanya, dengan skema Gross Split, pemerintah bisa mengurangi beban APBN. Sebab, biaya operasi tidak lagi dibebankan kepada negara, tetapi ke kontraktor migas. Tentunya dengan pembebanan biaya kepada kontraktor juga akan berdampak kepada gairah investor dalam melakukan investasi pada industri Migas. Akan ada “pikir ulang” oleh kontraktor maupun investor untuk melakukan investasi mengingat pembebanan biaya yang dulunya ditanggung oleh pemerintah menjadi tanggungannya sendiri (kontraktor).  

Akan tetapi jika kontraktor melakukan hal sebaliknya, yaitu dengan melakukan penghematan biaya dan efisiensi dalam eksplorasi dan eksploitasi Migas, maka keuntungan berlipat akan didapat oleh pihak kontraktor. Karena sebelum berlaku skema gross split yaitu melalui skema cost recorvery, keuntungan dibagi menjadi 85% untuk negara dan 15% untuk kontraktor, setelah berlakunya Gross Split, keuntungan dibagi menjadi 50:50, dengan catatan pembagian keuntungan tersebut melalui skema gross split tidak selalu mengikat demikian. 

Menurut Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar, ada lima kriteria dalam menentukan presentase bagi hasil antara pemerintah dan kontraktor dalam skema Gross Split. Pertama, dilihat dari besarnya cadangan migas sebuah lapangan. Kedua, lokasi lapangan. Ketiga, kondisi dan kriteria lapangannya. Keempat, tingkat kesulitannya. Serta kelima, jenis lapangan migas apakah konvensional atau non-konvensional.

Komponen perhitungan yang pasti terdapat pada presentase base split yang diatur dalam Pasal 5 Permen ESDM No. 8/2007. Untuk base split minyak, sebesar 57% diatur menjadi bagian Negara dan 43% menjadi bagian K3S. Sementara untuk gas bumi, bagian negara sebesar 52% dan bagian K3S sebesar 48%. 
Di samping presentase base split, baik negara maupun K3S dimungkinkan mendapatkan bagian lebih besar dengan penambahan perhitungan dari 10 komponen variabel dan 2 komponen progresif lainnya (Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Permen No. 8/2017). Hal ini membuat skema Gross Split menjadi menarik bagi para investor untuk mengelola wilayah kerja migas, termasuk wilayah kerja non-konvensional yang memiliki tantangan tersendiri. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Kali Pertama, Unand Wisuda Dua Hari

Kejati Tetapkan Tersangka SPj Fiktif