in

Energi Terbarukan dan Fokus Kita

Inisiatif untuk menemukan energi alternatif selain fossil fuel atau minyak bumi -termasuk gas bumi- khususnya energi terbarukan, sebetulnya sudah berlangsung sejak beberapa dekade yang lalu. 

Secara teknis,  ada beberapa energi alternatif yang sudah terbukti bisa menggantikan minyak dan gas bumi. Namun, belum ada energi alternatif terbarukan yang mengalahkan keekonomian minyak dan gas bumi baik dari sisi biaya produksi per satuan ekivalennya maupun skala keekonomiannya untuk diproduksi secara massal. 

Itulah sebabnya secara komersial, minyak dan gas bumi belum tergantikan sepenuhnya dan langkah diversifikasi seperti berjalan lambat, lepas dari politik ekonomi minyak yang bukan tidak mungkin juga berperan.

Belakangan ini, dunia sedang dibuat terkaget-kaget oleh disrupsi pada berbagai model produksi, operasi dan bisnis yang digerakkan oleh perkembangan teknologi terutama teknologi informatika termasuk di Indonesia. Salah satunya adalah teknologi kendaraan listrik atau electric vehicle (EV). Tidak hanya kendaraan, bahkan teknologi robotik juga menjadi disruptor yang berpotensi mengubah berbagai hal dalam kehidupan manusia. 

Kecenderungannya di bidang energi adalah, end state energi sebelum ia diubah menjadi bentuk yang langsung digunakan adalah energi listrik. Oleh sebab itu, ke depan perlu dicari sumber energi primer atau sekunder yang kemudian akan menghasilkan listrik yang lebih efisien dari minyak bumi dan lebih ramah lingkungan.

Apakah teknologi kendaraan listrik sesuatu yang baru? Sebetulnya tidak juga. Listrik sebagai input ataupun output yang kemudian menghasilkan energi untuk penggerak juga sudah bukan barang baru dan terus mengalami evolusi dalam efisiensi produksi dan konsumsinya. Hanya saja, belakangan ini teknologi kendaraan listrik mendapatkan perhatian dan eksposur yang luar biasa. Sehingga, sebagian orang memperkirakan semua kendaraan berbahan bakar minyak bumi sekarang akan digantikan oleh kendaraan bertenaga listrik. Benarkah perkiraan itu? Jika benar seberapa cepatkah proses itu akan berlangsung? Lalu, apa ekspektasi kita ke depan dan bagaimana kita mengelola ekspektasi kita?

Seberapa Cepat

Sekitar akhir bulan Oktober lalu, saya sempat berkunjung ke Saudi Arabia menghadiri Future Investment Initiative bersama rombongan yang dipimpin Menteri Perdagangan Thomas Lembong dan Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar. Forum yang digagas Pangeran Muhammad bin Salman itu adalah untuk memperkenalkan visi Saudi 2030 kepada berbagai kalangan di dunia. 

Arab Saudi sepertinya menyadari bahwa mereka harus mempersiapkan diri menghadapi era pasca minyak. Seperti Indonesia di era 80-an, Arab Saudi sedang mempersiapkan sektor-sektor ekonomi unggulan selain minyak bumi di masa datang agar ketergantungan kepada minyak dapat dikurangi dan diimbangi dengan sektor unggulan lain yang terdiversifikasi.

Namun di sisi lain, ada yang menarik dari pernyataan CEO Saudi Aramco, perusahaan minyak pelat merah milik pemerintah Arab Saudi yang mengontrol produksi minyak jutaan barrel per hari dan salah satu yang terbesar di dunia. 

Amin Nasser, sang CEO dengan gamblang mengatakan bahwa kita harus lebih realistis dalam menyikapi perkembangan kendaraan listrik. Bahkan jika proyeksi pertumbuhan kendaraan listrik dinaikkan dua kali lipat dari proyeksi normal yang sudah disusun, masih akan terdapat sekitar 1,2 sampai 1,3 miliar kendaraan di dunia yang menggunakan bahan bakar minyak bumi pada tahun 2040. 

Artinya, kebutuhan akan bahan bakar fosil masih akan tinggi dan pertumbuhan permintaannya tidak akan negatif. Akan berisiko bila semua investasi bahan bakar fosil ditunda, karena dapat mengakibatkan gap antara demand dengan supply dan itu akan berbahaya bagi security of supply energi dunia. Memang kita harus berinvestasi di energi alternatif dan terbarukan, namun bukan berarti investasi di energi fosil dihentikan.

Akhir November lalu, saya juga hadir dalam sebuah knowledge sharing session dari MITEI (Massachusets Institute of Technology Energy Initiatives) yang digagas oleh MIT Alumni Association, Boston University Alumni Association yang juga melibatkan Harvard Club Indonesia yang merupakan klub alumni Harvard University di Indonesia. Saya diundang hadir sebagai anggota Harvard Club Indonesia karena partisipasi saya dalam General Management Program di Harvard Business School tahun 2012 membuat nama saya tercatat sebagai alumni dari Indonesia. 

Saya bertanya kepada Professor Robert C Amstrong, Direktur MITEI yang menjadi pembicara dalam knowledge sharing session dimaksud, tentang berapa lama kendaraan berbahan bakar fosil akan digantikan seluruhnya oleh kendaraan listrik sehubungan dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhan kendaraan listrik mendapat perhatian utama dan publik seperti terkesima, sehingga muncul ekspektasi yang terkesan euphoristic. 

Dengan gamblang Amstrong menjawab bahwa 30 tahun rasanya terlalu cepat, namun demikian 80 tahun juga terlalu lama.Meski tidak terlalu spesifik, namun saya merasa mendapat konfirmasi yang cukup penting yang dapat menjadi bahan dalam mengelola ekspektasi yang lebih rasional tentang disrupsi model bisnis oleh kendaraan listrik di masa datang.

Tentu saja sebagian praktisi, pengamat, serta ilmuwan akan berbeda pendapat tentang seberapa cepat kendaraan listrik akan mengambil alih peran kendaraan berbahan bakar minyak bumi. Namun, berdasarkan pemahaman yang didukung keterlibatan dalam beberapa studi komprehensif tentang bauran energi, proyeksi permintaan energi khususnya minyak dan gas bumi di masa datang, serta fakta empiris bahwa beberapa persoalan teknis, ekonomis dan operasional dalam pengelolaan rantai nilai model bisnis kendaraan listrik membuat saya merasa perlu melakukan rasionalisasi tentang ekspektasi kecepatan pertumbuhan kendaraan listrik. 

Di samping itu, mengingat bahwa learning curve sebuah penemuan dan penyempurnaannya akan memakan waktu panjang sebelum sampai di fase matang, saya berpendapat bahwa angka 50 tahun dari sekarang adalah angka yang realistis untuk dijadikan acuan dalam memprediksi kecepatan pertumbuhan kendaraan listrik sampai ia bisa sepenuhnya menggantikaan kendaraan berbahan bakar minyak bumi.

Ekspektasi dan Fokus Kita

Penilaian tentang panjang atau pendeknya rentang waktu yang diperkirakan pada dasarnya adalah relatif. Namun dalam konteks kurva pembelajaran sebuah penemuan, rentang waktu 50 tahun bukanlah waktu yang terlalu panjang. 

Jadi, tidak ada yang salah dengan langkah antisipatif dini yang diambil sebagai respons terhadap pertumbuhan kendaraan listrik. Namun demikian, pengelolaan ekspektasi perlu dilakukan dengan baik agar kita dapat membuat atau meyakini perkiraan milestone perkembangan kendaraan listrik di masa datang dan kemudian mendefinisikan dengan baik fokus kita ke depan.

Mengenyampingkan minyak bumi sebagai bahan bakar kendaraan dengan secara dini menyimpulkan dan memastikan seolah-olah peradaban manusia akan sampai secepatnya di era pasca-minyak rasanya juga langkah yang kurang tepat. Jika kita perhatikan, salah satu alasan utama pengurangan penggunaan minyak bumi di masa datang adalah karena faktor emisi. Namun demikian, bukankah inisiatif reduksi emisi juga bisa didorong bergerak lebih cepat ke arah lebih baik, sejalan dengan riset untuk meningkatkan kapasitas dan kecepatan penyimpanan energi listrik? Bukankah minyak bumi tetap saja merupakan salah satu sumber energi primer utama yang manfaatnya sangat besar?

Bagi negara-negara penghasil minyak dalam jumlah yang cukup besar –walaupun tergolong sebagai negara yang net importer seperti Indonesia misalnya- nilai tambah tangible dan intangible minyak bumi tetaplah merupakan faktor penting dalam perekonomiannya. 

Berdasarkan hal di atas, antisipasi terhadap perkembangan teknologi kendaraan listrik sebaiknya dilakukan dalam bentuk yang kalau boleh disebut di sini sebagai kebijakan dua arah. Di satu sisi, penggunaan minyak bumi sebagai bahan bakar kendaraan jangan sampai terabaikan dengan terus mendorong upaya-upaya ke arah penurunan emisi yang signifikan. Di sisi lain, teknologi kendaraan listrik perlu didorong agar menjadi lebih efisien dan dapat dipasarkan secara massal. 

Inilah yang dimaksudkan sebagai ekspektasi yang terrasionalisasi oleh proyeksi pertumbuhan, rentang waktu, serta milestone perkembangan ke depan. Lalu bagaimana dengan fokus kita? Kebijakan dua arah dimaksud di atas dapat dijadikan acuan dalam menetapkan fokus. Pertama, terkait dengan upaya pemanfaatan nilai ekonomi dan non ekonomi dari bahan bakar minyak bumi, kita mesti mencermati dan memberikan dukungan kepada langkah-langkah pengurangan emisi secara signifikan. 

Tentang bentuk keterlibatan dan intensitasnya bergantung kepada evaluasi terhadap kapabilitas dan nilai manfaatnya bagi kita sebagai bangsa dengan tujuan utamanya adalah keamanan dan kontinuitas suplai energi kita di masa datang. Kedua, kita harus memberikan perhatian kepada pengembangan energi primer untuk menghasilkan energi listrik yang penguasaan sumber dayanya sepenuhnya berada di tangan kita.

Dalam konsep pengelolaan bisnis, penguasaan sumber dayadi sepanjang rantai nilai dimaksud merupakan competitive advantage atau keunggulan kompetitif yang tidak dimiliki oleh pihak lain dan atau pesaing. Dan untuk Indonesia, sumber daya terpenting yang merupakan keunggulan kompetitif yang tidak dimiliki oleh pihak lain atau pesaing adalah panas bumi. 

Biofuel misalnya, dari manapun sumbernya bukanlah keunggulan kompetitif kita, karena siapapun dan di mana pun di dunia bisa melakukannya dan biofuel yang dihasilkan bersifat transportable. Jadi, kita mungkin tidak perlu mengerahkan segala sumber daya kita untuk melakukan riset dan cukup menjadi pengguna saja.

Contoh lainnya, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Benar bahwa PLTS merupakan salah satu potensi sumber energi primer yang potensial dan bisa langsung menghasilkan daya listrik. Namun, ketersediaan sumber daya, serta pengembangan teknologinya bukan merupakan keunggulan kompetitif kita.Rasanya peran sebagai pengguna akhir tidaklah menjadi kelemahan kita ketika produksi panel surya pada waktunya mencapai skala komersial.

Jadi secara eksplisit sesungguhnya tulisan ini bermaksud merekomendasikan agar kita fokus dengan pengembangan kemampuan untuk menghasilkan listrik dari sumber daya panas bumi yang kita miliki dengan mengurangi bahkan mengalihkan sepenuhnya alokasi sumber daya manusia dan sumber daya finansial kita kepada riset dan pengembangan panas bumi agar menjadi energi primer penghasil tenaga listrik yang paling unggul dari sisi teknologi dan paling efisien dari sisi biaya produksi per unit ekivalen. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by Julliana Elora

Sukses Merevitalisasi Alutsista TNI AU

Anggota DPRK Aceh Singkil Meninggal Dunia