Mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengaku sempat khawatir saat diberi tanggung jawab memimpin pelaksanaan proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP) pada tahun 2011. Ia juga mengklaim pernah meminta proyek itu tak dikerjakan Kementerian Dalam Negeri.
Pernyataan itu dikeluarkan Gamawan saat bersaksi pada sidang kasus dugaan korupsi proyek e-KTP di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (16/3). “Saat itu saya baru di Jakarta dan khawatir memimpin proyek sebesar ini. Sebagai menteri saya bertanggung jawab sekaligus sebagai pengguna anggaran dan ini sudah ada aturannya,” ujar Gamawan, dilansir dari CNN Indonesia.
Proyek e-KTP dibahas dan mulai dilaksanakan sekitar satu tahun setelah Gamawan menjabat menteri dalam negeri. Sebelum itu ia berstatus Gubernur Sumatra Barat. Gamawan menuturkan, perencanaan proyek e-KTP telah dimulai sebelum ia memimpin Kemdagri. Pada beberapa kesempatan rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR, kata dia, Kemdagri berkeras proyek KTP dibiayai ABPN. “Rapat itu kemudian berlanjut dengan penerbitan keputusan presiden yang membentuk tim pengarah dan tim teknis. Jadi proyek ini memang usulan DPR, bukan keinginan saya,” ujarnya.
Tim pengarah, kata Gamawan, bertugas memastikan kelancaran proyek e-KTP yang ditargetkan digunakan pada pemilu 2014. Sementara tim teknis dibentuk untuk membantu pejabat pembuat komitmen dari Kemdagri mengelola pelaksanaan proyek e-KTP. Gamawan mengatakan, sebagai kuasa pengguna anggaran, kementeriannya selalu dibantu tim teknis merumuskan rencana anggaran proyek e-KTP. Kepada Irman sebagai Dirjen Dukcapil saat itu, Gamawan berpesan agar anggaran proyek e-KTP dikelola secara hati-hati.
Gamawan pun mengaku telah meminta KPK dan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa untuk mengawal proyek tersebut. “Saya juga minta agar ada audit proyek anggaran ini. Saat itu BPK tidak menemukan ada kerugian negara, makanya saya kaget waktu Pak Irman jadi tersangka. Berarti ada yang saya tidak tahu,” ucapnya. Selain Irman, proyek e-KTP juga menjerat Sugiharto, pejabat pembuat komitmen pengadaan tersebut. Keduanya didakwa bertanggung jawab atas kerugian negara sebesar Rp2,3 triliun.
LOGIN untuk mengomentari.