Hebat benar Ahok ini. Kata teman saya gara-gara dia ribet negara dibuatnya. Bahkan Presiden Jokowi sampai-sampai menemui Prabowo untuk membahas isu dan situasi nasional. Jokowi juga mengumpulkan para tokoh agama dari organisasi Islam seperti Muhammadiyah, Nahdatul Ulama (NU), dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dari pertemuan itu, Presiden Jokowi meminta nasehat dan berharap mereka dapat mendinginkan suasana yang sedang bergejolak.
Selain Jokowi yang sowan ke Prabowo, Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga tak tinggal diam. SBY pun reunian dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla. TNI dan Polri sampai harus apel siaga untuk mengecek persiapan personel dalam mengantisipasi segala kemungkinan yang terjadi saat demo besar-besaran.
Tak salah kiranya jika teman saya mengatakan Ahok emang layak dijadikan man of the year 2016 ini. Bagaimana tidak, sekelas level gubernur saja bisa membuat repot Presiden dan para elite negara.
Puncaknya, umat Islam akhirnya menggelar demo besar-besaran 4 November di Jakarta. Mereka menyuarakan agar Ahok segera diproses oleh pihak kepolisian terkait dugaan penistaan terhadap agama Islam, surat Al Maidah, 51. Mereka juga meminta aparat penegak hukum tidak tebang pilih dalam penegakkan hukum di Indonesia.
Kita bersyukur aksi damai umat Islam dari penjuru Tanah Air pada Jumat kemarin itu berlangsung aman dan tertib, kendati pada ba’da Isya sempat terjadi kerusuhan.
Kalau seandainya Presiden mau menemui para pengunjuk rasa maka kerusuhan mungkin tidak akan terjadi. Indonesia butuh pemimpin yang pemberani dan tegas. Bukan pemimpin pencitraan. Pemimpin yang berani berdiri di depan para demonstran dan bukan sebaliknya, memilih menghindar. Ujung-ujungnya malah menyalahkan pihak-pihak lain sebagai dalang terjadinya kerusuhan.
Kalau kita menoleh ke belakang, demonstrasi besar ini tidak akan terjadi jika aparat penegak hukum benar-benar mampu menegakkan hukum secara adil. Demonstrasi ini sebagai bentuk kekecewaan umat Islam kepada aparat penegak hukum yang kurang responsif bahkan dianggap cenderung melindungi Ahok. Ironisnya, aparat hukum baru bertindak setelah didemo secara besar-besaran.
Tak salah kiranya pribahasa mengatakan, “Mulutmu, harimaumu”. Jika mulut tak bisa dijaga, salah keluar justru akan menerkam tuannya. Bak harimau yang tiba-tiba menerkam pawangnya. Lidah memang tak bertulang tapi tajamnya bisa melebihi dari pedang, melukai bahkan membunuh.
Tidak sedikit karena lisan terjadi pertengkaran. Persahabatan jadi rusak bahkan putus. Suami istri cekcok karena salah berucap. Singkatnya, kalau kita tidak mampu berkata baik, diam saja lah. Karena diam adalah pilihan yang bijak. Kasus Ahok ini patut menjadi pelajaran bagi kita semua untuk selalu menjaga ucapan.
Mudah-mudahan, demo besar yang dilakukan umat Islam bisa mendorong institusi kepolisian untuk berani bersikap tegas memproses Ahok tanpa mau diintervensi oleh siapapun.
Kasus ini akan menjadi salah satu taruhan serius bagi kepolisian dalam penegakkan hukum di Indonesia. Semoga polemik ini bisa menjadi bahan instropeksi diri bagi kita semua, terlebih bagi para pemimpin. Berpolitik lah dengan santun dan jangan menjelek-jelekkan agama lain. (*)
LOGIN untuk mengomentari.