Sebelum pandemi, penyakit tidak menular atau PTM merupakan penyakit katastropik dengan penyebab kematian tertinggi di Indonesia.
“Hal ini mengakitbatkan hilangnya hari produktif bagi penderita dan pendamping,” ujar Direktur Pencegahan Penyakit Tidak Menular, Kementerian Kesehatan Cut Putri Ariane, di Graha BNPB, Jakarta, Sabtu (5/7/2020).
Lebih lanjut, Cut menjelaskan bahwa saat ini tren PTM semakin meningkat, dan menyerap biaya terbesar dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
”Kalau kita lihat, jantung koroner merupakan penyakit penyebab kematian tertinggi, diikuti kanker, diabetes militus dengan komplikasi, ada tuberculosis, kemudian PPOK,” katanya.
Sementara itu, dari penelitian yang dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan menunjukkan bahwa saat ini perkembangan PTM di Indonesia kian mengkhawatirkan. Pasalnya peningkatan tren PTM diikuti oleh pergeseran pola penyakit. Jika dulu, penyakit jenis ini biasanya dialami oleh kelompok lanjut usia, maka kini mulai mengancam kelompok usia produktif.
”PTM sangat memprihatikan, karena kalau dulu anggapannya kan pada orang tua, tapi sekarang trennya mulai naik pada usia 10 sampai 14 tahun,” kata Cut.
Ancaman ini, menurut Cut, akan berdampak besar bagi sumber daya manusia dan perekonomian Indonesia ke depan. Pasalnya, di tahun 2030-2040 mendatang, Indonesia akan menghadapi bonus demografi. Usia produktif jauh lebih banyak dibandingkan kelompok usia non-produktif.
Namun, apabila tren PTM usia muda naik, maka upaya Indonesia untuk menghasilkan generasi penerus bangsa yang sehat dan cerdas menuju Indonesia maju pada 2045 sulit tercapai.
”Kita kan sebentar lagi menghadapi bonus demografi, yang kita harapkan pada usia-usia produktif yang tidak hanya cerdas secara akademis tapi juga sehat, karena sehat itu modal awal produktivitas,” terangnya.
Cut mengungkapkan masih tingginya prevalensi PTM di Indonesia disebabkan gaya hidup yang tidak sehat.
Dari data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menunjukkan bahwa 95,5% masyarakat Indonesia kurang mengonsumsi sayur dan buah. Kemudian 33,5% masyarakat kurang aktivitas fisik, 29,3% masyarakat usia produktif merokok setiap hari, 31% mengalami obesitas sentral serta 21,8% terjadi obesitas pada dewasa.
”Perilaku kita di era teknologi sekarang ini, ternyata tidak semakin baik. Mungkin momentum ini yang mengingatkan kita semua bahwa ketika imunitas tubuh kita turun, orang semakin banyak yang peduli untuk mengubah gaya hidup,” tutur Cut.
Ia menekankan perubahan gaya hidup harus dilakukan sedini mungkin sebagai investasi kesehatan masa depan.
Pengendalian faktor risiko juga harus dilakukan sedini mungkin. Masyarakat harus memiliki kesadaran kesehatan agar tahu kondisi badannya, agar semakin mudah diobati sehingga tidak terlambat.
”Jangan lupa deteksi dini. Orang sehat merasa dirinya tidak memiliki keluhan, belum tentu tetap sehat, lakukan skrining minimal 6 bulan sampai 1 tahun sekali,” ingatnya.
Di masa pandemi Covid-19 ini, menurutnya Kemeterian Kesehatan memberikan fleksibilitas kepada penyandang PTM dengan memberikan kemudahan mendapatkan obat untuk jangka waktu 2 bulan ke depan guna mengurangi mobilitas mereka ke fasilitas layanan kesehatan.(rel)