Adakalanya sebagai seorang tenaga pendidik, mungkin kita dihadapi dengan pilihan, yakni jadi ”guru biasa”, ”guru luar biasa”, atau ”guru penggerak”? memang sulit, namun pilihan itu tergantung dari guru tersebut berdasarkan niat dan tujuannya.
Menjadi seorang guru membutuhkan pemahaman yang sangat tinggi tentang apa itu Mendidik dan Mengajar. Seorang guru tidak hanya sekedar membagikan dan me
mahamkan apa yang diajarkannya kepada anak didik tetapi lebih dari itu memberikan pengalaman dan teladan yang baik terhadap anak didiknya.
Perlu disampaikan bahwa tulisan ini murni dari hasil pemikiran dan pengalaman penulis sendiri. Menurut penulis, “guru biasa” sangat berbeda dengan “guru luar biasa” (bukan biasa di luar), begitu juga dengan “guru penggerak” yang istilah dan peranannya baru diluncurkan oleh Mendikbudristek, Nadiem Makarim.
“Guru biasa” hanya sekedar mentrasfer ilmunya kepada anak didik tanpa perlu memastikan apakah ilmu yang diajarkannya itu bisa digunakan untuk menjawab permasalahan sehari-hari di lingkungannya atau tidak.
Sementara di era 4.0 sekarang ini, guru harus bisa mengarahkan anak didik untuk mampu menjawab tantangan zaman sehingga mereka tidak tertinggal dalam mengarungi zaman yang berbeda dengan zaman ketika guru berada dalam posisi sebagai anak didik dulunya.
Begitu banyak kita temui sekarang ini anak didik yang malas mengikuti pembelajaran di kelas bahkan ada yang tidak bisa mengontrol emosinya ketika dihadapkan dengan permasalahan hidup.
Kadang kita terlalu menuntut anak didik bisa menguasai seluruh materi untuk setiap mata pelajaran di sekolah. Belum lagi tuntutan orangtua, keluarga dan lingkungannya untuk bisa meraih peringkat kelas dan atau dibanding-bandingkan dengan anggota keluarga lain yang berprestasi.
Hal tersebut membuat anak merasa tertekan baik dirumah maupun di sekolah. Di sekolah, dia tidak mendapatkan sentuhan hangat dari seorang guru yang bisa membantunya untuk menjawab permasalahan yang dihadapi.
“Guru biasa” mengajar tanpa ada perencanaan atau tidak membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Mereka masuk ke kelas tanpa skenario. Mereka memberikan materi dalam bentuk ceramah atau bercerita tanpa memahami dan peduli apakah materi yang akan disampaikan cocok dengan metode tersebut.
Mereka tidak mau dipusingkan dengan model pembelajaran yang harus disesuaikan dengan karakteristik materi dan karakteristik anak didik. Akibatnya anak didik tidak tertantang untuk bernalar kritis, berkreasi dan mengembangkan potensi dirinya.
”Guru biasa” juga suka berkeluh-kesah terhadap tingkah laku anak didik yang tidak sesuai dengan yang diharapkannya. Mereka mengharapkan anak didik mendengarkan ceramah atau ceritanya di depan kelas, mengerjakan tugas yang secara acak diambil dari buku tanpa ada perencanaan yang tertuang dalam LKPD dan atau modul ajar yang dirancang sendiri.
Dalam hal pengembangan diri, “guru biasa” tidak aktif mengikuti forum diskusi guru mata pelajaran di KKG dan atau MGMP yang bisa menambah ilmu dan wawasannya tentang pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik materi dan anak didik.
Sering ditemukan bahwa”guru biasa” hanya melaksanakan pembelajaran di kelas untuk menyelesaikan target pembelajaran. Mereka tidak mampu menjadi teladan baik bagi dirinya, guru lain apalagi bagi anak didik.
Terkadang “guru biasa” memandang guru lain dan atasan (kepala sekolah) itu tidak bekerja bahkan kebijakan yang dikeluarkan atasan selalu salah dimatanya. Sehingga seringkali “guru biasa”menentang dan mencari-cari kesalahan atasan karena menganggap dirinya selalu benar.
Inilah pengalaman penulis ketika baru menapakkan kaki sebagai guru ketika baru lulus dari Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP). Sebagai seorang gurubaru, penulis tentunya harus menerapkan ilmu yang diperoleh dari perguruan tinggi dan melihat situasi di tempat mengajar seperti kondisi sarana prasarana sekolah, guru yang ada dan terlebih melihat karakteristik anak didik.
Penulis banyak belajar dari teman seprofesi baik yang telah lama mengajar maupun seangkatan. Pada saat itu forum diskusi dalam KKG maupun MGMP Kabupaten belum begitu aktif sehingga penulis memutuskan untuk bertanya dan berdiskusi secara nonformal bersama guru yang ada di sekolah saja.
Setelah satu tahun mengajar, penulis baru menyadari bahwa tidak mau terlena dengan sistem mengajar yang hanya sekedar mentransfer ilmu saja kepada anak didik. Penulis mulai aktif membaca berbagai model pembelajaran serta aktif di MGMP Kabupaten dan Provinsi.
Penulis membuat semua bentuk perencanaan pembelajaran (modul dan LKS), yang secara signifikan mampu membantu anak didik menjawab tantangan ke depan dan mengenali jati dirinya.
Disinilah peran dari “Guru Luar Biasa” yang mampu membantu anak didik untuk menjawab tantangan zaman dan permasalahannya sehari-hari. “Guru luar biasa” mampu melaksanakan 4 (empat) kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru.
Adapun keempat kompetensi tersebut adalah kompetensi pedagogik yaitu kompetensi dalam memahami anak didik, merancang, melaksanakan, mengevaluasi dan menganalisis hasil pembelajaran untuk perbaikan serta mengembangkan potensi baik akademik maupun nonakademik.
Kompetensi kedua adalah kompetensi profesional yaitu kompentensi dalam menguasai dan mengembangkan materi pelajaran yang diampunya serta mampu mengembangkan dirinya dan menggunakan teknologi dalam melakukan tindakan yang reflektif dalam perbaikan pembelajaran.
Kompetensi ketiga adalah kompetensi kepribadian yaitu bagaimana sikap dan kepribadian seorang yang dewasa, beraklak mulia, arif dan bijaksana, stabil emosinya dan bisa menjadi teladan yang baik bagi anak didik. Kompetensi yang terakhir adalah kompetensi sosial yaitu kompetensi dalam berkomunikasi dan menjalin hubungan yang baik dengan seluruh warga sekolah dan masyarakat.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi, Nadiem Makarim, telah mencanangkan konsep merdeka belajar dengan salah satu programnya yaitu Program Guru Penggerak.
“Guru penggerak” bertugas untuk menerapkan filosofi pendidikan yang dicetuskan oleh Ki Hadjar Dewantara yaitu guru selaiknya bertindak sebagai “Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani” , artinya di depan memberi contoh atau menjadi panutan, di tengah membangun semangat atau ide, dari belakang memberikan dorongan.
beberapa hal yang harus diterapkan oleh “guru penggerak” yaitu dalam mendidik dan mengajar hendaknya selalu berpihak pada anak didik, mengikuti kodrat alam dan kodrat zaman.
Artinya bukan mengikuti apa maunya anak didik sehingga pendidikan menjadi tidak terarah tetapi memahami karakteristik, perbedaan cara belajar, dan apa yang menjadi tujuan mereka sewaktu menyelesaikan pendidikan di sekolah.
Sedangkan pendidikan yang sesuai dengan kodrat alam dan kodrat zaman adalah pendidikan yang mengikuti tuntutan zaman, apalagi zaman sekarang memasuki era 4.0 yang mengedepankan teknologi dan keterampilan abad 21 yaitu 4C (Critical thingking, Creativity, Communication dan Collaboration) serta sesuai dengan kebudayaan Indonesia.
Disamping harus memiliki dan menerapkan filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara, seorang “guru penggerak” juga harus mempunyai nilai dan beberapa peran ditengah komunitasnya.
Peran tersebut adalah mampu menggerakkan seluruh guru menjadi laiknya seorang guru, menggerakkan komunitas belajar di sekolah, menjadi coach dalam permasalahan anak didik dan guru lain serta yang paling terpenting mampu menjadikan anak didik sebagai pemimpin dalam pembelajaran.
Dari pemaparan tentang “guru biasa, guru luar biasa dan guru penggerak” dapat disimpulkan bahwa menjadi guru adalah tugas yang mulia karena tidak hanya sekedar mentransfer ilmu kepada anak didik seperti yang dilakukan oleh “guru biasa”. Guru harus mempunyai empat kompetensi seperti yang diterapkan oleh “guru luar biasa”.
Dan yang paling diharapkan dari semua itu adalah seorang guru harus mampu menggerakkan guru lain dan anak didik untuk bersama-sama membangun budaya positif di sekolah. Sekolah menjadi tempat ternyaman setelah rumah oleh anak didik karena sekolah mampu mengembangkan diri mereka ke arah yang lebih baik di masa depan.
Akhirnya dengan menjadi seorang “guru penggerak”, cita-cita dan tujuan pendidikan nasional sebagaimana yang diamanatkan dalam UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 akan bisa diwujudkan.(***)