Daya dukung negara untuk menciptakan produk ekspor bernilai tambah tinggi dan berdaya saing global dinilai masih jauh dari harapan.
JAKARTA – Perekonomian Indonesia saat ini dinilai memiliki isu penting yang harus segera ditangani dengan baik, yaitu perlambatan laju ekspor yang memicu defisit neraca perdagangan dan diikuti pelebaran defisit neraca transaksi berjalan.
Dalam konteks pertumbuhan ekonomi, ekspor Indonesia hingga kini juga belum mampu memberikan kontribusi yang optimal bagi perekonomian. Salah satu ukurannya adalah kontribusi ekspor Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang masih relatif kecil, sekitar 20,19 persen, dan tertinggal jauh dari negara Asean lain, seperti Malaysia (sebesar 71 persen), dan Vietnam (sebesar 101,6 persen).
Peneliti Indef, Ahmad Heri Firdaus, mengemukakan ada beberapa hal yang menyebabkan ekspor Indonesia sangat sulit terakselerasi dan tidak berkontribusi besar terhadap PDB.
“Pertama, negara tujuan ekspor Indonesia masih relatif terbatas pada beberapa negara tradisional. Hal ini karena kurang agresifnya Indonesia dalam melakukan penetrasi atau menerobos pasar ekspor,” papar dia, di Jakarta, Minggu (23/6).
Kedua, lanjut Heri, keputusan Indonesia dalam melakukan perjanjian perdagangan bebas atau Free Trade Agreement (FTA) dengan beberapa negara atau kawasan tidak didahului dengan persiapan dan strategi yang optimal.
“Kebergantungan ekspor Indonesia pada komoditas, yang rentan terhadap gejolak perubahan harga, menjadi faktor ketiga yang menyebabkan kita sulit meningkatkan nilai ekspor,” tukas dia.
Heri juga menilai bahwa daya dukung negara untuk menciptakan produk ekspor bernilai tambah tinggi dan berdaya saing global juga masih jauh dari harapan. Oleh karena itu, dia mengingatkan agar FTA jangan hanya diarahkan ke negara maju tapi justru lebih penting ke negara berkembang dan negara berpenghasilan rendah yang lebih berprospek bagi pasar barang Indonesia. Sebab, negara berkembang pada umumnya relatif minim hambatan non-tarifnya.
Sebagai contoh, FTA di kawasan Afrika terlambat diinisiasi sehingga produk Indonesia kurang bisa bersaing. Beberapa negara Afrika menerapkan bea masuk hingga 40 persen terhadap produk impor non-FTA.
“Perjanjian kerja sama pembebasan bea masuk ke Sri Lanka, dan Bangladesh untuk ekspor produk transportasi, seperti kereta api dan pesawat udara, bisa mempercepat penetrasi produk Indonesia,” kata Heri.
Kapasitas Ekspor
Peneliti Indonesia for Global Justice (IGJ), Hafidz Arfandi, menambahkan pemerintah perlu mendorong banyak insentif agar sektor industri bisa tumbuh sehingga berdampak pada naiknya kapasitas ekspor nasional.
“Tanpa itu kita akan dihadapkan pada cadangan devisa yang minim dan selalu bergantung pada faktor eksternal,” kata Hafidz, Minggu.
Kinerja ekspor Indonesia yang kurang menggembirakan berdampak pada neraca perdagangan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan defisit neraca perdagangan pada April 2019 mencapai 2,5 miliar dollar AS, atau yang terparah sepanjang sejarah Indonesia.
Guna memperbaiki defisit itu, Hafidz menyarankan ke depan pemerintah juga perlu memperbaiki fundamental dalam struktur perekonomian nasional, terutama di sektor minyak dan gas (migas) karena selama ini masih banyak bergantung pada impor. “Pada kuartal I-2019 kita defisit perdagangan migas sampai 2,7 miliar dollar AS,” kata dia.
Ketegangan politik di Timur Tengah, menurut Hafidz, mengakibatkan harga minyak terus terkerek naik sehingga bakal memperlebar defisit neraca perdagangan Indonesia. Selain itu, dia juga menyarankan pemerintah memperhatikan sektor non-migas yang pertumbuhan impornya jauh lebih pesat dibandingkan ekspor. “Ini juga perlu perhatian khusus untuk membenahi industri,” imbuh dia.
Sebelumnya, sejumlah kalangan juga mengingatkan pemerintah untuk memprioritaskan perbaikan masalah akut perekonomian Indonesia, yakni potensi pelebaran defisit neraca transaksi berjalan atau current account deficit (CAD).
Salah satu upaya yang layak dilakukan adalah mengangkat kinerja ekspor dengan dukungan keberpihakan pemerintah. Saat ini, ekspor cenderung melemah karena daya saing global yang belum kuat ditambah dengan memanasnya tensi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. YK/Ant/WP