Para elite harus dewasa sedikit dalam menyikapi berbagai peristiwa. Untuk kali ini utamanya hasil-hasil Pemilu Serentak 2019, khususnya pilpres. Banyak elite yang tidak juga dewasa. Orangnya hanya itu-itu. Mereka ini terus mencari panggung agar tetap eksis, meski sebenarnya masyarakat sudah tidak terlalu memperhatikan, baik ucapan maupun gerakan dan ajakannya.
Mereka lalu dengan berbagai cara mencari panggung untuk dijadikan arena tampil. Padahal mestinya dari sisi usia mereka berada di rumah saja menikmati hari-hari pensiun dengan berbuat kebajikan dan memberi teladan agar menjadi panutan rakyat. Namun kenyataannya, orang-orang tua itu terus saja mencari panggung.
Salah satu cara mencari panggung adalah menggerakkan massa. Dengan berbagai alasan, para elite masa lalu itu mengancam dan sudah ada yang benar-benar menggerakkan massa. Salah satu “kendaraan” gerakan massa dengan menuduh KPU curang. Semua yang bicara KPU curang, hanya sampai pada ucapan karena mereka tidak pernah mampu menunjukkan bukti. Mereka selalu bersembunyi begitu ditanya bukti.
Semestinya, semua elite harus menghentikan upaya-upaya menggerakkan massa. Jangan memobilisasi rakyat karena mereka tidak tahu. Rakyat hanya dibohongi. Rakyat tidak pernah mendapat keuntungan apa-apa walau selalu diseret-seret untuk berunjuk rasa. Sudah tidak zaman lagi menggeret-geret rakyat untuk mencari panggung.
Semua harus menghentikan upaya penggerakan massa karena itu hanya akan membuat gaduh dan mengganggu kerja KPU. Padahal institusi ini tengah bekerja keras, sehingga memerlukan konsentrasi penuh karena KPU mengurusi sesuatu yang amat menentukan perjalanan bangsa. Kalau KPU terus saja diganggu dengan melemparkan isu kecurangan dan penggerakan massa, hal itu justru berbuah kontraproduktif atas kinerja KPU.
Kalau gentle, ya berani menunggu hasil KPU tanggal 22 Mei. Nah, setelah itu, kalau mau menggugat adalah waktunya. Jadi, sekarang lebih baik mengumpulkan bukti-bukti sebagai senjata nanti menggugat kalau KPU dianggap curang. Itu baru gentle. Jangan belum-belum karena sudah merasa dan takut kalah, lalu menuduh KPU curang.
Selain itu, masyarakat juga mengerem dalam berkata-kata, baik diucapkan secara langsung ataupun melalui media sosial. Contoh ucapan seorang dosen di Bandung yang provokatif, jelas makin memperkeruh suasana. Dosen harusnya terdidik dan mendidik (masyarakat). Jangan malah mengeluarkan pernyataan provokatif. Dia berkata, satu pendemo mati harus diganti 10 nyawa polisi.
Ini jelas bukan ucapan pendidik, tetapi preman. Tidak pantas pendidik mengeluarkan pernyataan nyawa ganti nyawa seperti itu. Rektor tempat dia mengajar harus memberi sanksi, apalagi sekarang yang bersangkutan telah ditangkap polisi. Pendidik malah memperlihatkan tidak educated.
Pernyataan yang tak kalah membuat gaduh datang dari pensiunan tentara, bekas Kepala Staf Kostrad, Mayjen (Pur) Kivlan Zen, yang mengeluarkan pernyataan tidak pantas terhadap mantan Presiden Yudhoyono. Pernyataan yang sangat tidak pantas tersebut amat disayangkan keluar dari sesama mantan tentara. Apalagi pernyataan tersebut tersebar luas karena disampaikan di depan massa dan media. Kalau nanti kubu SBY mengambil jalur hukum atas pernyataan tidak terpuji Kivlan, tentu hanya akan menambah kegaduhan.
Sudahlah, mari semua, sekali lagi bersikap dewasa, menunggu kerja keras KPU. Beri suasana tenang biar KPU merampungkan tugasnya. Jangan terus diganggu. Dewasa sedikitlah para elite. Jangan terus mencari panggung. Mari sumeleh.
Mari meredakan hati yang panas apa pun sebabnya. Dan jangan merongrong pemerintah yang sah. Aparat harus bertindak tegas kalau ada elite-elite yang menggerakkan massa untuk merongrong pemerintah yang sah.