in

Hoax – Media Sosial – Media Arus Utama

Media digital dan non digital hanya berbeda dalam hal medium cetak. Selebihnya sama. Itulah sebabnya, kebijakan pemberitaan mestinya mengedepankan ketepatan, keakuratan, dan kebenaran.

Kehadiran media sosial adalah keniscayaan ketika setiap individu melalui jaringan internet terhubung satu sama lain dengan perangkat desktop atau mobile phone. Informasi tersebar dalam sekejap. Mulai dari konten edukasi yang bermanfaat hingga konten hoax (palsu) yang menyesatkan.

Melalui media sosial, setiap orang bisa jadi pewarta foto atau berita. Mengunggah atau membagi informasi sekehendak hati. Tanpa batasan. Padahal ada undang-undang yang mengatur konten yang beredar di media sosial.

Undang-undang yang dilmaksud adalah revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang mulai berlaku Senin, 28 November 2016. Dalam UU ITE itu dijelaskan, masyarakat dilarang membuat dan menyebarkan informasi yang bersifat tuduhan, fitnah, maupun SARA yang mengandung kebencian.

hari pers 3

Dalam hal hoax, berita palsu, artinya berita tersebut beredar tanpa adanya peristiwa atau fakta. Akibatnya, hoax tak sekadar menuduh atau memfitnah, ia memutarbalikkan fakta. Peristiwanya yang sama sekali tidak ada, diada-adakan. Foto jembatan Cisomang yang terlihat meliuk di tol Purbaleunyi beberapa waktu lalu adalah berita palsu. Kenyataannya, jembatan tersebut masih cukup rata dan bisa dilalui, meski dengan pembatasan tonase.

Pengunggah foto tersebut sebenarnya bisa dianggap melanggar UU ITE, karena yang ia unggah tidak sesuai dengan fakta. Kita tidak tahu motif apa dibalik penyebaran foto tersebut. Mungkin ia sekadar iseng atau memang ada niat yang tidak baik. Yang pasti kesadaran orang bermedia sosial dengan baik perlu dikampanyekan. Bahwa ada UU ITE yang menjadi landasan berkomunikasi harus diketahui pengguna media sosial.

Agak berbeda dengan ranah media sosial, media arus utama sudah lama menjalankan undang-undang tentang pers yang mengatur apa yang boleh dan tidak boleh diberitakan. Undang-undang yang dimaksud adalah UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang mengatur ketentuan pers, perusahaan pers, wartawan, dan kebijakan pemberitaan. Pada pasal 6 dikatakan pers nasional melaksanakan peran dan mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat. dan benar.

Melihat ketentuan tersebut maka berita palsu atau setengah palsu pasti tidak masuk dalam kategori informasi yang tepat, akurat, dan benar. Dalam hal berita yang muncul di media cetak, khususnya koran saringannya lebih ketat. Ada hirarki penulisan sebelum sebuah berita akhirnya dicetak dan diedarkan.

Berita mula-mula ditulis oleh reporter yang mendapat fakta dari sumber primer atau sekunder. Tulisan tersebut kemudian dilihat dan dikoreksi oleh redaktur atau editor. Hasil koreksi, lalu diserahkan pada Redaktur Pelaksana sebelum akhirnya disetujui oleh Pemimpin Redaksi untuk kemudian dicetak. Jadi paling tidak ada 3 jenjang pemeriksaan. Dalam setiap jenjang akan dilihat keakuratan bahasa dan kebenaran isi.

Penjejangan tersebut tidak dijumpai dalam ranah media sosial yang dikelola oleh individu. Individu dalam hal ini berperan sebagai penulis, editor, Pemimpin Redaksi, dan pengunggah. Tak ada fungsi sensor. Benar tidaknya isi berita tergantung pada interpertasi individu. Untung kalau ia menyadari ada UU ITE atau UU Pers yang memagari, sehingga yang muncul adalah informasi yang akurat, benar, dan bermanfaat. Kalau tidak, bisa saja berita palsu, setengah palsu, atau plintiran ini tersebar luas dan meresahkan masyarakat.

Itulah sebabnya, Kepala Negara berharap agar media arus utama mampu meluruskan hal yang bengkok, menjernihkan kekeruhan di media sosial, dan tidak lantas ikut larut dan malah memungut isu-isu yang belum terverifikasi di media sosial sebagai bahan berita.

Dalam menjalankan peran tersebut, Presiden menekankan, media arus utama harus tetap menjunjung tinggi etika jurnalistik. Faktualitas, objektivitas, dan disiplin dalam melakukan verifikasi tidak boleh luntur dalam pelaksanaannya.

Di sisi lain pengelola media sosial juga harus terus mendewasakan diri. Kecepatan yang menjadi cirinya harus dibarengi dengan keakuratan. Karena media sebenarnya berfungsi sebagai kontrol dan memberi informasi yang benar pada masyarakat tanpa distorsi. Oleh sebab itu, ia harus berdiri di tengah dengan memberi tempat pada dua belah pihak (cover both side). Di tengah kebimbangan masyarakat atas isu, desas-desus, atau informasi yang bertebaran, media harus memberi pencerahan.

Harapannya, Hari Pers Nasional pada 9 Februari 2016 menjadi langkah awal meneguhkan komitmen bersama untuk membangun Indonesia yang lebih harmonis lewat berita yang benar, tepat, dan akurat.

What do you think?

Written by virgo

Tanggapi Keluhan Masyarakat Soal Listrik, Presiden Tinjau Proyek Pembangkit di Maluku

Pemkot Jakut Gelar Laporan Pelaksanaan Kegiatan