in

Hong Kong Pasca Manuver Tiongkok

Bertram Budiharto
Siswa SMA Binus International School Simprug

“Otonomi telah berakhir!”, teriak salah satu aktivis Demosisto, Joshua Wong. Iya, betul, dengan pemberlakuan UU Keamanan Nasional pada 1 Juli lalu oleh Tiongkok, banyak pengamat politik dunia mengatakan, undang-undang tersebut secara efektif menghilangkan hak otonomi yang seharusnya dirasakan Hong Kong hingga tahun 2049 sesuai perjanjian penyerahan kembali Hong Kong dari Inggris ke Tiongkok.
Hari itu telah menjadi bagian dari sejarah berakhirnya sistem politik Tiongkok yang mengadopsi kebijakan ‘Satu Negara, Dua Sistem’, untuk menghormati kebebasan yang telah lama dirasakan masyarakat Hong Kong.

Pemimpin kota itu, Carrie Lam, berkali-kali menegaskan bahwa undang-undang itu hanya menargetkan sebagian orang yang melanggar aturan subversi dan pemisahan diri, bukan pihak oposisi secara keseluruhan. Carrie Lam berargumen, kebebasan berpendapat masih dijamin oleh otoritas setempat. Faktanya, hingga 1 Juli lalu, sudah lebih dari 180 orang ditangkap karena melanggar undang-undang baru itu.

Namun, tetap saja keberanian Beijing untuk secara nekat melakukan hal itu membuktikan elite Partai Komunis Tiongkok adalah orang-orang yang penuh tipu daya. Karena itu tidak bisa dipercaya sama sekali janji-janji dan omongannya. Jauh sebelum kejadian kontroversial ini, ketegangan antara Amerika dan Tiongkok kembali semakin memanas.

Yang teranyar dari sisi bisnis dan finansial, Kongres AS secara bipartisan meloloskan sebuah RUU yang intinya mendaftarhitamkan sebagian perusahaan asal Tiongkok termasuk korporasi platform e-commerce Alibaba dari Bursa Efek Wall Street jika perusahaan-perusahaan tersebut tidak mematuhi dan mengikuti aturan yang ditetapkan oleh Amerika.

Beberapa aturan dari itu mengharuskan dokumen keuangannya diaudit oleh auditor independen asal Amerika dan menyatakan secara tertulis tidak ada intervensi atau campur tangan dari elite Partai Komunis Tiongkok. Sudah bukan rahasia lagi, setiap perusahaan di Tiongkok harus mendapatkan pengawasan dari elite partai komunisnya, dengan memasukkan sebagian kader dalam jajaran direktur perusahaan.

Contoh lain dari ketidaktransparansian laporan keuangan perusahaan Tiongkok adalah sebuah kedai kopi yang bernama Luckin Coffee, yang dalam satu hari saja aset sahamnya hancur sebanyak 90 % sehingga menyebabkan investor Amerika rugi bandar.

Menurut penulis, dengan upaya susah payah untuk mencaplok Hong Kong kembali ke tangan Beijing, ini merupakan sebuah langkah balasan atas keputusan Amerika yang keras itu. Pembalasan yang dilakukan Amerika untuk mencabut status kota itu sebagai pusat finansial global dengan segala keistimewaan yang dimilikinya itu dan dianggap sebagai bagian terpisah dari Tiongkok daratan dalam setiap pengambilan kebijakan perang dagang oleh Trump sudah menjadi kalkulasi yang matang dari pihak Tiongkok.

Dengan kata lain, langkah pukulan balik dari Amerika itu sudah pasti sedikit banyaknya akan merugikan Hong Kong dan menghancurkan hak-hak yang sudah lama dirasakan oleh Hong Kong dari Dunia Barat. Tabir Tiongkok pun semakin lama kian terbuka, dalam waktu jangka panjang, merebut dan memindahtangankan kebesaran Bursa Efek Hong Kong, Hang Seng, ke Bursa Efek yang sering dijagokan pemerintahan Beijing, Shenzhen dan Shanghai.

Jujur, ini langkah yang sangat cerdik namun masih sangat sulit untuk mencapainya. Apalagi, satu per satu tabir Tiongkok sudah semakin terbuka dan mendapatkan sorotan dunia terutama atas penanganannya terhadap wabah pandemi korona akan membuatnya pula semakin dikucilkan.

Menjadikan Hong Kong sebagai daerah proksi baru selain Laut Cina Selatan yang akhir-akhir ini terus diganggu gugat oleh Tiongkok terus-menerus adalah sebuah langkah yang fatal. Alasannya tak lain dan tak bukan adalah sikap Inggris dan kota bayangan yang tak pernah terlihat di dalamnya, City of London, yang pada awalnya cenderung tak mau bersikap atas ketegangan dan pertikaian antara Amerika dan Tiongkok, terpaksa harus bersikap.

Inggris memang tidak pernah bisa dipisahkan dari urusan politik Hong Kong. Pada akhirnya, negara itu tak bisa lagi berdiam diri, cenderung netral, dan bersikap acuh tak acuh serta apatis terhadap situasi instabilitas politik yang sedang terjadi di Hong Kong saat ini. Sebut saja, Inggris kemarin menawarkan kewarganegaraan secara cuma-cuma dan eksklusif kepada pemegang paspor Hong Kong dan mereka yang mau menerima tawaran itu akan dijamin mendapatkan pekerjaan oleh pemerintah kerajaan itu.

Pandangan liar pun menjadi lari kemana-mana, mempertanyakan, apakah hubungan Amerika Serikat dengan Inggris bisa menjadi lebih solid lagi karena memiliki kesamaan cara pandang tentang kondisi politik luar negeri yang kini sedang memanas? Ini bisa sangat berbahaya mengingat dua negara itu berperan penting dalam mempererat organisasi militer dunia, NATO.

Baru-baru ini Menlu AS Mike Pompeo memberikan sinyal yang sangat kuat. Amerika di bawah kepemimpinan Trump akan segera mengumumkan kebijakan yang akan diambil untuk menanggapi pencaplokan wilayah Hong Kong oleh Tiongkok. Pastinya, politik proksi antar kedua negara akan semakin seru ke depannya. Apalagi, Trump semakin geram dengan Tiongkok karena pandemi korona di negaranya semakin liar, sangar, dan tidak menunjukkan tanda-tanda apapun yang mengindikasikan penyebarannya akan segera mereda.

Publik pun bertanya-tanya apa langkah pembalasan yang akan dilaksanakan oleh Amerika mengenai isu Hong Kong ini, diikuti dengan langkah pembalasan balik oleh Tiongkok. Yang jelas, hubungan antara dua negara adidaya itu bagaikan hubungan antara anjing dan kucing. Ada kalanya mereka bisa saling akur dan ada kalanya mereka bisa saling bertengkar, bahkan bercakar-cakaran. (*)

What do you think?

Written by Julliana Elora

Presiden Jokowi Berikan Arahan Penanganan Covid-19 di Provinsi Kalteng

Sekolah Dimulai 13 Juli, Kadis: Jika Ada Kasus Sekolah Dihentikan