in

Ihwal Kepemilikan Properti oleh WNA

Pemerintah telah menerbitkan peraturan pemerintah (PP) atas kepemilikan rumah bagi warga negara asing (WNA). Aturan kepemilikan aset properti itu diatur dalam PP No.103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia. Menurut pendapat Dosen Hukum Agraria, bapak Kurnia Warman (KW), kebijakan kepemilikan properti oleh WNA ini tak perlu dikhawatirkan.

Pasalnya, selama ini WNA memang bisa memiliki atau membangun rumah di atas hak pakai (HP) atau hak sewa (HM), bukan hak milik (HM). Tentunya, jangka waktu HP atau HS ini terbatas. “Ini bukan hal baru, di UU Pokok Agraria (UU No. 5 Tahun 1960) sudah ada, WNA bisa membangun rumah di atas hak pakai dan hak sewa, tetapi tidak bisa memiliki hak atas tanahnya,’’katanya (hukumonline, Senin, 18 Januari 2016).

Saya sendiri sepakat dengan pak KW bahwa UUPA sendiri memberikan ruang bagi WNA untuk memiliki properti di Indonesia dengan status HP (lihat Pasal 42 huruf b UUPA) atau HS (Lihat Pasal 45 huruf b UUPA). Tetapi saya tidak setuju bila kebijakan ini tak perlu dikhawatirkan.Sebab, diterbitkannya PP kepemelikan properti oleh WNA ini memberikan kesan diskriminatif.

Pasalnya, hingga sampai saat ini masih banyak warga negara Indonesia yang kesulitan ataupun belum memiliki rumah.Kesulitan ini disebabkan oleh tingginya bunga kredit perumahan rakyat (KPR) untuk wilayah pedesaan dan sulitnya mendapatkan lahan untuk wilayah perkotaan. 

Selain itu, penduduk Indonesia yang mendirikan rumah semi permanent diatas tanah milik negara pun banyak yang digusur secara paksa, bahkan mengalami kekerasan yang telah menjurus kearah pelanggaran HAM. Hadirnya PP No. 103 Tahun 2015 yang mengatur kepemilikan properti oleh WNA di Indonesia menunjukkan bahwakebijakan pemerintah disektor properti dinilai lebih ramah kepada investasi asing ketimbang warga negara Indonesia sendiri. Beberapa kalangan banyak yang menilai bahwa PP tersebut merupakan kemunduran bagi agenda reforma agraria.

Patut Dikhawatirkan

Pasal 2 ayat (1) PP No. 103 Tahun 2015 menyebutkan bahwa ‘’orang asing dapat memiliki rumah untuk tempat tinggal atau hunian dengan hak pakai’’. Selanjutnya Pasal 6 PP tersebut menyebutkan jangka waktu untuk hak pakai  diberikan selama 30 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 20 tahun. Jika waktu perpanjangan berakhir, maka dapat diperbarui untuk jangka waktu 30 tahun.

Total waktu yang diberikan untuk kepemilikan properti oleh WNA yang beralaskan HP adalah 80 tahun. Pengaturan tersebut bertolak belakangdengan ketentuan PP No. 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah meyebutkan bahwa jangka waktu HP diberikan paling lama 25 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 25 tahun pula.

Sedangkan HP atas tanah hak milik tidak dapat diperpanjang. Selain itu, UU No. 25 Tahun 2007 (UU Penanaman Modal) mengatur pemberian HP diberikan dengan jumlah waktu 70 tahun untuk investasi asing. Artinya, kepemilikan properti oleh WNA yang melebihi jangka waktu 70 tahun dalam PP No. 103 Tahun 2015 tersebut patut dipertanyakan. 

Tak hanya itu, PP No. 103 Tahun 2015 juga tidak mengatur harga, luas, dan jumlah yang diberikan terhadap kepemilikan properti oleh WNA. Terkait dengan harga dan jumlah, tidak adanya batasan dalam hal tersebut tidak menutup kemungkinan WNA dapat membeli rumah dengan harga murah di tengah banyaknya keinginan masyarakat Indonesia yang ingin membeli rumah dengan harga murah.

Selain itu, hal tersebut juga memberikan peluang bagi WNA untuk menjadi penumpang ‘’gelap’’ dalam program sejuta rumah (PSR) yang diadakan oleh pemerintah dan TKA di Indonesia bisa saja merasa sebagai subjek dalam tabungan perumahan rakyat (Tapera) sebagaimanadimaksud dalam UU No. 4 tahun 2016 (UU Tapera).

Selanjutnya, menyangkut tidak adanya pengaturan batasan luas, secara teknis yuridis hal tersebut bertentangan dengan UUPA. Sebab, dalam UUPA sendiri mewajibkan adanya pengaturan akan luas minimun dan maksimum atas penguasaan tanah yang dibebani hak atas tanah. Hal ini bertujuan untuk tidak merugikan kepentingan umum, maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 UUPA.Tidak adanya pengaturan luas tersebut membuat kepemilikan lahan kian terkonsenterasi ditangan segelintir orang, termasuk oleh WNA.

Pada hakikatnya, hanya warganegara Indonesia yang dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa sebagaimana termaktub dalam Pasal 9 ayat (1) UUPA. Artinya, hak-hak warga negara Indonesia haruslah didahulukan dalam lapangan agraria. Pemerintah jangan terlalu kalap dalam mengejar investasi asing demi meningkatkan pertumbuhan ekonomi sehingga lupa akan tugasnya terhadap warga negara Indonesia sendiri. Pemerintah harus ingat bahwa UUPA lebih mendorong pemerintah dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui ekonomi kerakyatan berbasis usaha koperasi. 

Pemerintah yang diberikan hak untuk mengatur peruntukkan, pengelolaan, pemanfaatan, penggunaan dan pemeliharaan serta pengawasan oleh UUPA atas subjek dan objek yang ada di atas permukaan bumi dan didalam perut bumi, sasaran dan capaian yang harus dipenuhi adalah untuk kemakmuran rakyat dan menjamin derjat hidup yang baik bagi warga negara Indonesia, bukan WNA yang secara geneologis tidak memiliki hubungan apapun dengan bangsa Indonesia.

Bagaimana mungkin pemerintah bisa begitu ramah dan memanjakan WNA, sementara itu masih banyak warga negara Indonesia yang digusur secara kasar, kesulitan memiliki rumah, hidup dibawah kolong jembatan, tingal di kuburan, hingga tidur dipinggiran toko-toko milik orang lain tanpa beralaskan apapun? Wallahu’alam. (*)

*Agung Hermansyah – Mahasiswa Jurusan Hukum Agraria dan Sumber Daya Alam FH-UA dan lagi magang di Perkumpulan Qbar

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Markplus Cari Marketeers Brand Ambassador

Pilar-pilar Sosial Padang Dinilai