Jakarta ( Berita ) : Indonesia dinilai perlu memiliki Badan Pengelola Perkelapasawitan untuk peningkatan pengembangan industri kelapa sawit di dalam negeri, di mana saat ini instrumen yang ada berupa Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS).
Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Fadhil Hasan, dalam Seminar Mengkaji Rancangan Undang-Undang Perkelapasawitan mengatakan bahwa nantinya Badan Pengelola Persawitan tersebut bukan hanya mengelola keuangan tetapi juga fungsi lain untuk pengembangan industri kelapa sawit nasional.
“Jika undang-undang disahkan maka bisa dikatakan ini akan mentransformasi BPDP-KS. Bukan hanya mengelola keuangan saja, tapi termasuk mengatur fungsi lain dari industri tersebut,” kata Fadhil, di Jakarta, Rabu [14/12].
Saat ini di Dewan Perwakilan Rakyat tengah menggodok Rancangan Undang-Undang Perkelapasawitan. Dalam rancangan undang-undang tersebut, diamanatkan membentuk Badan Pengelola Perkelapasawitan.
Rencananya, beberapa fungsi Badan Pengelola Perkelapasawitan tersebut adalah melakukan pembinaan terhadap pelaku usaha dan pekebun, mempercepat proses investasi dan pengembangan dan mendukung sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
Selain itu, melakukan promosi dan diplomasi dagang, serta menghimpun dan mengelola keuangan untuk pengembangan perkelapasawitan nasional. Diharapkan juga mampu mempermudah izin usaha kelapa sawit, melindungi dan mengembangkan petani kecil serta membentuk sistem informasi perkelapasawitan.
Para pelaku usaha kelapa sawit menilai bahwa rancangan undang-undang tersebut perlu untuk segara disahkan supaya bisa menyelesaikan beberapa masalah yang kerap timbul pada industri tersebut. Beberapa persoalan itu antara lain adalah soal pengadaan lahan, konflik lahan, deforestasi dan kebakaran hutan.
Dalam kesempatan tersebut, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Firman Subagyo menyatakan bahwa terkait dengan pembahasan RUU Perkelapasawitan masih membutuhkan waktu kurang lebih 3-4 bulan ke depan. Saat ini masih menunggu masukan dari pemangku kepentingan dan diharapkan rampung pada 2017. “RUU bisa selesai pada 2017, supaya bisa mengatasi berbagai persoalan perkelapasawitan nasional,” kata Firman.
Tercatat, ekspor minyak sawit pada Oktober 2016 mengalami kenaikan sebesar 6,5 persen menjadi 3,55 juta ton dari bulan sebelumnya sebesar 3,33 juta ton. Peningkatan ekspor minyak sawit tersebut sejalan dengan produksi September dan Oktober 2016 yang merupakan bulan puncak panen kelapa sawit 2016.
Berdasar catatan Gapki, ekspor minyak sawit berupa crude palm oil termasuk biodiesel, oleochemical dan turunannya, pada Oktober meningkat 34 persen dibandingkan bulan sebelumnya dari 1,89 juta ton di September naik menjadi 2,54 juta ton pada Oktober 2016.
Sementara untuk stok minyak sawit Indonesia pada Oktober 2016 tercatat sebanyak 2,18 juta ton. Angka tersebut naik tipis 0,4 persen dibandingkan September 2016, dimana stok berada pada posisi 2,17 juta ton. (ant )