Ada Yang Ketahuan setelah Dewasa dan Lulus Kuliah
Rare Disease Day yang jatuh pada hari terakhir Februari setiap tahun menjadi pengingat keberadaan penyandang kelainan genetik langka. Di Indonesia ada komunitas yang mewadahi mereka, yaitu Indonesia Rare Disorders.
Istilah-istilah medis seperti Treacher-Collins Syndrome, Pierre-Robin Syndrome, Cornelia de Lange Syndrome, Apert Syndrome, Digeorge Syndrome, dan Joubert Syndrome memang masih asing bagi kebanyakan orang. Itulah jenis kelainan langka yang ada di Indonesia.
Disebut langka karena angka kejadiannya lebih kecil dari 1:2.000. Artinya, di antara 2.000 orang, hanya terdapat satu orang yang mungkin mengalaminya. Lantaran penyandangnya sedikit, informasi mengenai kelainan itu juga minim.
Akibatnya, keluarga yang memiliki anak dengan kelainan langka kerap merasa sedih, bingung, dan tidak tahu harus mencari informasi ke mana. Belum lagi stigma negatif yang didapat karena kurangnya awareness masyarakat mengenai kelainan langka tersebut.
Itulah yang kemudian melatarbelakangi terbentuknya Indonesia Rare Disorders (IRD) pada 24 September 2015. Yola Tsagia, ketua IRD, menceritakan, komunitas itu didirikan tiga founder.
Selain dirinya, ada Wynanda B.S. Wibowo dan Koko Prabu. Ketiganya merupakan orang tua dari anak dengan kelainan langka yang berbeda-beda.
Awalnya, mereka membuat komunitas masing-masing di media sosial (medsos).
“Tapi, namanya kelainan langka, anggotanya juga langka, hanya 3–5 orang. Akhirnya, kami berinisiatif untuk menggabungkan komunitas-komunitas itu,” papar Yola saat ditemui di rumahnya, Depok, Minggu (19/2).
Perempuan 36 tahun tersebut merupakan ibunda Odilia Queen Lyla, 8. Yola baru mengetahui sang putri mengalami kelainan genetik langka Treacher-Collins Syndrome (TCS) pada usia 6 tahun.
Ketika Odil –sapaan Odilia– lahir hingga berusia 6 tahun, tidak ada yang mengetahui apa yang terjadi padanya. Namun, memang, Yola mengakui bahwa ada gangguan dalam tumbuh kembang putrinya. Antara lain, speech delay serta gangguan pendengaran dan keseimbangan.
Odil juga menunjukkan gejala sulit menelan dan sulit bernapas, berat badannya sulit naik, saat balita tidak melalui fase merangkak, dan sering sakit. “Usia 3–5 tahun, saya dan suami mengikutkan Odil terapi wicara dan sensori integrasi,” papar istri Soerjo Satrijo tersebut.
Saat TK, Odil juga bersekolah dengan teman-teman sebayanya. Hanya, dia amat pendiam. Sampai kemudian, pada Mei 2015, Odil mengalami demam berkepanjangan.
Dokter melihat telinga Odil yang sangat kecil dan menyarankan untuk menjalani tes brainstem evoked response audiometry (BERA). Yola ingin mencari jawaban atas kondisi sang putri sebelum Odil masuk sekolah dasar.
Saat ke RSCM Jakarta itulah dokter melihat Odil dan bisa ’’menebak’’ bahwa gadis kecil berambut panjang itu mengalami TCS. “Itu kali pertama saya mendengar TCS. Saya sebelumnya sama sekali buta tentang itu,” kenang Yola.
Selama empat jam dokter menjelaskan panjang lebar mengenai kelainan genetik langka yang diderita anaknya tersebut. TCS merupakan gangguan genetik yang ditandai terganggunya proses perkembangan arcus pharyngealis pertama dan kedua.
Pada TCS, terjadi dysostosis atau gangguan proses penulangan, yang terutama terlihat pada tulang mandibula dan tulang-tulang wajah. Kondisi TCS itu 40 persen diturunkan dan 60 persen mutasi de novo (spontan).
Secara teori, TCS dapat dideteksi sejak bayi masih di dalam kandungan. Namun, pada praktiknya, hal itu masih sulit dilakukan. Karena itu, lebih banyak penderita TCS yang terdiagnosis setelah anak lahir.
“Terus terang, saya kaget, sedih, marah, denial, nangis, bercampur menjadi satu,” tutur Yola. Pasalnya, dalam riwayat keluarganya maupun keluarga suami, tidak ada satu pun yang memiliki kelainan itu.
Sebagai ibu, Yola merasa sedih dan khawatir akan masa depan putrinya. Untung, Yola tidak lama terpuruk. Dia berusaha mencari tahu sedetail-detailnya tentang TCS serta apa yang bisa dilakukan untuk mengoptimalkan tumbuh kembang putrinya.
***
Siang itu, saat Jawa Pos (Group Padang Ekspres) ke rumahnya, Odil sedang bermain piano bersama sang ayah. Gadis cilik murah senyum yang kini duduk di kelas II SD tersebut lantas menghampiri sang mama. Ditanya apa kegiatan favoritnya, Odil yang menggunakan alat bantu dengar menjawab membaca dan menggambar.
“Mau baca Moana ya Ma,” kata Odil sambil memilih sendiri bukunya.
Dia lantas membaca buku dongeng tersebut bersama sang mama. Setelah itu, dia berganti bermain angklung. “Saya dan suami mendidik Odil menjadi anak yang tangguh. Dia menyadari bahwa dirinya berbeda. Namun, dia berjiwa kuat dan mandiri,” ujarnya.
Alumnus Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi dan Sekretaris Tarakanita tersebut mendirikan komunitas Love My Face untuk menggalang support group dengan sesama penyandang TCS atau ortu yang memiliki anak TCS.
“Kami menemukan ada tujuh penyandang TCS di Indonesia. Dua di antaranya sudah usia dewasa. Yang terdata baru itu. Tapi, saya rasa masih banyak lagi, terutama di pelosok yang belum terjangkau informasi,” ujar Yola.
Sampai akhirnya, dia membentuk komunitas IRD bersama dua temannya itu. “Yang perlu dikuatkan lebih dulu adalah orang tuanya. Itu jadi PR kami di komunitas. Ketika orang tuanya sudah bisa menerima, selanjutnya bisa mengoptimalkan anak dan sharing awareness dengan orang lain,” tuturnya.
Hal senada diungkapkan Dewi Indah Sari, ibunda Naura Aisyah Salsabila (Ais), 20 bulan. Ais merupakan anak ketiganya. Anak pertama yang berusia 11 tahun dan anak kedua 8 tahun tumbuh normal. Sebelum hamil Ais, Dewi yang merupakan staf di Kementerian Kesehatan sempat dua kali mengalami keguguran.
Dari hasil pemeriksaan kandungan saat berusia 25 minggu, dokter menemukan ada yang berbeda pada bentuk kepala janin. Setelah dilakukan USG 4 dimensi, dokter menyimpulkan bahwa janin Dewi mengalami Apert Syndrome. Ais lalu lahir pada 2 Juni 2015.
’’Ketika itu belum banyak info mengenai Apert Syndrome. Saya merasa sendirian,’’ ungkapnya.
Sampai akhirnya, pada peringatan Rare Disease Day 2016, Dewi dikenalkan dengan komunitas IRD. Apert Syndrome merupakan kelainan genetik yang mengakibatkan perkembangan tengkorak tidak normal.
Beberapa tandanya adalah kepala mendesak ke luar (frontal bossing), mata tampak melotot, wajah bagian tengah dari bawah dahi sampai pipi cekung ke dalam, dan jari-jari tangan serta kaki menyatu dan simetris (sindaktili).
“Ais tumbuh giginya telat. Jalannya juga telat. Namun, perkembangan kognitifnya normal,” urai Dewi.
Di IRD, Dewi didapuk menjadi sekretaris. Dia juga memiliki komunitas yang khusus untuk penderita Apert. Saat ini ada 13 penyandang Apert yang bergabung. Tidak semua terbuka, memang. Dewi kerap menemukan orang tua anak Apert yang curhat karena mendapat stigma negatif.
“Dibilang kutukan, anak menanggung dosa masa lalu ortunya, dan lain-lain yang tidak berdasar dan menyakitkan,” papar Dewi.
Munculnya kelainan langka tersebut, kata dia, sangat random, tidak bisa diprediksi. Dewi mencontohkan, ada anak Apert yang merupakan anak keenam dalam keluarga, padahal kelima kakaknya normal. Ada pula anak kembar, satu normal, satu Apert.
Apakah usia ibu ketika melahirkan menjadi faktornya? Tidak juga. “Ada ibu yang melahirkan anak Apert di usia 23 tahun. Ada juga yang di atas 35 tahun,” ujarnya.
Kurangnya informasi membuat penyandang kelainan langka kerap terlambat tahu. Misalnya, Lisa yang baru tahu dirinya mengalami TCS ketika berusia 18 tahun. Meski mengidap kelainan langka, Lisa mampu bersekolah di SD hingga SMA negeri. Kemudian, dia mengambil kuliah psikologi.
“Saat tahu terkena TCS pada 2001, saya baru kuliah semester satu,” ucap Lisa.
Awalnya, dia berpikir hanya dirinya yang mengalami kondisi itu. Sampai kemudian, dia menemukan komunitas IRD dan bergabung di dalamnya pada akhir 2015. “Di situ saya mendapat banyak teman untuk berbagi dan menguatkan satu sama lain,” tutur Lisa yang kini telah meraih gelar sarjana psikologi.
Dokter Widya Eka Nugraha MSi Med selaku konselor genetik IRD menuturkan, saat ini ada 6.000–8.000 jenis kelainan yang tergolong langka (rare disorders) di dunia. Tiap dua minggu, muncul jenis kelainan baru.
Karena itu, kualitas hidup serta masa depan anak-anak dengan kelainan langka harus menjadi fokus para orang tua. Optimalisasi anak rare disorders yang utama adalah penanganan kondisi gawat darurat yang timbul sebagai akibat kelainan yang dialami.
Misalnya, jalan napas yang terganggu. Kemudian, menjaga pertumbuhan anak; melakukan pemeriksaan pancaindra, terutama pendengaran dan penglihatan; serta terapi untuk mendorong proses tumbuh kembang anak.
“Orang tua juga perlu menanamkan rasa percaya diri yang kuat kepada anak. Ortu harus mengenali minat dan bakat mereka. Tempatkan pada lingkungan yang tepat dan positif,” papar Widya.
Pendekatan yang diambil untuk kasus kelainan langka bersifat multidisiplin. Peran konselor genetik diperlukan untuk membantu orang tua mengambil keputusan krusial terkait dengan gangguan genetik tersebut.
“Kelainan genetik bukan kutukan, tidak menular, dan pada kebanyakan kasus bukan karena keturunan,” tandas Widya. (*)
LOGIN untuk mengomentari.