Akses Sulit, Pemicu Maraknya Gizi Buruk
Minimnya akses plus fasilitas kesehatan, menempatkan balita berdomisili di kawasan tertinggal paling rentan terjangkit gizi buruk. Kondisi ini diperparah dengan buruknya pola makan dan asuh anak.
Gambaran itu paling kurang terlihat di Kabupaten Kepulauan Mentawai. Angka gizi buruk yang disertai penyakit bawaan di Bumi Sikerei, sebutan Mentawai, dalam lima tahun terakhir terbilang berfluktuatif.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan (Dinkes) Kepulauan Mentawai, jumlah penderita gizi buruk tahun 2013 mencapai 104 orang, tahun berikutnya turun menjadi 74 orang.
Sementara tahun 2015 meningkat lagi menjadi 96 kasus dan tahun lalu menurun jadi 81 kasus. Tahun ini bila tidak tertangani secara serius, kemungkinan kasus tersebut mengalami peningkatan terbuka lebar. Terhitung dua bulan terakhir saja, sudah empat kasus ditemukan.
“Secara angka, kita memang masih terbilang tinggi. Namun, secara umum kasus gizi di Mentawai masih berkaitan dengan gizi kurang, bukan gizi buruk. Hanya saja, berdampak terhadap gizi buruk, karena disertai penyakit lainnya,” terang Kabid Kesehatan Masyarakat (Kesmas) Dinkes Kepulauan Mentawai, Desri Antoni, kepada Padang Ekspres di ruangan kerjanya, kemarin (28/2) siang.
Biar begitu, menurut Toni, pihaknya bukan berlepas tangan menyikapi persoalan ini. Bahkan, tenaga medis di puskesmas dan pustu (puskesmas pembantu) di lingkungan Pemkab Mentawai sudah cukup aktif berperan. Salah satunya, lewat program Therapeutic Fedding Centre (TFC) atau pusat pemulihan gizi.
“TFC tidak saja menanggung biaya pengobatan anak, tapi juga orang tua yang mendampingi. Artinya, kami terus memantau kasus gizi buruk melalui puskesmas dan pustu-pustu. Sehingga, bisa menekan angka gizi buruk di Kepulauan Mentawai,” ungkap Toni.
Kesadaran orang tua dalam mengasuh dan memberikan nutrisi makan kepada anak, diakui Toni, menjadi salah satu persoalan dalam menekan kasus gizi buruk. “Persoalan ini juga menjadi perhatian kami. Itulah sebabnya, kami juga mengintensifkan sosialisasi kepada ibu-ibu,” kata dia.
Kepala Dinas Kesehatan Kepulauan Mentawai, Lahmuddin Siregar menekankan, keterlibatankan seluruh komponen masyarakat juga sangat menentukan, termasuk institusi lain.
“Salah satunya, peran Dinas Pertanian dan Pangan. Bagaimana menggalakkan penanaman sayur di tengah-tengah masyarakat,” ungkap Lahmuddin ketika dihubungi lewat ponselnya, kemarin (28/2).
Pendekatan keluarga, diakui Lahmuddin, juga menjadi fokus perhatiannya. Dalam hal ini, Dinkes juga melibatkan tokoh agama dan tokoh masyarakat.
“Soal anggaran, tahun ini kami mengalokasikan Rp 200 juta dalam APBD 2017. Anggaran itu sudah termasuk pembelian susu, makanan pendamping air susu ibu (ASI),” kata dia.
Sementara, Kepala Dinkes Sumbar Merry Yuliesday tidak menampik bahwa jumlah kasus gizi buruk paling banyak ditemukan di daerah terjauh, seperti Mentawai. Akibat akses sangat jauh, warga kesulitan melakukan kontrol pengobatan anaknya ke posyandu.
“Faktor kemiskinan juga menjadi pemicu. Banyak dari masyarakat yang takut membawa anaknya untuk berobat. Terlebih, untuk biaya makan sehari-hari saja mereka merasa susah,” ujarnya.
Dia menegaskan, semakin banyak ditemukan penderita gizi buruk, maka semakin memudahkan dinkes menangani penderita. Untuk itu, pihaknya terus berupaya menjangkau daerah-daerah terjauh di Sumbar. Sehingga, penderita gizi buruk bisa terdeteksi dan diberikan perawatan.
“Tim kesehatan kabupaten dan kota juga diinstruksikan proaktif turun ke masyarakat dan mensosialisasikan soal gizi buruk,” ujarnya. Upaya lain yang juga dilakukannya sekarang, yakni melakukan perbaikan status gizi balita, pemberian ASI ekslusif pada bayi 0-6 bulan.
Untuk peningkatan pencapaian ASI ekslusif, pihaknya melakukan pelatihan konselor ASI dengan dana APBN dan APBD. “Saat ini terdapat 355 tenaga konselor ASI yang tersebar di 19 kabupaten/kota dan 264 puskesmas,” ujarnya.
Di samping itu, tambah dia, saat ini terdapat 7.574 posyandu tersebar di 19 kabupaten/kota. Seiring aktifnya kegiatan posyandu, diyakininya bisa mengetahui status pertumbuhan balita dan mendeteksi awal penjaringan kasus gizi buruk.
Nantinya, setiap kasus gizi buruk yang ditemukan diintervensi segera dan diberikan perawatan baik di klinik gizi buruk maupun rumah sakit. Di mana, saat ini terdapat 20 klinik gizi buruk tersebar di 11 kabupaten/kota.
“Kita optimistis kasus gizi buruk terus menurun setiap tahunnya. Selain itu, penanganan serius akan kita berikan pada penderita gizi buruk,” sebutnya. (*)
LOGIN untuk mengomentari.