Jakarta (ANTARA News) – Media sosial kerap dipakai untuk menyebarkan aktivitas yang berhubungan dengan kelompok teroris karena sifatnya yang terbuka untuk umum.
“Karena sesuai dengan tujuan mereka. Platform media sosial itu untuk publik, digunakan banyak orang,” kata pakar siber dan digital forensik, Ruby Alamsyah, saat dihubungi ANTARA News, Jumat.
Memanfaatkan media sosial yang sudah ada, seperti Twitter dan YouTube, dianggap cukup untuk melakukan misi mereka, misalnya propaganda atau menjaring massa.
“Jadi, daripada membuat platform sendiri, yang terbatas, mereka menganggap media sosial untuk publik cukup untuk melakukan misi seperti propaganda, menjaring massa,” kata Ruby.
Platform media sosial yang disebut di atas selain memiliki jumlah pengguna yang banyak juga memiliki fitur yang dapat digunakan untuk membuat kelompok tertutup.
“Kalau closed network seperti memakai private channel atau grup, data hanya bisa dilihat anggota saja,” kata dia.
Media sosial seperti Twitter memiliki penyaringan untuk konten dengan kata kunci tertentu, tapi, menurut Ruby, ada kemungkinan akun yang berafiliasi dengan kelompok teroris menyamarkannya agar tidak terdeteksi.
Penyaringan konten di media sosial umumnya menggunakan laporan dari pengguna lain sedangkan grup tertutup kemungkinan pelaporan sedikit atau justru tidak ada bila anggota loyal.
Pimpinan PT Digital Forensik Indonesia ini menyarankan pengguna media sosial memakai fitur pelaporan, atau report, bila menemukan aktivitas yang berkaitan dengan terorisme di media sosial.
Jika membuat resah, pengguna juga bisa melaporkan ke aduan konten Kemenkominfo, kepolisian atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.
Sebelumnya, akun Twitter resmi milik Kejaksaan Agung RI mencuit internet kerap digunakan teroris untuk mempromosikan ideologi dan kebencian, mayoritas dilakukan di platform media sosial.
Menurut @KejaksaanRI, terdapat 49 ribu akun Twitter yag terafiliasi dengan gerakan terorisme.