in

Ini Surat Terbuka Alto, WNI Pekerja Kemanusiaan di Mosul Irak untuk Pemerintah Jokowi

“Bapak Presiden Jokowi, Panglima TNI dan Bapak Kapolri, Ini kota Mosul, Irak. Hancur lebur dan puluhan ribu nyawa melayang karena gerakan radikal! Tolong jaga Pancasila dan UUD45 baik-baik agar Indonesia tidak hancur seperti Mosul. Salam dari anak Kepulauan Kei di Mosul.”

PESAN moral penuh semangat kesatuan dan cinta tanah air di atas saya dokumentasikan saat berkunjung ke Yarmuk, sebuah kompleks di kota Mosul sebelah barat, yang baru saja direbut kembali dari tangan Islamic State (IS/ISIS) oleh tentara Irak, dibantu tentara sekutu pada sekitar pertengahan April lalu.

Yarmuk adalah salah satu frontline (garis depan) yang hanya berjarak sekitar 1-2 kilometer dari daerah yang masih dikuasai oleh Islamic State (IS). Hampir 90 persen bangunan dan sarana umum hancur lebur.

Rumah-rumah penduduk penuh bekas tembakan peluru berbagai kaliber. Juga bekas ledakan bom dan bermacam bahan peledak lain. Jalan-jalan dipenuhi lubang bekas bom dan bahan peledak. Bangkai-bangkai mobil berserakan dimana-mana.

Daerah yang dulunya dipenuhi belasan ribu penduduk, kini hanya dihuni beberapa keluarga saja. Akses ke makanan dan minuman sangat minim. Kalau pun ada, harga bahan pokok sangat mahal.

Sarana kesehatan tidak ada, hingga masyarakat yang ada di daerah itu sangat rentan terkena berbagai penyakit. Hidup di Yarmuk dan di berbagai daerah yang sudah direbut dari tangan Islamic State rata-rata seperti itu.

Ini adalah tahun ke empat saya bekerja di Irak sebagai seorang analis konflik dan penggagas perdamaian. Sebelum ke sini, saya beberapa tahun bekerja di Yaman, Afghanistan dan juga Sudan Selatan.

Pesan di atas saya tulis karena hati nurani tergerak melihat dinamika kehidupan berbhinneka di tanah air tercinta akhir-akhir ini, dimana terjadi polarisasi berbasis ideologi yang cukup intensif. Terutama di ibukota negara kita, Jakarta.

Polarisasi dalam kemajemukkan adalah hal yang wajar. Akan tetapi polarisasi yang mengerucut pada perlawanan terhadap etika, norma dan pilar-pilar kebhinekaan dalam sebuah negara kesatuan, bisa menumbuhkan dan memberikan ruang pada bibit-bibit radikalisme yang akan berujung pada destabilisasi. Bahkan perang saudara. Apalagi, saat polarisasi tersebut terlihat ketidakberdayaan pemerintah.

Ini adalah potret yang terjadi di Irak. Islamic State bisa berkembang menjadi besar di Irak dan cepat menguasai cukup besar wilayah dari negara Irak, karena mereka mampu mengeksploitasi kehampaan pemerintah Irak dalam mengatasi polarisasi antara multi identitas di Irak. Polarisasi antara identitas Syiah vs Sunni, antara Arab vs Kurdi, maupun polarisasi regional dan internasional karena kepentingan bisnis dan geopolitik.

Islamic State berhasil meyakinkan masyarakat yang merasa termarjinalkan di Irak, bahwa pemerintahan versi mereka akan jauh lebih bagus daripada pemerintahan di bawah pemerintah Irak yang tak berdaya.

Inilah yang membuat IS bisa secara cepat menguasai Irak dan mendeklarasikan berdirinya negara Islam Irak dan Siria di Mosul pada 2014.


Islamic State
juga bisa berkembang dengan cepat di Irak karena mayoritas masyarakat di daerah yang dikuasainya tidak melawan saat IS masuk. Bukan berarti mereka mendukung ideologi IS, tapi semata-mata karena merasa bahwa itu bukan urusan mereka.

Saat mereka sadar terhadap radikal dan bahayanya ideologi IS, semua sudah terlambat. Harta benda, kebebasan bahkan nyawa mereka hilang lenyap.

Saat ini hanya tinggal 12 wilayah di Mosul yang masih dikuasai IS. Hampir sebagian besar wilayah di Mosul sudah direbut kembali. Tapi kondisi wilayah-wilayah yang direbut kembali ini hancur lebur dan memakan korban yang luar biasa banyak.

Sebagai seorang anak dari Kepulauan Kei, saya pun secara pribadi pernah merasakan bagaimana konflik dan kehancuran yang ditimbulkan saat Maluku dilanda konflik horizontal berbasis agama pasca lengsernya Soeharto di tahun 1999.

Kampung saya di Elaar luluh lantak dan belasan keluarga pun meninggal sia-sia karena perang saudara tersebut. Ini membuktikan falsafah Pela-Gandong di Maluku maupun hukum adat Larvul Ngabal di Kepulauan Kei pernah tidak imun terhadap polariasi ekstrem yang melahirkan konflik.

Walaupun kesadaran masyarakat dan tokoh-tokoh di Kei bisa dengan cepat menghentikan konflik dan memupuk kembali tatanan kehidupan orang bersaudara dalam falsafah hidup Ain Ni Ain (satu untuk semua dan semua untuk satu), dampak dari konflik tersebut akan tetap ada sampai beberapa generasi ke depan.

Benar kata pepatah: menang jadi arang, kalah jadi abu.

Sebagai anak bangsa, saya tergerak hati untuk membagi analisa dan pengalaman saya bekerja di Irak dalam bentuk tulisan di atas.

Saya yakin dan berdoa bahwa Indonesia tidak akan berakhir seperti Irak. Tapi kewaspadaan itu penting karena mencegah itu lebih baik dari mengobati.  

Bapak Presiden Jokowi, Bapak Panglima TNI dan Bapak Kapolri, kami berdiri di belakangmu dalam menjaga Pancasila dan UUD45. Karena Indonesia Tanah Air Beta!

Salam dari anak Indonesia asli Kepulauan Kei yang sementara bekerja di Mosul, Irak.


*) Ditulis Alto Labetubun, analis konflik dan penggagas perdamaian yang sudah delapan tahun bekerja di Timur Tengah. Alto menulis untuk KBR.

 

What do you think?

Written by virgo

Teknologi Kalender untuk Tingkatkan Produktivitas Nelayan

Pendidikan Personil Harus Selaras Modernisasi Alutsista