in

Inovasi Mahasiswa Teknik Mesin Universitas Andalas

Ciptakan Pesawat Mata-mata tanpa Awak

Generasi muda Sumbar berhasil menciptakan inovasi teknologi yang jika dikembangkan bisa digunakan untuk kehidupan sehari-hari dan pertahanan negara. Karya nyata itu berupa pesawat terbang sistem nir-awak (tanpa awak) ciptaan tim Gonjong Tujuah Universitas Andalas Padang.

Sebuah kejutan besar di tingkat nasional baru-baru ini ditorehkan anak-anak muda kelompok Gonjong Tujuah AFRG-005 dan AFRG-006 dari Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik Universitas Andalas Padang.

Tim beranggotakan mahasiswa inovatif tersebut menciptakan pesawat terbang tanpa awak yang diberi nama Racing Plane Afrg005 dan AFRG (Andalas Flying Robot Generation). 

Keduanya keluar sebagai juara dalam ajang Kontes Robot Terbang Indonesia (KRTI) 2017 yang diadakan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) dengan tuan rumah Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, 16-21 Oktober lalu.

Selama ini mereka cukup aktif melakukan berbagai penelitian dan ujicoba dipandu dosen pembimbing, Dendi Adi Saputra, MT dan Dr Eng Lovely Son. Berkat perjuangan yang gigih, berpikir, meneliti, mengkaji, merakit, mengujicoba dan berinovasi, akhirnya dua kelompok itu sukses menciptakan robot terbang tanpa awak yang berpotensi dikembangkan jadi pesawat terbang angkutan.

Salah seorang anggota Gonjong Tujuah AFRG-005, Alfindo menjelaskan, Racing Plane Afrg005 memiliki bobot bersih 2,4 kg, panjang sayap 1.2 m, topspeed 200km/ jam, sistem autopilot pixhawk, tenaga penggerak motor brushless dan waktu terbang 20 menit. “Manuvernya cepat, lincah dengan payload 600 gram,” kata mahasiswa semester V Teknik Mesin Unand asal Lubukbegalung Padang itu.

Dengan mengandalkan hasil karya rakitan atau ciptaan sendiri ini, pada pertengahan Oktober 2017 Kelompok Gonjong Tujuah AFRG-005 tidak menyia-nyiakan kesempatan ikut KRTI 2017 di Raci, Pasuruan, Jawa Timur. Kelompok ini berhasil keluar sebagai pemenang.

Pada Minggu (22/10) lalu, mereka pulang dari Raci, Pasuruan, Jawa Timur. “Alhamdulilah, kelompok kami keluar sebagai pemenang dan diberi penghargaan oleh Menristekdikti,” kata anak kelima dari tujuh bersaudara kelahiran 15 Juni 1995 ini.
KRTI merupakan ajang tahunan Ristekdikti untuk seluruh universitas di Indonesia dengan menantang mahasiswa mendesain, memproduksi, merakit dan menerbangkan pesawat buatan sendiri dengan misi tertentu.

Tahun ini, fokusnya pesawat tanpa awak (unmanned aerial vehicle/UAV) atau unmanned aircraft system (UAS), yakni wahana terbang nir-awak yang dalam satu dasawarsa terakhir berkembang kian pesat di ranah riset unmanned system (sistem nir-awak) di dunia. Bukan hanya mereka yang berada di ranah pertahanan atau badan-badan riset, termasuk di perguruan tinggi yang meneliti, mengkaji dan mengembangkan, tapi dunia industri dan bidang sipil pun telah mulai banyak memanfaatkan teknologi unmanned system ini dalam mendukung kegiatan keseharian mereka. 

Dunia pertahanan dan keamanan sementara ini masih menjadi pengguna terbesar, seperti misalnya informasi roadmap penggunaan sistem nir-awak di Departemen Pertahanan Amerika saja, setidaknya tahun 2020 sudah merencanakan sekitar 20% pasukan mereka adalah sistem nir-awak (robot). 

Aplikasi lain misalnya, untuk pemantauan (monitoring) dan pemetaan (mapping) secara real-time kawasan kritis seperti daerah konflik penguasaan lahan (tambang, maritim, dan sebagainya), perbatasan antar-negara, perkebunan dan lainnya.

Tahun ini terdapat 77 tim yang lolos ikut ajang ini dari 34 perguruan tinggi di Indonesia. Ada empat kategori yang diperlombakan. Pertama racing plane (RP), yakni membuat pesawat tanpa awak berkecepatan tinggi dan mampu bermanuver otomatis serta berpacu pada lintasan sepanjang 1 km. Selanjutnya fixed wing (FW), yakni membuat pesawat tanpa awak (UAV) yang mampu melakukan misi pemetaan wilayah dan memonitor perbatasan wilayah secara real time. 

Lalu, VTOL yang membuat UAV bisa take-off (terbang) secara vertikal dengan misi mengambil barang dan meletakkannya secara otomatis. Kemudian yang keempat adalah, technology development (TD), yakni mengembangkan, membuat, dan mempresenrasikan ide baru tentang UAV. 

Dijelaskan Alfindo, Gonjong Tujuah Unand meraih penghargaan dalam dua kategori, yakni the best take off launch mechanism untuk divisi RP dengan nama tim Gonjong Tujuah AFRG-005. RP dilaksanakan dalam bentuk balapan terbang antar-dua wahana tim peserta dari take-off di posisi start hingga mencapai garis finish (di tempat yang sama dengan start) di ketinggian tertentu. 

Saat landing (mendarat) tidak dihitung tapi menjadi syarat sahnya suatu kemenangan. Kompetisi dibagi dalam babak penyisihan secara round robin (setengah kompetisi) dan sistem gugur (knock out) di babak perempat final, semifinal hingga grand final.  

Sementara itu, tim Unggeh Tabang AFRG-006 juara kategori the best spirit team untuk divisi FW. Divisi FW memiliki satu kelas dengan menggabung kemampuan monitoring dan mapping. FW dilombakan dengan cara setiap tim diberi kesempatan sekitar 40 menit menyelesaikan suatu misi di lapangan, dan diberikan waktu 20 menit untuk mengolah data di pitstop. Pemenang ditentukan secara obyektif atas capaian misi sesuai target kontes, baik untuk monitoring maupun mapping. “Dalam kontes ini kemampuan pesawat sepenuhnya diperagakan, dan diperlombakan secara terbuka,” katanya.

Kelompok Gonjong Tujuah AFRG-005 beranggotakan Kaisar, Rafli Raudatul, M Rifki, Ilhamdi, Alfindo, Harsenoval, Faizah dengan dosen pembimbing, Dr Eng Lovely Son. Sedangkan kategori Unggeh Tabang AFRG-006 beranggotakan Raka, Masayu, Nurmansyah, Resa, Dian, Fahmul, Nanda, Melati serta dosen pembimbing Dendi Adi Saputra MT. 

“Robot terbang kita ini sangat ideal dipergunakan untuk misi tertentu, seperti misalnya pesawat pemantau atau pesawat mata-mata guna mengamati suatu obyek. Bisa juga untuk mengamati dan memotret daerah permukaan dari udara,” tambah Rafli.

Biaya pembuatan robot pesawat, menurut Alfindo, mencapai Rp 30 juta per unit dan membutuhkan waktu sebulan membuatnya. Bahan-bahannya terdiri dari komposit dan elektronik. Khusus komposit, didatangkan dari Jakarta. Sedangkan komponen elektroniknya dari Tiongkok.

“Ke depan, kami bakal terus menyempurnakan penelitian ini. Sehingga, tidak hanya bisa digunakan untuk pemetaan wilayah. Namun, juga untuk kebutuhan lainnya,” jelasnya. Namun, dia masih menyayangkan belum adanya dukungan pemerintah daerah membantu pengembangan penelitian ini. “Kalau penelitian kami ini semakin sempurna, insya Allah alat ini bisa diproduksi secara massal. Untuk mencapai tersebut, tentunya harus didukung pemerintah,” jelasnya.

Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Andalas (Unand), Dr Uyung Gatot Safrawi Dinata mendukung penuh setiap penelitian mahasiswa. Apalagi jika tergolong langka dan bisa diperlombakan ke tingkat nasional maupun internasional serta dikembangkan untuk kepentingan masyarakat. Seperti, penelitian pesawat tanpa awak dan bisa ular jadi obat kanker payudara karya mahasiswa Unand. “Dukungan mulai biaya sampai pendampingannya. Bahkan, kami pernah memberikan dana untuk penelitian hingga Rp 150 juta,” ujarnya. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by Julliana Elora

Mendorong Kreativitas Pemuda

KPU Temukan Ribuan Manipulasi Keanggotaan