Sidang Dahlan, Saksi yang Dihadirkan JPU tak Memiliki Kapasitas
Modus jaksa Kejati Jatim yang memaksakan perkara PT Panca Wira Usaha (PWU) Jatim untuk menyeret Dahlan Iskan ke persidangan semakin terkuak. Dalam lanjutan sidang kemarin (3/2), terungkap bahwa jaksa mengarahkan saksi ketika memberikan keterangan dalam penyidikan. Bahkan, sebagian besar saksi fakta yang diajukan jaksa penuntut umum (JPU) tidak memiliki kapasitas. Mereka tidak mengetahui kejadian tersebut secara langsung.
Pada sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Surabaya kemarin, jaksa menghadirkan lima saksi. Mereka adalah Tony Suparwis (lurah Kenayan, Tulungagung); Subiyanto (sekretaris Kelurahan Kenayan, Tulungagung); Kuntjoro (mantan sekretaris Kelurahan Kenayan, Tulungagung); Turkan (PNS Badan Pertanahan Nasional Bagian Peralihan Hak); serta Sugiono (sekretaris Dinas Pendapatan Kabupaten Tulungagung).
Saksi-saksi tersebut dihadirkan terkait dengan penjualan tanah PT Keramik di Jalan Hasanuddin Nomor 1, Tulungagung. Dengan saksi itu, jaksa ingin mengonstruksi bahwa tanah PT Keramik Tulungagung dijual PT PWU kepada PT Sempulur Adi Mandiri (SAM) dengan harga di bawah harga pasar.
Misalnya, yang ditanyakan kepada saksi Tony Suparwis. Jaksa menganggap Tony sebagai lurah memiliki kapasitas menerangkan harga tanah. Padahal, sejak awal, saksi menegaskan bahwa kelurahan tidak menyimpan data apa pun soal harga tanah. “(Harga tanah, red) tahun itu tidak tahu. Hanya tanya-tanya ke masyarakat,” kata Tony dalam sidang.
Dalam sidang, pria yang tinggal di Desa Betak, Kecamatan Kalidawir, Tulungagung, itu menyebut bahwa masyarakat yang dimaksud adalah makelar tanah. Menurut Tony, dari bertanya kepada makelar, diketahui bahwa pada 2002 harga tanah di sekitar lokasi pabrik keramik itu Rp 1 juta per meter persegi. Padahal, sesuai dengan NJOP (nilai jual objek pajak), harga tanah pada tahun itu di lokasi yang sama adalah Rp 243 ribu per meter persegi.
Selisih hingga empat kali lipat itu juga terjadi dalam penghitungan versi makelar yang tercantum dalam BAP dan NJOP pada 2003, 2004, hingga 2005. “Makelar jualnya di atas harga NJOP. Bisa berlipat-lipat,” ucap lurah kelahiran 30 September 1962 itu.
Keterangan yang sama disampaikan Subiyanto. Hanya, saat ditanya soal sumber data yang disebutkan dalam BAP, dia tidak bisa membeberkan panjang lebar. “Harga pasar sama yang disampaikan Pak Lurah. Dapatnya juga sama (dengan lurah) karena saya sekretarisnya,” ucapnya.
Keterangan tersebut sempat membuat pengunjung sidang tertawa. Sebab, jaksa menyimpulkan bahwa proses pelepasan aset PT PWU bermasalah dan memasukkan kesimpulan itu dalam BAP dengan mendasarkan keterangan pada makelar! Karena nama dan identitas makelar itu tidak diketahui, tentu saja keterangannya tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Agus Dwiwarsono, salah seorang pengacara Dahlan, kemudian bertanya kepada Tony, Subiyanto, dan Kuntjoro sekaligus. Apakah mereka mengetahui secara langsung, melihat, atau mengalami sendiri kejadian jual beli tanah pada 2002–2003? “Tidak,” jawab ketiganya nyaris bersamaan. Pertanyaan itu diajukan untuk mengukur kapasitas mereka sebagai saksi fakta yang dihadirkan dalam sidang pembuktian.
Hal yang sama terjadi pada saksi Turkan. Dalam sidang, dia menyebut bahwa pada 2003 dirinya menjadi staf bagian pengukuran di BPN Tulungagung. Dia terang-terangan mengaku tidak tahu-menahu proses jual beli dan balik nama lahan pabrik keramik. “Saya menjelaskan hanya melihat dokumen. Bukan karena tahu atau mengalami hal ini,” ucapnya.
Sidang kemarin juga mengungkap bahwa keterangan pria kelahiran Nganjuk 48 tahun silam itu diarahkan oleh jaksa. Hal tersebut terlihat dari ketidaksinkronan jawabannya dengan keterangannya dalam BAP. Misalnya, keterangan Turkan dalam poin 8 BAP yang menyebutkan 24 syarat balik nama tanah pabrik keramik.
Dalam daftar syarat tersebut, pria yang tinggal di Jalan Stadion Tulungagung itu menyebut ada surat keterangan tentang persetujuan DPRD Jatim dan gubernur Jatim. Tapi, dalam poin 12 BAP, Turkan menyatakan bahwa pelepasan tanah itu tidak dilandasi persetujuan DPRD.
Agus, pengacara Dahlan, menemukan ketidaksinkronan keterangan saksi. Di satu sisi disebutkan adanya surat persetujuan DPRD. Dalam poin lain, dia menyatakan persetujuan itu tidak ada. “Ini pendapat Saudara atau bukan?” tanya Agus.
Setelah dicecar, Turkan akhirnya mengakui bahwa jawaban itu diberikan setelah jaksa mengarahkan jawaban dengan menunjukkan Perda Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pembentukan PT PWU Jatim. Dalam pasal 14 disebutkan, pelepasan aset dapat dilakukan setelah ada persetujuan DPRD Jatim. “Ini pendapat saya sendiri. Saya ditunjukkan pasal saja (oleh jaksa, red),” ungkapnya.
Agus mempertanyakan keterangan saksi yang ternyata mengungkapkan pendapat sendiri. “Kalau pendapat pribadi, bukan pembuktian. Dia bukan saksi fakta,” tegasnya.
Dalam sidang juga terungkap bahwa ada keterangan Turkan yang tidak dimasukkan dalam BAP. Turkan menyatakan, dalam penyidikan, dirinya sempat ditanya soal izin pelepasan tanah tersebut.
Kepada penyidik, dia menjelaskan bahwa ada surat dari DPRD Jatim yang menyatakan pelepasan aset PT PWU diproses berdasar Undang-Undang Perseroan Terbatas. Namun, keterangan itu tidak dimuat dalam BAP. Meski begitu, keterangan tersebut akhirnya dia ungkapkan dalam sidang.
Turkan menegaskan, peralihan hak atas tanah bekas pabrik keramik itu juga sudah memenuhi syarat. Karena itulah, permohonan peralihan hak tersebut disetujui BPN.
Kehadiran saksi Turkan itu juga semakin menyingkap kejanggalan penyidikan. Misalnya, ada hasil RUPS 23 Mei 2002 tentang pelepasan tanah yang tidak dilampirkan dalam proses pelepasan. Tetapi, akta itu disebutkan dalam lampiran jual beli.
Sementara itu, dalam sidang juga terungkap bahwa PT Keramik Tulungagung memiliki utang Rp 1 miliar ke Bank Pembangunan Daerah sejak 1994. Utang tersebut belum bisa dibayar hingga 2003. Jika utang itu tidak segera dilunasi, pabrik tersebut akan dilelang dan harganya jatuh.
Agus menyatakan, adanya surat pembebanan utang dengan rentang waktu sembilan tahun itu menunjukkan bahwa PT Keramik berkondisi tidak sehat. Karena PT Keramik tidak mampu membayar utang, bank berencana melelangnya. “Daripada dilelang bank dengan nilai yang jatuh, PT PWU mengambil terobosan dengan mengalihkan haknya,” ucap Agus.
Dalam sidang, jaksa Trimo sempat memaksa saksi Turkan untuk memberikan jawaban sesuai keinginannya. Kepada saksi, dia bertanya apakah harga penjualan tanah lebih rendah atau lebih tinggi dari NJOP. Turkan menjawab dengan terang bahwa harganya bergantung kesepakatan pihak penjual dan pembeli.
Meski sudah mendapat jawaban terang, Trimo masih mengajukan pertanyaan yang sama dengan intonasi yang memaksa. “Bukan itu yang saya tanya. Normalnya, masyarakat membeli tanah harganya di bawah atau di atas NJOP?” ucap Trimo. Turkan pun memberikan jawaban yang sama “Tergantung kesepakatan para pihak.”
Sementara itu, Sekretaris Dinas Pendapatan Tulungagung Sugiono menuturkan, kondisi tanah tidak memengaruhi NJOP, tapi memengaruhi harga jual. Misalnya, tanah tersebut diagunkan atau ditempati karyawan, hal itu berpengaruh pada harga jual. “Kalau NJOP, untuk menentukan besaran pajak,” jelasnya.
Setelah sidang, Agus menyimpulkan, saksi yang dihadirkan jaksa bukan terkualifikasi saksi fakta. Mereka bukan orang yang menyaksikan, mendengar, dan mengalami proses terjadinya peralihan hak. Karena itulah, jawaban mereka hanya berdasar dokumen.
“Ada upaya dari jaksa bahwa dakwaan benar adanya. Tapi, hampir semua saksi tidak ada yang membuktikan Pak Dahlan melakukan perbuatan melanggar hukum. Sampai dengan hari ini. Anda lihat sendiri, kan?” ujarnya.
Dewan Pers Ajak Pers Kawal Sidang Dahlan
Sidang Dahlan kemarin mendapat perhatian khusus dari Dewan Pers. Pengawas lembaga pers itu mengajak agar media masa ikut mencermati proses sidang tersebut. Mengawal agar persidangan berjalan dengan seadil-adilnya.
Hal tersebut diungkapkan Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo seusai menghadiri sidang Dahlan kemarin. Stanley, sapaan Yosep, menyatakan kehadirannya dalam sidang merupakan bentuk dukungannya terhadap Dahlan sebagai tokoh pers nasional yang sedang diadili. “Mari teman-teman pers bersama-sama mencermati sidang ini. Ini tokoh pers nasional,” katanya.
Bukan hanya dukungan simpati. Jika diperlukan, Dewan Pers khususnya Stanley, siap menjadi penjamin bagi Dahlan. Menurut dia, Dahlan punya treatmen khusus terkait kesehatan karena organ hatinya cangkokan. “Kami tidak ingin proses hukum membahayakan kesehatan,” ujarnya.
Sebab Dahlan butuh penanganan khusus pasca transplantasi. Kekebalan tubuh Dahlan diturunkan agar tidak terjadi reaksi imunitas berlebihan terhadap organ yang dicangkokan. “Jangan sampai penerapan hukum membahayakan nyawa tokoh pers kita,” tegasnya. (*)
LOGIN untuk mengomentari.