in

Jalur Sesar dan Bagunan Tahan Gempa Harus Jadi Perhatian Pemerintah

Banda Aceh – Gempa Pidie Jaya  telah merenggut 104 korban jiwa, ratusan orang terluka, ribuan bangunan rusak parah. Ke depan, untuk mengurangi dampak bencana gempa, para ahli sepakat supaya pembangunan di Pidie Jaya harus berstandar tahan gempa.

Prof Dr Ir H Munirwansyah MSc, Guru Besar Teknik Sipil-Geo Teknik Unsyiah menegaskan pemerintah harus melakukan pengurangan risiko dampak bencana gempa. Caranya dengan mengawasi pembangunan gedung di Pijay supaya kokoh melalui dinas terkait.

“Pemerintah tidak boleh melakukan pengabaian dan penyederhanaan masalah terhadap bencana alam. Temuan ahli, peneliti untuk memperbaiki regulasi ke depan yang bertujuan melindungi masyarakat. Jangan sampai jika terjadi bencana lagi, ada korban yang lebih banyak lagi. Satu korban meninggal karena bencana itu sudah banyak,” ujar Tim Ahli Pusat Gempa Nasional itu kepada The Globe Journal pada Rabu (28/12/2016) di Darussalam.

Menurutnya, setiap daerah memiliki kondisi yang berbeda terhadap ancaman gempa. Makanya sebelum pembangunan, perlu dilakukan kajian kondisi tanah guna menentukan pondasi yang tepat suatu bangunan.

Kata Munir, banyaknya bangunan rusak di Pijay, salah satu penyebabnya karena pembangunan gedung di sana tidak sesuai standar. Misalnya, sambungan pondasi dengan kolom yang lemah. Balok lebih kokoh daripada tiang, sehingga kolomnya hancur. Kelemahannya juga ditemukan antara kolom dengan lantai dua. Namun sulit menilai kondisi pondasinya, sebab berada di dalam tanah.

“Kenapa bisa lolos sampai dihuni oleh manusia? Kok bisa lewat proses perizinan? Pembangunan Pidie Jaya harus ditangani oleh orang berkompetensi,” jelas Ketua Laboratorium Mekanika Tanah Unsyiah itu.

Salah satu bangunan yang rusak di Pijay adalah kantor bupati. Ia merekomendasikan supaya ada kajian terhadap kantor tersebut. Dilihat dari bentuk bangunannya masih kokoh. Mungkin saja retakan yang terjadi di sana bisa diperkokoh kembali. Namun, apakah ke depan apabila gempanya mencapai 9,1 skala richter masih mampu bertahan. 

“Bangunan monumental seperti masjid, kantor bupati/walikota, harus didesain dengan angka keamanan tinggi. Karena ke situlah rakyat lari,” ujar Ketua Himpunan Ahli Teknik Tanah Indonesia (HATTI) untuk Aceh yang pernah menemani Menteri PU saat berkunjung ke Pidie Jaya pascagempa.

Jalur Sesar

Munir menjelaskan bahwa di lokasi jalur sesar tidak boleh lagi dilakukan pembangunan. Di jalur sesar, apabila terjadi gempa lagi akan cukup terasa getarannya. 

Ada wilayah yang tidak dilalui jalur sesar, tetapi ada likuifaksi. Likuifaksi adalah mencairnya tanah akibat getaran gempa yang dirambatkan ke seluruh permukaan dalam zona tersebut. Saat merambat ke dalam lapisan pasir yang jenuh air, maka saat getaran, pasir hilang hilang kekuatannya. Kemudian berubah dari padat menjadi cair. Dampaknya, bangunan yang terdapat dalam zona ini akan miring. 

Hal senada disampaikan oleh Dr Ir Abdullah MSc saat konferensi pers usai workshop jurnalisme bencana yang difasilitasi oleh Humas Unsyiah. Katanya, seharusnya pembangunan di jalur sesar tidak boleh lagi dilakukan.

“Apabila tetap ingin dibangun, maka bangunan yang didirikan harus memiliki standar tahan gempa, sampai gempa 8 skala richter misalnya,” paparnya, Kamis (29/12/2016) di Biro Rektor Unsyiah Lantai 3.

Ia menuturkan, Aceh merupakan daerah yang rawan terhadap gempa. Salah satu buktinya memiliki gunung berapi. Kehadiran gunung berapi jika meletus suatu waktu maka akan menimbulkan gempa. Yang bisa dilakukan sekarang adalah memperkecil dampak gempa yang terjadi. Misalnya membangunan gedung yang kokoh.

Di Pidie Jaya, banyak masjid mengalami kerusakan yang parah. Ia menjelaskan, kerusakan itu bisa diakibatkan pembangunannya yang tidak kuat. Hal ini mungkin terjadi karena banyak pembangunan masjid dikerjakan secara bertahap. 

Terkait hal ini, Rektor Unsyiah Prof Dr Samsul Rizal Meng yang turut hadir menambahkan, mungkin saat desain awal masjid, kubahnya terbuat dari kayu. Tapi ketika ada biaya lebih, pembangunan kubah sudah menggunakan semen.

Padahal pondasi masjiid tidak dirancang untuk menahan bebabn kubah beton. Menurutnya, setiap pembangunan harus diawasi dengan baik.

“Bencana alam ini adalah anugerah supaya kita bisa belajar,” tuturnya.

Katanya, Unsyiah merencanakan untuk memasang seismograf di seluruh Aceh dengan bantuan pemerintah. Biayanya mencapai Rp 10 miliar. Pemasangan alat ini akan dilakukan pada tempat yang belum dipasang oleh Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).

Dr Syamsidik, Satgas Unsyiah untuk Pemulihan Pascagempa Pidie Jaya, mengatakan, pemerintah harus mampu menyadarkan masyarakat terhadap risiko bencana alam. Dalam konteks gempa, menurutunya, selama ini pemerintah kurang optimal melakukan penyadaran ini. Buktinya, pembangunan di Aceh banyak yang tidak berstandar tahan terhadap gempa.

Jurnalisme Kebencanaan dan Pendidikan Bencana

Ahmad Arif dari Harian KOMPAS, saat menjadi pemateri di workshop jurnalisme kebencanaan menuturkan, media di Jepang lebih siap mengenai pemberitaan bencana di media. Isi pemberitaannya juga lebih baik.

“Bencana adalah momen terbaik untuk meningkatkan pentingnya mitigasi dan pengurangan risiko,” ujarnya.

Saat gempa dan tsunami di Sendai, nyaris tidak ada jeda pemberitaan tentang bencana alam ini. Di Jepang, infrastruktut peliputan sangat memadai. Contohnya NHK yang memiliki 14 helikopter dan ratusan alat deteksi gempa sendiri. Media berlomba mengobarkan semangat untuk bangkit. Wartawan yang meliput bencana pun sudah disiapkan khusus, sehingga paham hal teknis.

Sedangkan di Indonesia, wartawan cenderung generalis. Artinya, wartawan meliput mengenai seluruh isu yang berkembang. Khusus saat bencana gempa dan tsunami di Aceh, pemberitaan terhadap bencana ini terlambat 12 jam sampai satu hari. Infrastruktur peliputan belum memadai. Media berlomba eksplorasi tentang duka lara dan kesedihan. Kemudian, banyak wartawan baru dan awam soal bencana.

Ahmad memiliki beberapa catatan penting terkait bencana alam di Aceh. Yang baiknya, informasi gempa tersebar dengan cepat. Evakuasi dan tanggap darurat relatif baik. Solidaritas dan penggalangan dana untuk korban.

Untuk kekurangannya, terdapat pada sumber gempa baru yang sebelumnya belum teridentifikasi. Kegagalan implementasi bangunan tahan gempa. Gempa dan tsunami Aceh belum melahirkan budaya sadar bencana di Aceh.

“Pengetahuan dan perspektif terhadap risiko bencana sangat menentukan respon,” ujarnya.

Kata Ahmad, Aceh sangat membutuhkan pendidikan bencana. Tetapi, ada tiga tantangan pada pendidikan bencana. Pendidikan kesiapsiagaan di Aceh tidak berkelanjutan dan sistematis. Ketergantungan pada pihak luar untuk mengadakan simulasi bencana di sekolah sangat tinggi. Pendidikan kebencanaan belum menjadi kebutuhan.

R1007D

Redaksi:
Informasi pemasangan iklan
Hubungi:
Telp. (0651) 741 4556
Fax. (0651) 755 7304
SMS. 0819 739 00 730

What do you think?

Written by virgo

Penyebab Bagasi Anda Tak Kunjung Tiba Ketika Di Bandara

Putuskan Kontrak, Pemerintah Anggap JP Morgan Chase Tak Kredibel