Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memukul kembali genderang perang dalam pengusutan perkara korupsi dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau populer disebut korupsi BLBI. Setelah lama tidak tersentuh, KPK menyisir lagi kasus itu dengan menetapkan bekas Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional BPPN Syafruddin Temenggung sebagai tersangka.
KPK menduga Syafruddin terlibat kongkalikong dengan seorang penerima dana BLBI, yaitu Sjamsul Nursalim. Utang Sjamsul sebesar Rp4,7 triliun dikorting jadi Rp1,1 triliun. Artinya, negara rugi sekitar Rp3,7 triliun.
Kita menyambut gembira langkah KPK melanjutkan perkara BLBI itu. Ini lebih melegakan kita, dibanding ketika dahulu Kejaksaan Agung mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan terhadap Sjamsul Nursalim dan Syafruddin Temenggung dan empat orang tersangka BLBI lain.
Kasus BLBI memang rumit. Usianya juga sudah hampir 20 tahun terhitung sejak krisis moneter era Soeharto di tahun 1998.
Dana BLBI sebesar Rp144 triliun rupiah yang disalurkan ke 48 bank ternyata macet atau dirampok pemilik bank dengan berbagai modus. Menurut audit BPK, potensi kerugian BLBI sangat besar, sekitar Rp138 triliun. Bahkan menurut versi LSM FITRA, kerugian negara akibat BLBI hingga 2015 mencapai Rp2000 triliun, dan terus bertambah seiring waktu.
Keruwetan itu sekarang sedang coba diurai sedikit demi sedikit oleh KPK. Kita percayakan pada lembaga ini, dan tidak perlu menggoreng isu ke pihak lain yang tidak ada hubungannya. Apa yang terlihat di media sosial memperlihatkan isu BLBI ini sudah bergeser ke alat serang-menyerang kepentingan politik, menyinggung-nyinggung Presiden Megawati, Presiden SBY dan lain-lain.
Kita juga berharap publik tidak menggunakan isu BLBI untuk menyebar kebencian terhadap etnis tertentu, seperti yang saat ini ramai di media sosial.