Besok, 1 Mei seluruh buruh di penjuru dunia akan turun ke jalan untuk memperjuangkan tuntutan mereka. Tidak terkecuali di Indonesia, aksi-aksi buruh di Indonesia digelar di berbagai daerah. Halaman depan koran-koran nasional, layar televisi dan siaran radio ramai-ramai memberitakan aksi buruh tersebut.
Namun tak jarang aksi para buruh berbuntut berita sinis begitu diolah wartawan. Mulai dari sampah yang menggunung di pojokan-pojokan tempat aksi, tanaman-tanaman yang rusak di taman hingga kemacetan akibat aksi. Bahkan ada wartawan yang begitu sinis sampai-sampai menulis sepeda motor Ninja yang dipakai buruh saat aksi. Sementara tuntutan buruh yang menjadi isu utama justru luput dari pemberitaan.
Jawabannya tentu beragam. Bisa jadi karena sang wartawan tidak memiliki perspektif buruh karena dia tidak merasa menjadi buruh. Atau bisa jadi karena nasib mereka lebih buruk dibandingkan para buruh pabrik dan buruh lainnya di luar sektor media.
Persoalan kesejahteran wartawan yang di bawah buruh lainnya tentu banyak faktornya. Tapi salah satu yang utama menurut saya adalah persoalan serikat pekerja media. Sebab urusan berserikat merupakan faktor kesadaran wartawan sendiri untuk memperjuangkan kepentingan mereka. Setidaknya dengan berserikat pekerja media dapat berdiri sejajar menyampaikan tuntutan-tuntutan mereka ke manajemen.
Tapi fakta jumlah serikat pekerja media di Indonesia cukup mencengangkan. Berdasarkan data Dewan Pers tahun 2014, tercatat ada 2.338 perusahaan media. Rinciannya, surat kabar sebanyak 312 buah, mingguan 173 buah, bulanan 82 buah. Total perusahaan media cetak sebanyak 576. Sedangkan jumlah radio 1.166, TV 394, dan media siber 211. Namun berdasar pendataan Aliansi Jurnalis Independen dan Federasi Serikat Pekerja Media Independen sampai tahun 2014 hanya ada 24 serikat pekerja yang diidentifikasi aktif.
Dua puluh empat serikat pekerja itu di antaranya Serikat Pekerja Kesejahteraan (Kekar) MNC Jakarta, Serikat Pekerja Antara, Perkumpulan Karyawan Kompas, Dewan Karyawan Tempo, Dewan Karyawan Pikiran Rakyat Bandung dan Serikat Pekerja Radio 68 H, serta Serikat Pekerja Koresponden Tempo, Surabaya.
Artinya, jumlah serikat pekerja hanya 1 persen dari jumlah perusahaan media. Ini jumlah yang tentu sangat jauh dari jumlah ideal.
Pertanyaannya kalau sudah begitu, bagaimana mereka bisa memperjuangkan nasib jika memang tak ada serikat pekerja media yang mewadahi mereka? Bagaimana caranya mereka ikut mempengaruhi kebijakan pemerintah jika berunding dengan manajemen tidak bisa. Padahal bukan tidak mungkin serikat pekerja media yang kuat bisa menopang gerakan buruh lainnya yang, di berbagai tuntutan banyak seiris dengan pekerja media.
Hal itu tentu bukan mustahil jika melihat pertumbuhan jumlah media yang mencapai 2 ribu lebih pasca reformasi. Jumlah yang begitu banyak bak kacang goreng. Namun, tak jauh beda dengan kacang goreng, harga wartawan juga dinilai murah. Bahkan ada wartawan-wartawan yang tidak digaji sepeser pun. Mereka bahkan dituntut menyetor sejumlah uang kepada media tempat mereka bekerja. Akibatnya, para wartawan itu terpaksa memeras narasumber dengan sedikit ancam sana ancam sini. Terjual sudah independensi yang seharusnya dipegang teguh mereka.
Kalau sudah begitu tentu masyarakat juga akhirnya yang dirugikan. Berita yang semestinya bebas dari kepentingan pemerintah, pemodal dan kelompok tertentu menjadi beda ceritanya kalau amplop sudah mendarat di kantong wartawan. Berita menjadi lain ketika pemilik media sudah meminta redaksi mempoles citra mereka. Mempoles citra mereka sehingga pemilik modal yang juga tokoh partai politik menjadi sedemikian sehingga tokoh putih tanpa celah. Meskipun, sang tokoh itu berlumur masalah, sang wartawan tak punya kuasa menolak keingin pemilik modal.
Kalau sudah begini tentu kesadaran wartawan menjadi perlu untuk berdiri bersama membentuk serikat pekerja. Bahkan kalau memungkinkan, perlu Tjokro-tjokroaminoto yang baru untuk keliling Indonesia menyadarkan wartawan dan pekerja media lainnya adalah buruh.
Penulis adalah Ketua Serikat Pekerja Radio 68 H dan Sekjen FSPM-Independen