Kandidat doktor di Technishe Universiteit Delft (TU Delft) Belanda, Dwi Hartanto, mengaku memiliki posisi sebagai Post-doctoral dan Assistant Professor di TU Delft.
Jakarta — Kebohongan publik yang dilakukan Dwi Hartanto, kandidat doktor di Technishe Universiteit Delft (TU Delft) Belanda, telah mencoreng nama baik, kredibilitas, dan integritas ilmuwan perguruan tinggi lulusan luar negeri.
Pemerintah, khususnya Kementerian Komunikasi dan Informatika selaku pemberi beasiswa, dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan diminta memberikan sanksi yang tegas kepada Dwi Hartanto.
“Dwi Hartanto telah mencoreng nama baik dan integritas ilmuwan di dunia perguruan tinggi. Karena itu, pihak terkait seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, harus bertindak tegas terhadap yang bersangkutan,” tegas pengamat pendidikan sekaligus Rektor Universitas Widya Mataram Yogyakarta, Edy Suandi Hamid, saat dihubungi, Minggu (8/10).
Baru-baru ini publik digegerkan dengan pengakuan Dwi Hartanto, ilmuwan muda Indonesia di Belanda. Dalam pernyataan resminya, ia mengakui telah melakukan sejumlah kebohongan terkait aneka prestasi mentereng di bidang antariksa.
Sebelumnya, Dwi mengaku mengenyam pendidikan sarjana (S-1) di Tokyo Institute of Technology, Jepang. Kenyataannya, Dwi merupakan lulusan S1 Institut Sains Teknologi AKPRIND Yogyakarta, Fakultas Teknologi Industri, Program Studi Teknik Informatika, yang lulus pada 15 November 2005.
Selanjutnya, ia pernah mengaku lulusan pendidikan Master S-2 di TU Delft Faculty of Electrical Engineering, Mathematics and Computer Science dengan tesis berjudul “Reliable Ground Segment Data Handling System for Delfi Satellite Mission”, di bawah bimbingan Dr Ir Georgi Gaydadjiev, dan selesai pada Juli 2009.
Kenyataanya, penelitian masternya tersebut hanya bersinggungan dengan sistem satelit data telemetri dan ground network platform.Dia juga mengaku memiliki posisi sebagai Post-doctoral dan Assistant Professor di TU Delft.
Kenyataannya, dia tengah menyelesaikan pendidikan S-3 di grup riset Interactive Intelligence, Dept. of Intelligent Systems, pada fakultas yang sama di TU Delft, di bawah bimbingan Prof M A Neerincx dengan judul disertasi “Computer-based Social Anxiety Regulation in Virtual Reality Exposure Therapy”.
Dwi juga pernah mengaku bersama timnya berhasil membuat Satellite Launch Vehicle (SLV) yang diberi nama The Apogee Ranger V7s (TARAV7s) yang didanai oleh Ministerie van Defensie (Kementerian Pertahanan Belanda), Nationaal Lucht-en Ruimtevaartlaboratorium (Laboratorium Antariksa Nasional Belanda).
Namun kenyataannya, satelit tersebut tidak ada. Ketiga lembaga tersebut hanyalah sponsor-sponsor resmi yang memberikan bimbingan dan dana riset. Kini, Dwi sedang menjalani serangkaian sidang pelanggaran etik yang diselenggarakan di kampus Delft, Belanda.
Alami Penurunan
Edy menilai integritas ilmuwan dan budaya akademik di perguruan tinggi saat ini sedang mengalami penurunan. Belum selesai masalah plagiarisme massal yang terjadi di Universitas Negeri Jakarta (UNJ), kemudian masyarakat sudah dikejutkan dengan kasus kebohongan publik oleh seorang kandidat doktor yang bernama Dwi Hartanto.
“Prihatin sekali, hal-hal yang mengoyak integritas ilmuwan pendidikan tinggi ini terjadi di saat kita mencoba mengedepankan budaya trust, khusnudzon, berprasangka baik, lalu ada oknum akademisi melakukan kebohongan publik dengan berani,” kata Edy.
Pernyataan yang sama diungkapkan Professor and Coordinator of Urban Studies and Planning at Savannah State University, Deden Rukmana. Dia mengatakan kebohongan yang dilakukan Dwi itu telah merusak nama baik ilmuwan secara umum. “Ilmuwan adalah suatu profesi yang memerlukan integritas dan kode etik yang tinggi,” sesal Deden dalam surat terbukanya.
Menurut Deden, bidang keilmuan tidak akan berkembang bilamana pelakunya tidak memiliki integritas untuk menjaga kejujuran dan objektivitas bidang keilmuan. Deden meminta Dwi harus bertanggung jawab atas kesalahannya tersebut. cit/P-4