in

Kemajuan Teknologi vs Budaya Maago

Abdul Aziz
Peneliti Ekomoni
Manajemen

“Maago” atau menawar salah satu bentuk kehati-hatian orang Minangkabau agar tidak tertipu saat berbelanja. Tertipu hal paling menyakitkan bagi orang Minangkabau. Begitu juga “kanai ota” atau dibohongi penjual, yang memiliki pemahaman bahwa jika orang Minangkabau “kanai ota” ketika berbelanja mengartikan bahwa penjual lebih cerdik dibandingkan pembeli.

Itulah sebabnya, ketika orang Minangkabau saat berbelanja cenderung lebih suka maago karena takut tertipu yang berujung dianggap bodoh. Dikarenan kehati-hatian yang mendalam, menyebabkan orang Minangkabau lebih ulet dalam proses tawar-menawar sehingga dijuluki sebagai pembeli yang paago atau suka menawar oleh suku lain di Indonesia.

Dalam prakteknya, maago digunakan oleh orang Minangkabau sebagai sebuah proses yang terjadi antara penjual dan pembeli dalam mendapatkan kesepakatan harga. Namun, secara teori ilmu ekonomi, perlu dipastikan apakah maago termasuk ke dalam teori negosiasi atau teori bargaining.

Hal itu disebabkan karena bargaining dan negosiasi merupakan proses interaksi sosial antara dua pihak atau lebih yang berusaha untuk mencapai kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ditemukan bahwa kata negosiasi diartikan sebagai proses tawar-menawar dengan jalan berunding untuk memberi atau menerima guna mencapai kesepakatan bersama antara satu pihak (kelompok atau organisasi) dengan pihak lain.

Akan tetapi, pada masa sekarang, banyak orang yang menginterpretasikan negosiasi sebagai suatu kemampuan (skill) untuk membujuk orang lain supaya orang lain tersebut berkenan untuk menerima cara pandangnya.

Oleh karena itu, bilamana seseorang dikatakan sebagai “negosiator yang baik”, hal tersebut umumnya berarti orang tersebut memiliki kemampuan dalam membuahkan kesepakatan yang terbaik dari sebuah perundingan.

Baik dalam konteks bisnis, hubungan pribadi, maupun politik, kemampuan untuk bernegosiasi dengan baik sangat penting untuk mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan.

Menurut J. Z. Rubin dan B. R. Brown dalam The Social Physiology of Bargaining and Negotiation (1975), negosiasi adalaah proses di mana individu bekerja sama untuk merumuskan kesepakatan tentang masalah yang disengketakan.

Kemudian, menurut Ilana Zohar dalam buku The Art of Negotiation: Leadership Skill Required for Negotiation in Time of Crisis (2015), negosiasi adalah menemukan resoluasi untuk konflik antara orang, kelompok, dan berbagai sumber daya yang sedemikian rupa sehingga situasi menang-menang (win-win) tercapai.

Untuk mencapai hasil negosiasi yang efektif, diperlukan pendekatan sistematis dan terstruktur dalam negosiasi. Ada 6 tahapan dalam negosiasi untuk mencapai tujuannya; (1) Tahap persiapan (preparation stage), (2) Tahap diskusi (discussion stage), (3) Tahap klarifikasi tujuan (clarifying goals stage), (4) Tahap penetapan tujuan saling menguntungkan (negotiate towards a win-win outcome), (5) Tahap perjanjian (agreement), dan (6) Melaksanakan tindakan hasil perjanjian.

Para ahli lain, seperti Chester L. Karrass menganggap, negosiasi sebagai seni. Keterampilan yang dapat dipelajari dan dikuasai. Untuk berhasil dalam negosiasi, seseorang harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang taktik dan strategi yang efektif, serta kemampuan untuk membaca situasi dengan cermat.

Bargaining merupakan kata dalam bahasa Inggris yang memiliki pengertian tawar-menawar dan saat ini merupakan bahasa yang paling umum digunakan di seluruh dunia. Bargaining atau bisa juga dikatakan sebagai tawar-menawar adalah salah satu istilah dalam jenis interkasi sosial asosiatif yang banyak digunakan dalam objek kajian sosiologi perihal pemaknaan hubungan sosial yang mengarah pada persatuan dan kesatuan tanpa adanya pertikaian.

Bargaining dapat dikatakan sebagai pemahaman antara dua orang tentang biaya barang atau jasa maupun dalam bentuk kerja sama. Selain itu, bargaining dalam usaha juga berarti membicarakan perincian-perincian dalam suatu transaksi bisnis mengenai penjualan, pembelian, atau pertukaran, (dosensosiologi.com, 20/08/2023).

Sorrentino, Russo, & Cacchiarelli (2017), menyiratkan pengertian daya tawar (bargaining) adalah kemampuan berdiskusi antara pihak yang terlibat dalam penjualan produk mereka dengan baik sehingga menguntungkan untuk mereka (termasuk faktor-faktor seperti harga, waktu, kuantitas dan kualitas).

Dalam konteks bisnis, bargaining atau tawar-menawar sering digunakan dalam berbagai situasi untuk mencapai kesepakatan yang menguntungkan antara pihak-pihak yang terlibat. Penggunaan bargaining dalam bisnis dapat dilihat pada; (1) Negosiasi Harga, (2) Pemilihan Vendor, (3) Penentuan Kondisi Kontrak, (4) Pemilihan Karyawan, dll. (dikutip dari emiten.com).

Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa bargaining adalah kemampuan tawar-menawar yang dilakukan oleh penjual dan pembeli untuk menawarkan hasil produksinya sehingga memperoleh kesepakatan penentuan harga yang menguntungkan keduanya.

Ketika kesepakatan suatu hal yang belum bisa diterima oleh kedua belah pihak maka, proses tawar menawar itu akan terus berlanjut sampai ada kesepakatan antara penjual dan pembeli. Kesepakatan tersebut dapat berakhir dengan proses transaksi dan dapat juga terjadi pembatalan proses transaksi.

Dari sudut pandang proses dan tujuan dari negosiasi dan bargaining di atas, maka dapat disimpulkan bahwa maago pada proses jual beli di Minangkabau termasuk ke dalam teori bargaining.

Di Minangkabau, maago juga memiliki pengertian lain ketika kata tersebut dipakai dalam proses produksi, (misalnya dalam penetapan prosentase komposisi), proses pemilihan dan pemilahan mana yang buruk dan mana yang baik dalam suatu diskusi dan koordinasi. Maago juga berarti menangkis tantangan ketika kata tersebut digunakan. Salah satu contohnya, “aden jan diago lo lai, den bali galeh tu beko.”

Substansi dari maago pada proses jual beli merupakan konsep tawar-menawar antara pihak penjual dan pembeli untuk mendapatkan kesepakatan harga berdasarkan performance dari suatu produk yang dapat berakhir dengan transaksi jika terjadi keseimbangan antara harga dan performance melalui kesepakatan.

Upaya yang dilakukan oleh pembeli yang berasal dari Minangkabau agar tidak takicuah (tertipu) dan tidak kanai ota (dibohongi) pada saat berbelanja atau membeli sesuatu produk, adalah dengan maago untuk dua tujuan.

Pertama, maago digunakan sebagai proses mencari dan mengumpulkan informasi dari beberapa penjual tentang tren harga dari suatu produk yang ingin dibeli. Dalam hal ini pembeli hanya berpura-pura maago dan berinteraksi dengan penjual, padahal hanya sekedar mencari informasi tentang harga dan tidak akan berakhir dengan proses transaksi.

Kedua, dalam menggali informasi tentang spesifikasi dan kualitas suatu produk, maago juga digunakan oleh pembeli. Pembeli berpura-pura berkeinginan untuk membeli dengan meneliti dan melihat spesifikasi produk dengan sangat teliti. Hasil pengamatan kualitas dan spesifikasi dari satu penjual dengan penjual lain akan menjadi informasi baru bagi calon pembeli.

Kepuasan berbelanja bagi seorang pembeli di Minangkabau akan tercapai apabila produk yang dibeli memiliki kualitas dan spesifikasi yang sesuai dengan keinginan dengan harga paling rendah diantara produk sejenis.

Kondisi kepuasan tersebut sesuai dengan teori kepuasan menurut Kotler & Keller (2021), dimana kepuasan pelanggan (pembeli) ialah perasaan senang atau kecewa yang muncul setelah membandingkan kinerja (hasil) produk yang dipikirkan terhadap kinerja (atau hasil) yang diharapkan. Perasaan senang itu timbul tanpa adanya paksaan tetapi timbul dengan sendirinya akibat stimulus yang dihasilkan dari proses maago.

Teknologi Berevolusi

Taun batuka, musim baganti. Teknologi terus ber-revolusi sedangkan sosial budaya pun senatiasa ber-evolusi. Kehadiran teknologi digital telah memberi banyak kemudahan untuk mengakses berbagai macam bentuk informasi, termasuk kemudahan dalam menemukan kualitas dan harga produk jenis apapun di dunia.

Kehadiran gerai-gerai dan toko-toko retail modern yang menjamur merupakan penjelmaan dari kemajuan teknologi. Konsumen tidak perlu lagi maago saat berbelanja di toko-toko dan gerai-gerai retail modern yang sekaligus menyediakan kenyamanan, keamanan dan tingkat layanan yang sangat menyenangkan.

Entah mengapa, pertumbuhan retail modern yang begitu cepat juga diiringi oleh pertumbuhan pasar tradisional dan pasar konvensional yang juga hadir sampai ke pelosok desa. Konsumen semakin lebih dekat dengan penyedia barang dan saja dan maago yang sudah menjadi budaya di Minangkaupun tetap terus dapat digunakan.

Ada dua hal yang menjadi pusat perhatian penulis. Pertama, tingkat kesejahteraan rakyat yang semakin tinggi telah mempermudah masyarakat untuk mendapatkan pendidikan. Setiap individu yang memiliki kemampuan dan keinginan bisa dengan mudah memiliki pendidikan tinggi.

Kedua, sebagian masyarakat telah bisa dan biasa berbelanja pada toko-toko dan gerai-gerai retail moderen tanpa perlu melakukan proses ma-ago. Pertanyaannya, bagaimanakah dan apakah lagi ukuran kepuasan berbelanja bagi orang Minangkabau ketika tidak lagi bisa maago saat berbelanja di retail modern?

Apakah mereka tidak akan takicuah dan kanai ota oleh peretail? Kemudian, apakah individu yang telah memiliki pendidikan tinggi yang tentunya sudah memiliki banyak pengalaman tidak akan maago lagi? Serta apakah akselarasi proses maago pada individu asal Minangkabau yang telah berpendidikan tinggi akan menurun?

Itulah pertanyaan yang akan dijawab oleh penulis pada artikel berikutnya setelah melakukan penelitian tentang maago pada ibu-ibu di Minangkabau yang dimoderasi oleh tingkat pendidikan.

Penelitian akan dilakukan dengan metoda kualitatif melalui pendekatan teori Social Capital dan metoda kuantitatif melalui pengumpulan data kuesioner dengan populasi ibu-ibu rumah tangga asal Minangkabau yang tingggal di tiga kota besar di Indonesia. (*)

What do you think?

Written by Julliana Elora

Pastikan Hak Pilih Masyarakat Terawasi

Pendaftaran Seleksi CASN Diperpanjang