in

Kerajaan Chola Serang Ibukota Sriwijaya di Palembang

Oleh : Dudy Oskandar, Jurnalis

PENYERANGAN Kerajaan Chola melalui angkatan lautnya terhadap Ibukota Kerajaan Sriwijaya, Palembang dilakukan secara tiba-tiba dengan melakukan pengepungan kota Palembang.

Setelah itu pasukan Chola melakukan penyerangan dan pejarahan isi istana Kerajaan Sriwijaya termasuk menjarah sebuah ‘gerbang perang’ yang terkenal yang terbuat dari perhiasan besar berhias permata yang disebut Vidhyadara Torana, dibuat guna menyambut pengunjung di pintu masuk ibukota di Palembang.

Dalam serangan itu juga , Rajendra Chola juga menangkap dan memenjarakan Raja Sangrama Vijayatungavarman dan juga menjarah harta kekayaan istana Kerajaan Sriwijaya di Palembang.

Kerajaan Chola adalah sebuah dinasti Tamil di India Selatan, konon turut mengantar Kerajaan Sriwijaya ke akhir masa keemasannya .Padahal, sebelumnya Sriwijaya dan India Selatan berhubungan baik sejak abad ke-9 M. Prasasti Nalanda (860 M) menyebut Raja Sriwijaya, Balaputradewa, pernah mendirikan vihara di Nalanda.

Hal itu ditiru penerusnya. Pada 1005 M, Raja Cudamaniwarman mendirikan kuil di Nagipattana (Nagapattinam, Pantai Koromandel). Pembangunan candi ini tak selesai kemudian dilanjutkan putranya, Marawijayatunggawarman. Saat itu, Kerajaan Cola sudah berdiri dan dipimpin oleh Rajaraja (985-1014).

Namun, ketika Rajendracola I naik takhta pada 1012 menggantikan ayahnya, Rajaraja, sikapnya terhadap Sriwijaya berubah. Dia menyerang Sriwijaya pada 1025 M dan 1068/1069 M. Penyebabnya tak begitu jelas.

Rajendra Chola, putra raja Chola, Rajaraja naik ke tahta pada 1014 M.
Pada saat penobatannya, kerajaan Chola telah mencapai kejayaannya di bawah pemerintahan Rajaraja Chola – dengan daerah kekuasaan ke seluruh India Selatan dan Kalinga (Orissa modern) di utara. Rajaraja juga melakukan penyerangan melalui angkatan lautnya juga berhasil menguasai Maladewa , bagian utara Sri Lanka.

Sebenarnya Rajendra Chola bukan orang yang berpuas diri pada kemenangan ayahnya, pada awal masa pemerintahannya, ia memimpin serangan melawan Rashtrakutas dan kekaisaran Chalukya Barat.
Pada tahun 1017, ia memimpin serangan dengan angkatan lautnya ke Sri Lanka Dan memperluas kendali atas bagian selatan pulau itu, yang bahkan ayahnya tidak mampu melakukannya.

Setahun kemudian, dia melakukan ekspansi menuju wilayah sungai Gangga.Dalam ekspedisi ini, pasukan Chola mengalahkan Palas (sekarang Bengal), kemudian kerajaan Kamboja Pala dan dinasti Chandra.
Untuk penaklukan sebelah utara Chola berhasil menguasai wilayah sekitar Sungai Gangga.

Konflik Dengan Kerajaan Sriwijaya

Sriwijaya adalah negara yang kuat, yang memerintah sebagian besar Kepulauan di luar pulau Sumatra.
Dengan angkatan laut yang kuat, Sriwijaya memperluas kontrol atas Selat Malaka dan Selat Sunda yang memungkinkan mereka memiliki pengaruh yang hampir tak tertandingi atas perdagangan laut dan apa pun yang terjadi di kawasan itu.

Kerajaan Sriwijaya berada pada puncaknya pada abad ke-12, ketika kekuasaannya meluas ke Sumatra, Semenanjung Melayu, Jawa Barat dan Filipina .

Sebuah ‘gerbang perang’ yang terkenal yang terbuat dari perhiasan besar yang disebut Vidhyadara Torana, dibuat guna menyambut pengunjung di pintu masuk ibukota  di Palembang.

Selama masa Rajaraja dan Rajendra Chola, Sriwijaya diperintah oleh dinasti Shailendra. Hubungan antara Chola dan raja Shailendra turun naik .Pada tahun 1006 (pada masa pemerintahan Rajaraja Chola), Raja Maravijayattungavarman dari Sriwijaya telah membangun Vihara Chudamani di Nagapattinam.

Chola Serang Sriwijaya

Ada berbagai kisah tentang apa yang menyebabkan Rajendra Chola memulai invasinya ke Asia Tenggara terutama daerah-daerah yang kaya perdagangan di Asia Tenggara.

Sumber-sumber lain mengatakan invasi tersebut penyebabnya terletak pada hubungan antara Kekaisaran Chola dan kerajaan Khmer. Dimana Raja Khmer Suryavarman I dikatakan telah meminta bantuan dari Rajendra Chola dalam konfliknya dengan kerajaan Tambralinga.

Sebagai gantinya, Tambralinga mendekati raja Sriwijaya, Sangrama Vijayatungavarman untuk meminta dukungannya , hal ini memicu konflik antara Kerajaan Chola dan Kerajaan Sriwijaya.

Sejarawan Tamil yang terkenal K A Nilakanta Sastri juga berpendapat upaya Kerajaan Sriwijaya untuk membatasi perdagangan Kerajaan Chola dengan Kekaisaran Cina juga bisa menjadi alasan terjadinya perang tersebut.
Perang antara Kerajaan Chola dan Kerajaan Sriwijaya dimulai pada 1025 M, dimana Angkatan Laut Kerajaan Chola berlayar menuju ke timur dipersenjatai dengan peralatan dan strategi sehingga membuat pasukan Sriwijaya benar-benar terkejut atas penyerangan tersebut.

Pada saat itu, kapal-kapal yang berlayar dari India ke Sriwijaya akan berlabuh di pelabuhan Lamuri atau Kedah di Semenanjung Melayu dan kemudian melanjutkan ke Selat Malaka.
Pertahanan Kerajaan Sriwijaya atas daerah kekuasannya memang telah diorganisir dengan garis serangan oleh Kerajaan Chola.

Armada Kerajaan Chola yang cepat mengambil rute yang sama sekali berbeda dan bergerak cepat ke pantai barat Sumatra dan berlabuh di Barus, sebuah pelabuhan di pantai barat Sumatra yang, pada waktu itu, dikendalikan oleh para pedagang Tamil.
Di wilayah ini , Angkatan Laut Chola mengisi kembali cadangan mereka dan kemudian berlayar ke selatan di sepanjang pantai barat Sumatra.

Ini langkah Rajendra Chola untuk menyerang dari selatan Kerajaan Sriwijaya, dan melakukan serangan di Selat Malaka dan serangan ini benar-benar mengejutkan.
Setelah itu pasukan Chola mengepung Palembang – ibu kota Kerajaan Sriwijaya yang gemilang. Chola merebut kota dan menjarah istana kerajaan Sriwijaya.

Dalam serangan itu, Rajendra Chola dikatakan telah menangkap dan memenjarakan Raja Sangrama Vijayatungavarman dan juga mengambil alih banyak kekayaan – termasuk gerbang perang berhias permata Vidhyadara Torana – sebagai hadiah untuk kemenangannya.

Ekspedisi tidak berakhir sampai disana kerajaan Cgola juga melakukan serangan cepat pada berbagai pelabuhan Sriwijaya lainnya dan bergerak dari satu pelabuhan ke yang lain dengan cepat dan karenanya, tidak pernah benar-benar membiarkan Angkatan Laut Sriwijaya untuk meluncurkan serangan balik yang efektif.
Setelah penaklukan di Palembang, pasukan Chola mengalahkan pasukan Sriwijaya di Pannai (Pane modern), Malaiyuy (Malaya modern), Mapappalam (Burma bagian bawah), Talaittakkolam (Takuapa di Thailand modern), Nakkavaram (Kepulauan Nicobar) dan akhirnya , Kedah.

Pada akhir perang, Rajendra Chola meraih kemenangan atas Sriwijaya dan memperpanjang supremasinya atas Malaysia , kepulauan Andaman dan Nicobar dan Thailand selatan. Dominasi atas lautan juga memungkinkannya untuk mengambil upeti dari sisa wilayah Thailand dan kerajaan Khmer (sekarang Kamboja).

Kemenangan Rajendra Chola ini juga mengakhiri kendali dinasti Sailendra atas Sriwijaya.
Ketika Rajendra Cholan memilih tidak tinggal dan tidak mengambil alih kerajaan Sriwijaya , maka wilayah-wilayah kekuasaan Sriwijaya mulai perselisihan paham sesama mereka dan sejumlah kerajaan kecil di Sriwijaya memilih untuk melepaskan diri kekuasaan Sriwijaya.

Kekacauan di wilayah kekuasaan Sriwijaya berakhir sampai naiknya Raja Sriwijaya Sri Deva ke singgasana Sriwijaya yang diikuti oleh kerajaan-kerajaan kecil yang tadinya berada di Sriwijaya dan melepaskan diri dari Sriwijaya mulai membangun hubungan persahabatan dengan Kerajaan Chola, bahkan mereka meminta bantuan Kerajaan Chola untuk memadamkan pemberontakan ketika Kedah mencoba melepaskan diri dari Sriwijaya.

Kemenangan Chola juga memberi peluang bagi pedagang -pedagang Tamil mendapatkan akses yang besar di sektor bisnis di wilayah Sumatera dan Semenanjung Malaya.
Rajendra Chola terus memerintah kerajaannya dengan kemenangan besar dengan membangun berdasarkan aturan dari ayahnya, untuk menjadikan Chola sebagai kerajaan terbesar di kawasan Asia.

Dalam perkembangannya Rajendra Chola mendirikan ibu kota baru dengan nama Gangaikonda Cholapuram (di distrik Ariyalur modern Tamil Nadu) yang, sebagai ibu kota kerajaan Chola selama hampir 250 tahun yang menjadi adalah pusat pemerintahan semua kegiatan perdagangan dan politik di selatan. India, dengan pengaruhnya meluas ke seluruh wilayah luas yang telah ditaklukkan oleh Rajendra Chola.

Rajendra Chola juga membangun Kuil Brihadeshwara yang agung (sekarang menjadi Situs Warisan Dunia UNESCO), yang didedikasikan untuk Dewa Siwa yang selesai di bangun pada 1035 M. Itu adalah salah satu kuil terbesar di India dan salah satu tujuan wisata dan agama Tamil Nadu yang terkemuka.

Di Kuil tersebut tergambar pahatan dari arsitektur India Selatan yang spektakuler dengan keunggulan pahatan yang hampir tiada taranya, Kuil Brihadeshwara – bersama dengan Kuil Brihadeeswara (dibangun oleh ayahnya Raja Raja Chola) di Thanjavur dan kuil Airavatesvara di Darasuram – membentuk tiga serangkai yang disebut sebagai Chola yang hidup.

Namun Bambang Budi Utomo, arkeolog senior di Puslit Arkenas memiliki pendapat lain soal penyerangan kerajaan Chola ke Sriwijaya, alasannya mungkin karena faktor ekonomi. Kala itu, pedagang Tamil telah menguasai sekitar Teluk Benggala. Mereka menyebar hingga ke Myanmar, Thailand, hingga ujung utara barat laut Sumatra, yaitu Barus, Banda Aceh, dan Medan. Para pedagang itu kemudian membentuk persatuan pedagang bernama “Yang Ke Lima Ratus dari Seribu Arah” (Ayyavole-500).

“Ini disebutkan dalam sebuah prasasti Tamil yang ditemukan di Lobu Tua, Barus. Prasasti ini memperkuat dugaan adanya komunitas Tamil di Sumatra,” kata Bambang ketika ditemui di kantornya.
Prasasti itu menyebut para pedagang Tamil harus membayar pajak kepada raja Cola, bukan kepada Sriwijaya sebagai penguasa setempat.

“Untuk apa? Melindungi kepentingan orang Tamil. Istilahnya kalau sekarang ‘jatah preman’; si preman melindungi pedagang dari gusuran,” ujar Bambang.

Sebagai balasannya, Bambang menduga, ketika pedagang Tamil merasa dirugikan Sriwijaya, mereka mengadu kepada Cola. Sudah menjadi tugas Cola untuk melindungi para pedagang itu.
“Ini interpretasi saya. Mungkin pajak (ke Sriwijaya, red.) terlalu berat, diseranglah Sriwijaya,” katanya.

Menurut Claude Guillot dkk. dalam Barus Seribu Tahun yang Lalu, penguasa Cola pada masa itu menjalin hubungan erat dengan perkumpulan pedangang, khususnya dengan Ayyavole-500 yang ada di Lobu Tua.
Menurutnya, ini terkait dengan misi politik kerajaan. Pemerintahan Rajendra adalah puncak ketika Kerajaan Cola ingin memperluas kekuasaannya. Cola berkeinginan menjalin hubungan dengan wilayah timur, seperti Tiongkok dan Kamboja. Meski sebenarnya orang India sudah ada di Barus sejak pertengahan abad ke-9 M. Dinasti Cola waktu itu belum menonjol dan hanya menguasai satu daerah kecil di delta Sungai Kaveri.

“Dengan perluasan wilayah kekuasaan Dinasti Cola memungkinkan para pedagang Tamil, yang merupakan anggota perkumpulan yang didukung pemerintah, berhasil menguasai jaringan perdagangan yang lama, seperti jaringan perdagangan kamper yang menuju Barus,” catat Guillot.
Bambang tak setuju. Menurutnya, kerajaan-kerajaan yang pernah ada di India hanya berkuasa di Asia Selatan. Pengaruhnya saja yang sampai ke banyak wilayah, seperti gaya seni dan aliran filsafat.

Sementara orang Tamil tak begitu membawa pengaruh di wilayah Sriwijaya, terutama dalam hal seni, misalnya arca. Pedagang Tamil yang datang ke wilayah Sriwijaya membawa arcanya dari India.
Misalnya, arca bergaya Tamil yang ditemukan di Kota Cina, Medan. Batu yang dijadikan bahan membuat arca tak ditemukan di Sumatra atau Nusantara, tapi hanya ada di India.

“Artinya apa? Itu barang dibuat di India oleh komunitas Tamil, dibawa ke Kota Cina untuk diletakkan di vihara yang dibangun oleh Komunitas Tamil untuk pemujaannya,” terang Bambang.

Hasilnya, gaya seni Tamil tak berkembang di Indonesia. Tak ada seniman Nusantara yang mengadopsi gaya itu.
“Serangannya bisa jadi karena Sriwijaya yang salah memberikan pajak terlalu tinggi. Tapi ini belum terbukti,” lanjut Bambang.

Yang jelas, Bambang menambahkan, serangan itu bukan bermotif untuk menguasai wilayah Sriwijaya. Tak ada sumber tertulis soal itu, baik prasasti maupun naskah Nusantara dan India.
Alih-alih menduduki, Cola hanya datang mengubrak-abrik Sriwijaya, menawan rajanya pada serangan kedua, dan kembali ke negaranya. “Cola itu hanya mengingatkan: nggakusah macam-macam,” jelas Bambang.
Buktinya, kata Bambang, Sriwijaya dengan raja penggantinya, masih sempat membantu pembangunan kuil Tao di Kanton. Kuil ini kemudian dihancurkan tentara Khubilai Khan ketika Mongol menghajar Dinasti Song.

“Artinya, kekuasaan Sriwijaya masih eksis. Meski raja ditawan Cola, tapi tetap berlanjut, karena Tamil tidak menduduki, mereka cuma menyerang dan pergi lagi,” tambah Bambang.

Sumber:
1.Tulisan Praful Shankar, konsultan strategi TI yang berbasis di London. Dia memiliki gelar MBA dalam Bisnis Internasional dan Pemikiran Strategis Lanjutan dari Universitas Lancaster dari swarajyamag.com.
2. Alasan Cola Serang Sriwijaya, Historia,id

What do you think?

Written by Julliana Elora

Jiro Ramen, Kuliner Khas Jepang Hadir di Palembang Icon

Waspadai Terorisme pada Aksi 22 Mei