Tak hanya berbagai persoalan di sekolah, beberapa guru memiliki tantangan tersendiri dalam menjalankan misi mencerdaskan kehidupan bangsa. Seperti yang dialami beberapa guru pada daerah pedalaman Kabupaten Solok.
Selain keterbatasan sarana dan prasarana sekolah, guru-guru di beberapa nagari di kawasan Timur Kabupaten Solok yang meliputi Hiliran Gumanti, Payung Sekaki dan Tigo Lurah, dihadapkan pada sulitnya akses ke sekolah tempat mereka mengajar.
Sulitnya akses menuju sekolah merupakan momok bagi guru di kawasan itu, karena umumnya jalan di Tigo Lurah maupun Hiliran Gumanti banyak yang belum tersentuh pembangunan, sehingga ini kerap menjadi batu sandungan bagi tenaga pengajar untuk mengabdi di kawasan itu.
Meskipun demikian, juga tak sedikit yang mau mengabdikan diri di sekolah-sekolah di pelosok kabupaten Solok, dan menjadikan cerita-cerita unik terkait keadaan akses maupun sarana dan prasarana lainnya sebagai bagian dari asam manisnya perjuangan.
Seperti yang dikatakan, Patraminofa, seorang guru yang mengajar di SDN 12 Tigojangko, Nagari Sumiso, Kecamatan Tigo lurah, sejak mulai diangkat sebagai PNS dari tahun 2008 lalu, berbagai kisah unik pernah dialaminya.
Apalagi, akses menuju nagari Sumiso sangat memprihatinkan, bahkan walaupun jarak tidak terlalu jauh dari Batubajanjang (pusat kecamatan) atau sekitar lebih kurang 20 kilometer, harus membutuhkan waktu berjam-jam untuk sampai nagari tersebut.
Untuk diketahui, jalan yang beraspal hanya sampai Nagari Rangkiangluluih, setelah itu untuk menuju Sumiso sejauh lebih kurang 10 kilometer hanya jalan tanah yang dihiasi hijaunya hutan di sisi kiri dan kanan jalan, jika jalan tidak becek dan cuaca panas bisa ditempuh 2 jam perjalanan.
“Selama 14 tahun lebih saya mengajar di Sumiso, saya terbiasa melewati jalan becek, dan mendorong motor, hal yang selalu saya lakukan setiap kali diguyur hujan,” ujarnya.
Karena, akses jalan di kawasan itu, hanya jalan tanah, yang jika kondisi hujan akan sangat becek dan setiap kendaraan akan sulit melintasinya. Sehingga, rumahnya yang berjarak hanya 15 kilometer dari sekolah, bahkan harus berjam-jam untuk sampai ke sekolah jika sedang hujan.
“Jika hujan datang saat perjalanan ke sekolah, tak jarang juga saya meninggalkan motor di pinggir jalan, lalu jalan kaki ke sekolah agar lebih cepat sampai,” ungkapnya.
Meskipun harus melewati hutan belantara, dan sering dihadapkan berbagai persoalan terkait akses, hal itu tak menyurutkan niatnya menjadi pengajar di sekolah tersebut. Buktinya, 14 tahun sudah Ia mengajar di sekolah itu. Kendala lainnya, yakni persoalan sarana dan prasarana sekolah, serta akses internet.
Walaupun saat ini sebagian besar sekolah menerapkan pembelajaran berbasis IT, sekolahnya sering keteteran mengikuti kurikulum nasional, sehingga pada beberapa situasi, seperti saat pembelajaran online, namun pihaknya tetap melakukan tatap muka dengan cara mendatangi murid-murid ke rumah masing-masing.
“Kita harus melakukan itu, agar anak-anak tidak ketinggalan pelajaran, sebab kalau belajar online mustahil dilakukan di sini, karena keterbatasan jaringan,” jelasnya.
Lalu, guru lainnya, Wawan, Guru di SDN 11 Tanjungbalik Sumiso, Kecamatan Tigo Lurah, setiap harinya juga harus menempuh perjalanan 4 sampai 5 jam untuk menuju ke sekolah tempat ia mengajar, atau dalam satu hari ia butuh minimal 8 jam pulang-pergi dari rumah menuju sekolah dan sebaliknya, sedangkan secara matematis lama perjalanan seharusnya bisa dipangkas jika kondisi jalan mulus seperti jalan pada umumnya.
“Kalau cuaca panas, paling cepat bisa ditempuh 4 jam, tapi kalau hujan kadang saya tidak bisa ke sekolah, sebab kondisi jalan tidak memungkinkan untuk ditempuh dengan motor,” katanya.
Diceritakannya, Ia berangkat ke Sumiso setiap Minggu sore, kemudian menginap dulu di rumah temannya di Nagari Rangkiangluluih, baru pada Senin pagi, usai salat subuh, sekira pukul 05.30 ia pergi ke sekolah.
Lebih lanjut, jika musim hujan, Ia sempat beberapa kali tidak ke sekolah, karena akses jalan sangat tidak layak untuk dilewati, dalam kondisi itu, Ia hanya memberikan tugas kepada siswa. Bahkan, jika saat di sekolah hujan, untuk pulangpun tidak bisa.
“Kalau hari hujan pas waktu mau pulang, saya menginap di sekolah saja, di ruang perpustakaan, besoknya langsung mengajar lagi,” kenangnya sembari tertawa.
Perpustakaan sekolah tersebut hanya sebuah ruang dengan fasilitas seadanya, ruang lepas yang diberi sekat. Maklum sekolah di pedalaman, tidak selengkap sekolah di perkotaan, tidak ada ruang khusus bagi guru, tidak ada ruang lain, hanya satu ruang dibatasi sekat yang kemudian dibagi sesuai fungsinya.
Tak hanya kondisi jalan, sarana lain seperti air, listrik dan sinyal telepon pun susah didapat di sana. Menurut Wawan, saat Ia tidur di sekolah Ia selalu susah menemukan air bersih untuk mandi, di sekolah tersebut tidak ada air bersih dan toilet di sekolah, untuk kebutuhan mandi, mencuci dan kakus.
“Kalau untuk mandi, saya berjalan kaki ke sungai, itupun kalau airnya tidak keruh, sebab jika ada aktifitas tambang maka airnya keruh dan saya tidak jadi mandi,” tambahnya.
Sempat juga Ia keberatan dengan penempatan di sekolah itu, tapi untuk menjadi seorang guru, Ia tidak bisa dan tidak harus memilih tempat di mana Ia mau mengajar, sebab seluruh daerah sangat membutuhkan pendidikan, pendidikan bukan tentang kawasan maju atau daerah terpencil, semuanya sama rata.
“Lama kelamaan saya ikhlas dengan kondisi ini, dan saya berpikir kalau bukan saya siapa lagi, toh anak-anak disini sangat butuh pendidikan juga, jadi saya senang dan bersyukur bisa membagi ilmu disini,” cetusnya.
Kawasan Terisolir Kekurangan Guru.
Lebih lanjut, terkait akses serta terbatasnya sarana dan prasarana di kawasan pedalaman Kabupaten Solok, banyak guru berstatus PNS enggan mengajar di sekolah-sekolah pelosok Solok, sehingga di Tigo Lurah dan Hiliran Gumanti kerap kekurangan guru.
Permasalahan kekurangan guru Pegawai Negeri Sipil masih menjadi momok di sektor pendidikan Kabupaten Solok, terutama di kawasan terisolir, seperti di kecamatan Tigo Lurah, bahkan tenaga guru di beberapa sekolah di dominasi oleh guru honorer.
Anggota DPRD Kabupaten Solok, dari Fraksi Golkar, Vivi Yulistia Rahayu mengatakan, secara umum di Kabupaten Solok masih kekurangan guru. Kekurangan ini ditutupi oleh guru honor yang notabenenya memiliki tingkat kesejahteraan yang sangat rendah.
Untuk menutup kekurangan guru tersebut, memberdayakan tenaga honorer ini, sebetulnya juga harus memperhatikan kesejahteraan para guru honorer. Menurutnya, persoalan pendidikan di daerah tertinggal sudah memasuki stadium akut. Guru yang berstatus PNS tidak betah mengajar di sana.
Banyak di antaranya yang minta pindah dengan berbagai alasan. Kekosongan guru ini ditutupi oleh guru honor. “Banyak yang menjadi catatan kami, tapi yang paling krusial yakni pemerataan guru di sejumlah daerah,” tegasnya.
Kadisdik Kabupaten Solok, Zainal Jusmar mengaku, tidak meratanya sebaran guru PNS di Kabupaten Solok juga menjadi problem tersendiri, terutama di kawasan pelosok, bahkan di Tigolurah, Hiliran Gumanti, masih di dominasi guru non PNS. Hal inilah yang menjadi prioritasnya dalam menyikapi kekurangan guru.(frk)