Pengalaman Pahit jadi Pemantik Semangat
Rangkaian acara Zetizen Summit 2017 berakhir kemarin (28/7). Sebanyak 34 pemenang Alpha Zetizen of the Year telah diumumkan. Tiga pemenang di antaranya, Muhammad Haikal Razi, Jessica Pratiwi Yahya, dan Muhammad Ridwan, ternyata pernah menyimpan kisah hidup yang pahit.
Tiga belas tahun berlalu, tetapi pengalaman pahit akibat bencana tsunami Aceh pada 2004 masih membekas di ingatan Muhammad Haikal Razi. Ya, petaka yang sempat menerjang Aceh pada 2004 telah membuat Haikal, Alpha Zetizen Aceh, kehilangan keluarganya. Meski begitu, dia tetap semangat melanjutkan hidup. Haikal bahkan melakukan banyak hal positif buat orang di sekitarnya.
Pagi itu langit sedikit mendung ketika Haikal harus berbagi kisah sedihnya. Pada hari terakhir Zetizen Summit 2017, Haikal terlihat duduk di lobi Grand Whiz, Trawas. Dengan pembawaan yang tenang, dia mulai menceritakan kisah sedihnya. ”Pada 26 Desember 2004, tsunami menerjang Aceh. Karena itu, saya terpaksa kehilangan orangtua dan abang saya,” ceritanya dengan mata berkaca-kaca.
Haikal menuturkan, sehari sebelumnya dirinya pergi menginap ke rumah neneknya yang berada jauh dari pesisir. Dia tidak pernah menyangka hal itu akan menyelamatkannya dari bencana terbesar sepanjang sejarah tersebut. ”Saya selamat, tapi orangtua saya tak ditemukan dan rumah saya rata dengan tanah. Saya benar-benar kehilangan semuanya saat itu,” katanya.
Kejadian tersebut membuat Haikal kalut. Umurnya baru 5 tahun dan dia tidak mau pergi ke sekolah karena takut meninggalkan rumahnya. Haikal masih khawatir kalau tiba-tiba gempa datang dan memisahkannya dari keluarganya sekali lagi. ”Kelas I–III SD saya tidak mau sekolah. Saya takut kalau bencana datang dan saya nggak sama keluarga saya,” ujarnya.
Namun, berkat dukungan keluarga dan teman-temannya, perlahan Haikal bisa bangkit. Itulah yang membuat Haikal beranjak dari trauma masa lalunya. Bahkan, dia tidak ingin ada anak lain yang harus merasakan apa yang dirasakannya.
”Saya tidak ingin ada Muhammad Haikal Razi lain. Karena itu, aku melakukan sosialisasi dan simulasi penanggulangan bencana agar mereka tahu apa yang harus dilakukan ketika bencana datang,” tegas remaja yang kini hidup dengan kakak dari ibunya tersebut.
Haikal pun membentuk kelompok volunter bernama Jeumpa Puteh Disaster Prevention Club untuk melancarkan aksinya. Berdiri sejak 2016, kelompok bentukan Haikal itu berhasil merekrut 47 anggota hingga sekarang. Kegiatan utama kelompok tersebut adalah memberikan pelatihan penyelamatan diri kepada siswa-siswi SMA bila terjadi bencana.
”Misalnya, saat ada gempa, kamu berlindung di mana. Kalau terjadi tsunami, naik ke tempat yang tinggi dan menjauh dari laut. Kami juga mengajarkan teknik pertolongan pertama,” jelas Haikal sembari sedikit memperagakan aksinya.
Berkat aksi positifnya tersebut, Haikal sampai menjadi salah seorang tamu undangan dalam acara World Tsunami Awareness Day yang diselenggarakan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada Rabu malam (27/9), Haikal juga dianugerahi sebagai Alpha Zetizen of the Year dari Provinsi Aceh. Meski aksinya telah menuai banyak apresiasi, Haikal masih membumi dan waspada.
”Belajar dari tsunami Aceh pada 2004, kita tahu bencana bisa datang kapan aja. Saya memang tidak bisa menghentikan bencana, tapi bisa membantu meminimalkan akibat dari bencana tersebut,” tuturnya.
Mengajar di Perbatasan Indonesia–Malaysia
Lain Haikal, lain pula yang dialami Jessica Pratiwi Yahya, Alpha Zetizen of the Year asal Kalimantan Barat ini. Kisah bermula sejak kepindahan orangtuanya dari Kota Pontianak ke Kabupaten Bengkayang pada Juli 2015. Bengkayang terletak di barat Kalimantan dan berbatasan langsung dengan wilayah Malaysia.
Pindah dari ibu kota Provinsi Kalimantan Barat menuju daerah terpencil, segalanya tentu tidak mudah bagi Jeje, sapaannya. Segala sesuatunya terasa berbeda. Mulai infrastruktur jalanan yang masih rusak dan tidak layak, kondisi alam yang didominasi hutan, hingga perilaku ”ajaib” masyarakat yang tinggal di wilayah perbatasan.
Jeje memperhatikan anak-anak yang tinggal di daerah tersebut. Dia merasa tertegun melihat perbedaan dengan anak-anak yang tinggal di Kota Pontianak. ”Aku ngelihat pengetahuan dan wawasan anak-anak di perbatasan juga terbatas. Apalagi, orangtua anak-anak itu kurang perhatian dengan pendidikan dan masa depan anak mereka,” ungkap Jeje miris.
Rasa empati tersebut kemudian dia wujudkan dengan menjadi relawan pengajar di sekolah minggu. Bukan tanpa hambatan, Jeje sempat mengalami mental breakdown saat mengajari anak-anak tersebut. ”Hari pertama ngajar, aku sempat nangis. Anak-anak menganggap cara mengajarku terlalu kaku, boring, dan monoton. Susah sekali bikin mereka fokus pada materi yang kuajarkan,” kenang Jeje.
Hampir menyerah, Jeje akhirnya mendapatkan suntikan semangat dari sang mama yang dulu berprofesi guru. ”Mama nyaranin pakai metode yang fun karena anak-anak nggak suka hal yang terlalu serius,” terangnya.
Setelah itu, Jeje rutin menyelipkan hal-hal yang menyenangkan dalam mengajar. Misalnya, menonton film, serta mengajarkan tari-tarian hingga musik. Hasilnya cukup positif. Anak-anak tersebut lebih enjoy dalam belajar.
Setengah tahun berlalu, Jeje mulai berpikir. Dia tidak ingin hanya mengajari anak-anak di sekolah minggu. Jeje ingin anak-anak dari kalangan umum turut merasakan manfaat dari ilmu yang diberikannya. ”Akhirnya, aku buat sekolah sore. Jadi, setiap Sabtu dan Minggu sore, ruang tamu di rumahku akan penuh sesak dengan anak-anak,” ucapnya.
Mata pelajaran yang diberikan beragam. Ada matematika, bahasa Indonesia, dan ilmu pengetahuan alam (IPA). ”Padahal, jurusan sekolahku sosial lho, hahaha,” lanjut Jeje. Tidak melulu belajar pelajaran sekolah, kadang anak-anak itu hanya datang untuk bermain dan membaca buku cerita di rumahnya. ”Seneng banget ngelihat mereka datang ke rumah. Serasa punya TK dadakan,” kata Jeje, lantas tertawa renyah.
Tinggal di perbatasan membuat Jeje harus merasakan berbagai kesulitan. Mulai jarak tempuh yang jauh, jalanan yang rusak, hingga mati listrik yang sering terjadi. Bahkan, saat musim hujan, jalanan bakal berubah menyerupai danau akibat genangan air. Apalagi, Jeje kerap pergi-pulang sendirian dengan mengendarai sepeda motor demi menyambangi anak-anak yang akan diajarnya.
Semangatnya untuk mengabdi tidak pernah berhenti, bahkan tanpa menerima imbalan sepersen pun atas keringatnya. ”Kadang, kalau ngerasa jenuh, aku menyemangati diri sendiri. Kalau bukan kita, siapa lagi? Sebagai WNI, aku ngerasa wajib buat peduli,” tutur Jeje berapi-api. Berkat dedikasinya tersebut, tidak heran kalau Jeje terpilih sebagai Alpha Zetizen of the Year dari Provinsi Kalimantan Barat.
Mantan Anak Jalanan yang Menjadi Aktivis Pengajar
Sama dengan Jeje yang bergerak di bidang pendidikan, Muhammad Ridwan asal DKI Jakarta mengabdikan dirinya untuk mencerdaskan bangsa. Latar belakang Ridwan yang penuh perjuangan membuatnya ingin terus melakukan aksi positif.
Kisah ini bermula sejak dia dan keluarganya hijrah dari Cirebon ke Jakarta pada 2012. Ridwan hidup dengan situasi ekonomi yang pelik. Dia pun harus bergumul dengan asap kendaraan dan mencari uang untuk membantu menafkahi keluarganya sebagai anak jalanan. Lambat laun, orangtuanya benar-benar kehabisan ongkos hidup dan Ridwan terpaksa putus sekolah.
Ridwan pun membagikan cerita pahitnya yang pernah menjadi anak jalanan. ”Banyak yang udah aku lalui di jalan. Aku ngamen sana-sini, cari uang. Teman-teman pernah tertangkap petugas dan dibawa ke panti rehabilitasi. Untungnya, aku sedang nggak berada di situ,” katanya sembari berusaha menahan air mata.
Beruntung, derajat hidup Ridwan kembali naik setelah bertemu dengan sosok Herman Nugraha, founder Yayasan Rumah Kita. Herman lantas mengajak Ridwan bergabung guna mendukung penarikan pekerja anak-program keluarga harapan (PPA-PKH) dari Kemenaker. Setelah satu bulan mengikuti program tersebut, Ridwan ternyata berprestasi. Pihak yayasan membiayai sekolah Ridwan sejak saat itu hingga duduk di bangku SMAN 53 Jakarta sekarang.
Setelah semua yang dilaluinya, Ridwan sadar hidup di jalanan itu sangat keras. Dia tidak ingin adik-adik yang juga kurang beruntung mengalami apa yang dialaminya. ”Aku nggak pengin anak-anak lain kayak aku. Cukup aku aja yang mengalami, mereka jangan. Mereka harus tetap dapat pendidikan yang layak,” tegasnya.
Karena itulah, Ridwan termotivasi untuk membagikan ilmunya kepada anak jalanan. Dia meneruskan jejak Pak Herman Nugraha. Dengan tulus, dia membagikan ilmunya kepada anak-anak jalanan, bahkan penyandang disabilitas, melalui bimbingan belajar yang diwadahi Yayasan Rumah Kita.
”Karena ada teman mengamenku yang kecelakaan terlindas truk dan menjadi penyandang disabilitas. Dari situ aku ingin bimbelku juga menerima anak difabel,” sebut Ridwan. Benar saja, saat ini Ridwan juga mengajari tunarungu, tunanetra dan tunagrahita.
Di luar kesibukan sekolah dan mengajar di bimbelnya, Ridwan juga aktif menjadi fasilitator Forum Anak Jakarta selama dua periode. ”Pokoknya, aku pengin nunjukin bahwa anak jalanan juga bisa berprestasi. Aku selalu memotivasi mereka untuk terus bermimpi dan belajar,” ucap pelajar yang kini duduk di bangku kelas X tersebut.
Dari anak jalanan, Ridwan kini bak pahlawan. Kerasnya hidup justru menempanya menjadi sosok yang pantang menyerah dan bermanfaat bagi orang lain, terutama yang bernasib sama dengannya. Tidak heran, Ridwan berhasil menjadi Alpha Zetizen of the Year perwakilan DKI Jakarta.
Bersama Haikal dan Jessica, Ridwan akan mendapatkan hadiah fun trip ke New Zealand sebagai pemenang Zetizen National Challenge. Diharapkan, mereka bisa memetik ilmu berharga dari sana dan menerapkannya di Indonesia seperti yang selama ini telah mereka lakukan dengan luar biasa. (*)
LOGIN untuk mengomentari.