Terorisme masih jadi ancaman bagi Republik ini. Ancaman itu tak bisa dianggap remeh. Kelompok penebar teror masih bercokol di negeri ini. Peristiwa teror bom di Samarinda, beberapa pekan lalu membuktikan terorisme masih jadi ancaman nyata bagi bangsa Indonesia.
Pemerintah dan DPR pun merasa perlu membuat sebuah payung hukum yang kuat, yang bisa dipakai untuk memberantas dan menanggulangi aksi terorisme. Karena itu, revisi UU Terorisme tak bisa ditawar-tawar lagi.
Harus ada ketegasan dalam perang melawan terorisme. Untuk mengetahui lebih jauh tentang hal itu, Koran Jakarta berkesempatan mewawancarai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Suhardi Alius, disela-sela acara Seminar Nasional BNPT, “Preventive Justice dalam Antisipasi Perkembangan Ancaman Terorisme.” Berikut petikan wawancaranya.
Terorisme masih mengancam. Dan Indonesia sudah menyatakan perang terhadap terorisme. Dari sisi regulasi sudah cukupkah?
Seperti diketahui, payung untuk memerangi terorisme diawali dengan dikeluarkannya Perpu Nomor 1 yang kemudian disahkan jadi UU Nomor 15 tahun 2003. Seperti diketahui juga pada 18 Oktober 2002 terjadi peristiwa bom Bali.
Jadi UU Terorisme itu untuk menghadapi bom Bali. Jadi sudah tak update?
Itu 14 tahun sudah. Dan dinamikanya terus berubah. Kita bersusah payah. Namun Alhamdulillah masih bisa menangani teror.
Dengan regulasi yang ada, perang melawan terorisme lebih berat?
Tampaknya masuh cukup berat. Tahun ini masih terjadi aksi terorisme di Indonesia maupun di luar. Kebutuhan Indonesia akan UU Terorisme yang kuat sangat mendesak.
Apa yang berubah dari aksiaksi teror saat ini?
Modus penggunaan senjata kimia biologi, nuklir dan sejenisnya. Termasuk dunia maya menjadi sarana pendukung aksi teror. Lalu adanya fenomena WNI yang bergabung di organisasi terorisme radikal. Medsos misalnya, sudah dimanfaatkan sebagian kelompok untuk menentukan lokasi serangan, pelatihan, penghimpunan dana koordinasi dan pengkaderan. ISIS misalnya kita lihat mereka lihai di cyber space untuk sebarkan aksi teror mereka. Lewat media sosial mereka bisa menghasut ribuan orang.
UU Terorisme sekarang tak cukup kuat?
UU yang kuat bisa menjadi ruang yang cukup sehingga peluang selesaikan tindak terorisme bisa selesai. Ya ada usulan tambahan masa penahanan, penangkapan, saya kira adalah dalam konteks ini. Kita butuh ruang untuk melakukan tindakan.
Pencegahan kami mencatat betul, bahwa pemberantasan terorisme tidak semata-mata selain penegakan hukum, tapi juga sosial ekonomi. Kebijakan dalam pemberantasan pun untuk menjaga keseimbangan. Termasuk mereka yang ikut pelatihan di luar negeri. Ini penting juga dimasukan dalam perubahan UU.
Jadi UU Terorisme seperti apa yang dibutuhkan?
Kita butuh UU menyeluruh yang juga mengatur hal-hal yang belum diatur terkait pencegahan terorisme. Termasuk dalam menangani mereka yang terlibat baik yang sudah menjadi tersangka, terdakwa atau terpidana.
Sekarang ini bagaimana sebenarnya?
Tidak terlihat dipermukaan, misal para pelaku yang keluar atau mantan pelaku, simpatisan aktif dan pasif.
Revisi UU Terorisme itu sendiri nantinya menyentuh apa saja?
Kami mendengar dari Pansus ada tiga hal. Pertama, pencegahan, penindakan dan kompensasi dan rehabilitasi ini untuk korban. agus supriyatna/AR-3