in

Komplotan Palembang

Surat yang dikirimkan oleh Residen mempertanyakan penangkapan pegawai-pegawai dan utusannya, tak kunjung dibalas oleh Soesoehoenang maupun Sultan Palembang. Tunggu punya tunggu, hari pun berganti malam.

Oleh FRIEDA AMRAN

Malam itu, seseorang membangunkan Residen dengan sebuah berita mengejutkan: malam itu juga, kraton (tempat Belanda bermarkas) akan diserbu! Walau terkejut dan seketika siaga, Residen itu tidak terlalu khawatir karena jauh hari sebelumnya, komandan-komandan Angkatan Darat dan Angkatan Laut yang bertugas di Palembang sudah mempersiapkan segala sesuatu untuk menghadapi serangan, bila itu terjadi. Menurut berita, serangan itu akan dilakukan pada pk. 04.00 dinihari. Dan memang, ketika jam berdentang empat kali, serdadu-serdadu yang menjaga kraton melihat  gerombolan massa datang mendekat.

Letnan-kolonel van Castel, komandan militer di Palembang, memerintahkan pasukan-pasukannya untuk bersiap di luar dinding kraton. Sekitar empat ratus orang Palembang mendekat dan menyerang. Beberapa di antara mereka berteriak: “Sabil Allah!” Mereka merangsek terus sampai ke dua buah meriam. Pasukan-pasukan Belanda menembakkan kedua meriam itu. Namun, itu tidak membuat orang-orang Palembang yang menyerang  menjadi gentar.

Di dalam gelapnya malam, sosok Sultan Palembang tak tampak. Hanya suaranya saja yang terdengar memerintahkan pasukannya terus maju menyerang. Tembakan-tembakan memberondong mereka dari dua jajaran pasukan Belanda. Setelah baku-hantam dan tembak-menembak berlangsung selama 45 menit, barulah orang-orang Palembang yang terakhir mulai mundur.

Komandan militer Belanda membiarkan orang-orang itu melarikan diri. Dalam keadaan gelap gulita, ia tidak melihat keuntungan mengejar mereka. Ketika fajar mulai menyingsing, mereka menemukan jasad tujuh orang Palembang, termasuk jasad Pangeran Tjitra Wiedidjaja. Intel Belanda melaporkan bahwa di antara pasukan Sultan, sebanyak 30 orang meninggal dunia dalam serangan dinihari itu. Orang yang terluka lebih banyak lagi.Dari pihak Belanda, sebanyak 23 orang terluka berat. Dua orang di antaranya kemudian meninggal dunia.

Kira-kira dua jam setelah pertempuran pendek itu, pegawai-pegawai Belanda yang tadinya ditangkap dan ditahan oleh Soesoehoenang—dibebaskan. Mereka kembali ke markas Belanda di kraton. Mereka melaporkan bahwa Soesoehoenang-lah yang memerintahkan untuk membebaskan mereka dan setelah penyerangan itu, Sultan Palembang pulang dengan wajah kecut. Pegawai-pegawai Belanda itu menyampaikan pesan permintaan maaf dari Soesoehoenang dan anaknya, Sultan Palembang. Lelaki itu juga menyatakan kesediaannya untuk meletakkan senjata.

Melalui Pangerang Panumbahan Boepatti dan Pangerang Depattie Moeda Andul Rachman (adik-adik Soesoehoenang), Residen meminta agar Soesoehoenang dan Sultan melaporkan diri ke kapal yang akan membawa mereka ke Batavia. Kedua lelaki itu menyetujui permintaan itu. Tak lama kemudian, Soesoehoenang naik ke atas kapal Wilhelmina. Dikawal sepasukan militer, kapal itu berangkat meninggalkan Palembang dan tiba di Batavia di bulan Desember.

Sultan Palembang tidak datang melaporkan diri. Ia menghilang, bersama beberapa orang lain yang terlibat dalam ‘Komplotan Palembang’. Konon, Sultan dan anak buahnya berusaha menuju ke daerah hulu Sungai Musi. Karena itu, komandan militer Belanda memerintahkan anak buahnya untuk menghalangi perjalanannya. Jangan sampai Sang Sultan berhasil menghilang di daerah rawa-rawa di luar kota Palembang.

Pemerintah Hindia-Belanda tidak meragukan apa maksud sultan melakukan serangan mendadak itu. Namun, persiapan dan pelaksanaan serangan itu yang justeru membuat mereka agak terheran-heran. Pengalaman menghadapi raja dan sultan di daerah-daerah lain di nusantara menunjukkan bahwa  serangan serupa biasanya dilakukan dengan persiapan matang dengan strategi yang piawai. Serangan mendadak di Palembang itu mengesankan sebagai tindakan tergesa-gesa yang sangat emosional. Rupanya, rencana itu sendiri baru diumumkan beberapa hari sebelumnya. Ada yang bahkan mengira bahwa berita tentang itu hanyalah merupakan desas-desus belaka karena gagasan serangan itu sudah begitu jelas takkan mungkin berhasil.

Langkah-langkah yang telah dipersiapkan Belanda untuk menolak serangan sangat dirahasiakan. Tak seorang pun mengetahuinya. Tak juga Sultan. Dari tempat tinggalnya yang berjarak satu tembakan saja dari kraton, Sultan dapat melihat meriam-meriam yang siap tempur. Dalam sekejap mata, rumah yang ditinggalinya dapat diberangus dengan satu tembakan yang jitu. Ia tidak mengetahui betapa Belanda telah bersiaga. Akan tetapi, ia tetap merencanakan sebuah serangan.

Akhirnya, diiringi sekitar 400an orang yang bersenjatakan tombak dan klewang—hanya beberapa orang saja yang membawa senjata api, Sultan Palembang maju menyerang tentara-tentara Belanda yang bersenjata api lengkap. Serangan itu sudah pasti takkan mungkin berhasil. Sebetulnya Sultan masih memiliki beberapa buah  meriam yang dipajang di depan kediamannya. Biasanya meriam-meriam itu digunakan untuk melepas tembakan penghormatan dalam berbagai perayaan. Namun rupanya, ketika akan menyerang Belanda di kraton, Sultan itu tidak terpikir untuk menggunakan meriam-meriam tadi.

Karena serangan itu terkesan tidak direncanakan dengan baik, pernyataan Soesoehoenang bahwa ia tak tahu-menahu adanya rencana itu tampaknya memang dapat dipercaya. Menurut Soesoehoenang, anaknya—Sultan Palembang—mengamuk menyerang Belanda karena putus asa karena tidak berhasil mendapatkan cinta seorang perempuan karena perempuan itu merupakan kerabat dekat mantan-sultan yang telah dikucilkan. Hal ini pula yang membuatnya lalu menangkap pegawai-pegawai Belanda yang bersukubangsa pribumi. Kebenaran uraian itu sangat diragukan oleh Residen Belanda yang mendengarnya.

Apa yang sebetulnya memicu serangan itu tidak jelas bagi orang-orang Belanda ketika itu. Di dalam laporannya, Residen Reijnst menyatakan bahwa baik dirinya maupun anak buahnya tidak melakukan apa pun yang diperkirakan dapat membuat Sultan mengamuk.

Pustaka Acuan:

THS Leicher. Het Leven en de Lotgevallen van Wijlen FP Leicher, Oost Indische Pionnier. Groningen: S. Barghoorn. 1843

What do you think?

Written by virgo

Ketenteraman Semu di Palembang

Pemerintah Luncurkan Program Revitalisasi SMK