Kabar mengejutkan datang dari luhak Limapuluh Kota. Ferizal Ridwan, selaku wakil bupati yang mengemban tugas sebagai bupati, melakukan langkah kontroversial dengan melantik sekretaris daerah (sekda) dan dua orang pejabat pimpinan tinggi pratama lainnya. Menjadi kontroversi, karena tindakan tersebut dilakukan sepeninggal dari Irfendi Arbi naik haji ke Tanah Suci. Tidak ayal, hal ini memantik pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat.
Dalam siaran persnya, Kepala Bagian Humas Setprov Sumbar menyatakan bahwa SK pengangkatan dua pejabat pimpinan tinggi pratama dan pengembalian Yendri Thomas sebagai sekda yang diangkat oleh Ferizal Ridwan tersebut tidak sah. Namun, Ferizal Ridwan tetap bergeming. Bahkan, Ferizal Ridwan menyatakan bahwa sah atau tidaknya kebijakannya itu merupakan ranah dari pengadilan (Padang Ekspres, 21/8).
Keabsahan Bertindak
Sah atau tidaknya tindakan dari sang wakil bupati dapat diuji dari segi subtansi dan dari segi prosedur penggunaan wewenang. Dari segi substansi, tindakan yang dilakukannya dipandang sah jika ia mempunyai wewenang untuk melakukan hal itu. Dalam hal ini, pengangkatan pejabat pimpinan tinggi pratama merupakan wewenang yang melekat pada jabatan bupati (Pasal 235 Ayat (1) UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah). Wewenang ini dapat saja dilaksanakan oleh wakil bupati dengan dua syarat. Pertama, bupati menjalani masa tahanan. Kedua, bupati berhalangan sementara. Dalam kasus ini, izin perjalanan Irfendi Arbi ke Tanah Suci termasuk ke dalam kondisi berhalangan sementara. Besar kemungkinan, ketentuan Pasal 66 Ayat (1) huruf c UU No. 23/2014 inilah yang dijadikan dasar bertindak oleh Ferizal Ridwan.
Secara substansi, pelaksanaan tugas dan wewenang bupati tidak sepenuhnya dapat digunakan dengan leluasa oleh wakil bupati. Karena, penggunaan wewenang tersebut mesti dipertanggungjawabkan oleh wakil bupati kepada bupati sebagaimana halnya yang diatur oleh Pasal 66 Ayat (3) UU No. 23/2014. Oleh karena itu, Ferizal Ridwan dibebani kewajiban untuk mempertanggungjawabkan tindakannya manakala Irfendi Arbi telah pulang dalam pelaksanaan ritual ibadah hajinya. Dalam kajian Hukum Administrasi, penyelenggaraan wewenang sebagaimana dimaksud Pasal 66 Ayat (1) huruf c UU No. 23/2014 termasuk ke dalam kategori mandat. Wakil bupati bertindak untuk dan atas nama jabatan bupati dan bertanggung jawab kepada bupati. Tidak ada proses pemindahan wewenang di sini.
Kemudian, dari sisi prosedur, pengangkatan sekda dan pejabat pimpinan tinggi pratama lainnya wajib menempuh prosedur yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Pasal 113 Ayat (1) UU No. 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara mengamanatkan bahwa pengisian jabatan pimpinan tinggi pratama dilakukan dengan terlebih dahulu membentuk panitia seleksi. Bahkan, Pasal 116 Ayat (2) UU No. 5/2014 dengan jelas menegaskan bahwa kecuali pejabat pimpinan tinggi tersebut melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan dan tidak lagi memenuhi syarat jabatan yang ditentukan, pejabat pimpinan tinggi dilarang diganti selama dua tahun terhitung sejak ia dilantik. Khusus untuk sekda yang termasuk ke dalam kelompok pejabat pimpinan pratama, penetapan dan pengangkatannya harus dikoordinasikan terlebih dahulu dengan gubernur. Apakah prosedur tersebut telah ditempuh oleh Ferizal Ridwan selaku wakil bupati yang menyelenggarakan tugas dan wewenang bupati? Jika tidak, maka pengangkatan pejabat pimpinan tinggi pratama tersebut mengandung cacat prosedur dan tidak sah.
Dampak Kebijakan
Kebijakan yang diambil Ferizal Ridwan telah berubah menjadi bola panas. Jika Irfendi Arbi merasa kewenangannya sebagai bupati dikangkangi, tentu ia akan mengambil sikap. Seluruh kebijakan yang diambil oleh Ferizal Ridwan akan dievaluasi dan tidak tertutup kemungkinan akan dianulir dan dikembalikan seperti semula. Sebagai konsekuensinya, terjadi ketidakpastian hukum terhadap kebijakan-kebijakan yang telah diambil oleh Ferizal Ridwan.
Pecah kongsi antara kepala daerah dan wakil kepala merupakan gejala yang tidak sehat dan merugikan hajat hidup masyarakat. Untuk itu, gubernur selaku wakil pemerintah pusat di daerah perlu mengambil sikap. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang bertikai perlu didamaikan dan diperingatkan. Jika membandel, diberikan sanksi. Bagi masyarakat di daerah, jadikan peristiwa itu menjadi catatan untuk pemilihan kepala daerah di masa mendatang. (*)
LOGIN untuk mengomentari.