PANDEMI Covid-19 benar-benar mengubah banyak tatanan kehidupan. Umumnya, dampak yang tidak diprediksi sebelumnya sering dilihat dari sisi negatif saja. Padahal jika ditelisik secara objektif, setiap kejadian selalu dapat dilihat dari dua sisi. Meski kadang kala sisi positif sering tertutupi oleh dominasi pengaruh negatif lebih sering dibicarakan.
Salah satu sisi positif yang dapat dipetik dari petaka virus korona ini adalah, semakin tingginya kesadaran masyarakat terhadap nilai-nilai kesehatan. Berbagai aktivitas dan program yang ditujukan untuk menjaga kesehatan bermunculan. Umumnya, masyarakat mulai terbiasa menggunakan masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan. Banyak diskusi yang membahas bahwa kesadaran terhadap kesehatan ini salah satu aspek penting yang dipertimbangkan konsumen dalam melakukan kegiatan dan pembelian.
Gursoy dan Chi (2020) menjelaskan bahwa konsumen Amerika yang menghindari untuk makan di restoran/rumah makan/kafe pada saat pandemi mencapai angka lebih 50%. Berbelanja makanan secara online salah satu alternatif yang melonjak drastis di masa itu. Di Indonesia, penelitian yang dilakukan Hardiyanto dkk (2021) menemukan bahwa 80% informannya mengatakan bahwa mereka melakukan kegiatan belanja online di masa pemerintah mewajibkan penerapan protokol kesehatan.
Selama masa pandemi, pesan antarmakanan secara online melonjak lebih dari dua kali lipat dibanding sebelumnya. Hal ini mengindikasikan bahwa pandemi ikut mengakselerasi e-commerce. Protokol kesehatan yang telah membatasi ruang gerak masyarakat menyebabkan penggunaan internet menjadi meningkat. Oleh sebab itu, sangat beralasan transaksi makanan melalui online melonjak drastis.
Bak jamur di musim hujan, penelitian, diskusi dan perbincangan membahas kaitan Covid-19 dengan bisnis kuliner. Jika awalnya pemain pada bisnis makanan online didominasi GoFood dan Grabfood, tahun 2020 Tokopedia muncul dengan TokopediaNyam dan Shopee memperkenalkan layanan kuliner online dengan brand Shopeefood.
Perkembangan pesat dari jumlah pebisnis makanan online ini menunjukkan bahwa pandemi telah membawa perubahan pada perilaku masyarakat dalam berbelanja makanan. Menurut salah satu mitra Tokopedia Nyam (Setyowati, 2020) perubahan perilaku masyarakat ini berdampak pada peningkatan transaksi bisnis makanannya sebesar 270 persen.
Pada masa post-pandemic terjadi perubahan situasi dengan adanya keleluasaan ruang gerak bagi masyarakat dan masih bermunculannya varian-varian korona menarik untuk diteliti bagaimana pula perubahan perilaku masyarakat dalam membeli makanan. Apakah mereka masih melanjutkan pola berbelanja yang sama seperti pada masa tatanan kehidupan baru diperkenalkan?
Penelitian melibatkan risiko pada topik perilaku konsumen dalam membeli makanan sudah banyak dilakukan di masa pandemi. Meski dalam jumlah yang lebih sedikit diskusi tentang risiko ini masih tetap berlangsung pada masa post-pandemic. Hal ini dapat dimaklumi karena sampai saat ini virus korona dengan varian baru masih bermunculan silih berganti.
Penelitian Yeni dkk (2021) menemukan bahwa semakin tinggi risiko kesehatan dan risiko psikologi dari membeli dan makan langsung di tempat, maka semakin meningkat niat konsumen untuk merekomendasikan agar makanan tersebut dilakukan dengan cara pesan antar.
Pada masa post-pandemic kembali dilakukan penelitian untuk pembelian makanan, tetapi melihat perilaku konsumen dalam membeli secara online. Pada penelitian Yeni dkk yang dibiayai Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unand, tahun 2022 ditemukan bahwa tidak ada perbedaan signifikan untuk rata-rata frekuensi pemesanan makanan secara online pada masa pandemi dan post pandemic.
Dari 402 responden yang memesan makanan secara online saat pandemi adalah 23,1% dan post-pandemic sebanyak 26,2%. Sementara itu, konsumen yang melakukan pesanan makanan secara online 2 kali dalam seminggu pada masa pandemi 27,9% dan post-pandemi: 24,8%.
Berdasarkan data sederhana ini dapat dilihat bahwa frekuensi pemesanan makanan menjadi berkurang, yaitu hanya sekali seminggu. Penelitian pada topik pembelian food secara online menjadi semakin menarik ketika ditemukan perbedaan dengan hasil investigasi perubahan perilaku konsumen pada masa sebelum, sedang dan setelah pandemi yang dilakukan Filimonau dkk (2022) di Inggris.
Peneliti ini menyimpulkan bahwa pada masa post-pandemic konsumen lebih dominan menyukai memakan makanan sehat di rumah saja. Pada penelitian tersebut mereka menyiapkan makanannya dengan memasak sendiri. Meski persentase yang memasak sendiri di rumah paling besar pada saat Covid-19, tetapi terlihat bahwa selama dan setelah pandemi melandai mereka lebih enjoy memasak ketimbang berbelanja di luar.
Di Indonesia, makanan paling banyak dipesan online responden pada penelitian ini adalah fast food, berupa ayam goreng dan nasi goreng. Hal ini mengindikasikan bahwa kesadaran masyakat di sana akan pola hidup sehat, lebih baik dari masyarakat Indonesia dan juga meningkat setelah masa pandemi. (*)