JAKARTA – Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) diharapkan terus memperjuangkan kepentingan pegawai negeri sipil di Indonesia. Organisasi terbesar pegawai negeri ini jangan sampai mati suri dan mengalami kegagapan dalam menghadapi tantangan zaman.
Kepala Lembaga Administrasi Negara (LAN) Dr Adi Suryanto mengatakan, ke depan Korpri wajib menunjukkan eksistensinya sebagai organisasi yang berpihak kepada pegawai pemerintah.
“Ada banyak isu yang perlu disikapi oleh Korpri. Misalnya, sikap pasif Korpri dalam menyikapi perkembangan UU ASN terkait wacana revisi UU ASN dan pengangkatan pegawai K2. Korpri tidak memberikan pandangan apapun terkait hal tersebut,” jelasnya saat membuka seminar nasional “Quo Vadis Korpri: Tantangan dan Arah Transformasi Korpri sebagai Organisasi Profesi,” di Aula Gedung A Lantai 8 Kantor LAN, Jakarta, Jumat (16/12/2016).
Hal senada juga dikemukakan Deputi Bidang Kajian Kebijakan LAN Muhammad Taufiq. Menurut dia, dalam usia Korpri yang sudah hampir setengah abad sekarang ini, sebenarnya banyak peran yang dapat dimainkan Korpri.
“Bila kedudukannya masih menjadi bagian dari organisasi pemerintah, maka akan sulit melepaskan Korpri dari intervensi pemerintah,” ujarnya.
Menurut dia, pemerintah harus berani menjadikan Korpri sebagai organisasi independen. Taufiq mencontohkan, bagaimana organisasi profesi pegawai pemerintah di negara lain seperti Inggris yang bersifat independen.
“Organisasi profesi pegawai pemerintah di Inggris berani bernegosiasi dengan pemerintah untuk memperjuangkan hak dan kesejahteraan para pegawainya. Mereka juga secara konsisten mengawal kebijakan-kebijakan di bidang kepegawaian. patut dicontoh oleh Korpri,” jelasnya.
Guru Besar Kebijakan Publik UGM Agus Dwiyanto mengatakan, agar kiprah Korpri berkembang, maka harus menjadi organisasi profesi sebagaimana UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. “Namun melihat latar belakang, struktur kelembagaan dan kepengurusan, hal itu sangat kecil kemungkinannya untuk terwujud,” kata dia.
Sementara itu, Ketua Umum Dewan Pimpinan Korpri Nasional Zudan Arif Fakrulloh menilai, kurangnya eksistensi Korpri di tengah ASN di Indonesia lantaran kurang aktifnya para pengurus di setiap Kementerian/Lembaga/Pemda.
“Hadir tidaknya Korpri itu tergantung dari keaktifan para pengurusnya di masing-masing satuan kerja. Kalau tidak aktif, ya tentu tidak terlihat kiprah dan gunanya bagi para pegawai negeri sipil,” ujarnya.
Karena pengurusnya tidak aktif, lanjut Zudan, maka PNS di kementerian/lembaga atau pemda tidak mampu merasakan eksistensinya Korpri. “Jadi kita harus jernih melihatnya. Persoalannya bukan terletak pada bentuk organisasinya, tetapi lebih pada keaktifan pengurusnya. Coba lihat Korpri yang aktif seperti di Kaltim, Jabar, Sumut, Gorontalo, Jatim, DKI Jakarta, dan masih banyak lagi provinsi yang aktif Balikpapan, Wajo, Bekasi. Di tingkat pusat seperti BKN, BNN, Kemendagri, Kemenpar keberadaannya sangat dirasakan oleh anggotanya,” Zudan menuturkan.
Zudan kemudian mencontohkan, bagaimana ia mengelola Korpri di seluruh Indonesia yang saat ini mulai berubah seperti Korpri Balikpapan, Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Gorontalo yang mampu membentuk Korpri Mart.
Selain itu, banyak pengurus Korpri daerah yang sudah membentuk Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum yang memberikan advokasi dan bantuan hukum bagi PNS yang tersandung kasus hukum, serta berbagai kegiatan sosial seperti pemberian santunan kematian, tali asih bagi yang pensiun, hadiah umroh, dan pemberian beasiswa bagi anak pegawai yang berprestasi.
Di tingkat nasional, juga sudah dibentuk LKBH Korpri untuk memberikan bantuan hukum maupun dibentuk Badan Pembina Olahraga (Bapor) untuk mendorong perkembangan olah raga Korpri. Agar lebih dinamis, dan untuk meningkatkan kesejahteraan telah dibangun Toko Online Korpri atau TokTok sebagai kekuatan ekonomi baru dari Korpri. Tak lupa program Gampang Umroh Bareng Korpri yang didukung 5 perbankan dan konsorsium 15 travel biro umroh dan haji untuk memudahkan anggota Korpri beribadah ke tanah suci.
Menyikapi usulan agar Korpri bersifat non kedinasan dan lepas dari pemerintah, Zudan justru mengkhawatirkan bahwa hal itu justru rawan ditunggangi kepentingan lain dan menjadikan PNS terkooptasi kepentingan politik. Sebab, akan banyak partai politik yang berkepentingan dengan posisi PNS sebagai penggerak negara dan pengelola APBN dan APBD. Hal ini wajar, mengingat jumlah keanggotaan Korpri dan keluarganya yang mencapai jutaan.
“Kalau bersifat non kedinasan, justru itu rawan dimanfaatkan partai politik dan akan menyebabkan perpecahan di kubu pemerintah. Sebab PNS-nya dapat dengan mudah ditarik-tarik oleh rezim atau partai politik di daerah dan di pusat yang sedang berkuasa,” tandasnya. (*)
LOGIN untuk mengomentari.