Harga cabai masih pedas! Ibu-ibu rumah tangga jadi pusing tiap belanja. Biasa beli sekilo, kini hanya mampu beli 1 ons. Jika kurang pedas, terpaksa dicampur cabai rawit. Celakanya, harga cabai rawit belakangan juga ikut-ikutan melejit.
Ibu-ibu harus pandai-pandai menvariasikan menu masakan agar belanja dapur tak tekor. Kalau hari ini ikan goreng balado, besok ayam kecap. Besoknya lagi gulai jengkol, pangek masin dan sebagainya. Bikin gulai tak perlu banyak cabai. Dicampur sedikit cabai rawit juga maknyus.
Lain lagi keluhan pengusaha rumah makan. Sejak cabai naik, mereka yang paling terpekik. Terjebak dalam dilema. Kalau pemakaian cabai seperti biasanya, sementara harga seporsi nasi tak naik tentu merugi. Jika cabai dikurangi takutnya pelanggan lari.
Sudah hampir dua bulan harga cabai mahal. Kalaupun turun hanya sedikit, kadang esoknya naik lagi. Tergantung stok. Terombang-ambing dipermainkan cuaca yang tak menentu. Sebelumnya sempat tembus Rp 80 ribu sampai Rp 100 ribu, pekan kemarin sudah turun ke Rp 60 ribu sekilo. Masih mahal.
Normalnya di kisaran Rp 25 ribu sekilo.Lantas apa upaya pemerintah daerah mengatasi persoalan ini? Nyaris tak ada! Cabai tidak seperti beras dan minyak goreng yang kalau langka bisa dilakukan operasi pasar. Cabai pun tak bisa diimpor dari luar negeri seperti beras Vietnam atau Thailand. Bukan juga seperti bawang yang bisa didatangkan dari India.
Cabai keriting berasa pedas tanaman khas Indonesia. Pengosumsinya pun lebih banyak orang Indonesia. Apalagi orang Minang. Belum berasa makan kalau tidak pakai cabai. Wajar, ketika cabai naik, warga Sumbar langsung memekik.
Pekikan itu kadang pura-pura tak didengar oleh pengambil kebijakan. Kalaupun ditanggapi, hanyalah klise yang tak memberi solusi nyata. Salah satu contohnya, ajakan Pemko Padang menanam cabai dalam polybag. Imbauan ini ditanggapi dingin saja oleh warga. “Mahalnya sekarang, disuruh nanam cabai sekarang, percuma!” cemooh sebagian besar warga.
Alhasil, nyaris tak terlihat warga menanam cabai dalam polybag di pekarangan rumah. Apalagi zaman sekarang, sukanya orang yang serba instan dan praktis. Menanam cabai dianggap ribet dan menghabiskan waktu. Mending beli saja.
Harapan seharusnya ditumpangkan kepada petani cabai lokal. Subsidilah petani untuk menggalakkan penanaman cabai. Sebab, menanam cabai butuh modal besar dan perawatan yang telaten. Dulunya Padang dan daerah lain di Sumbar adalah sentra cabai. Saat itu komoditi ini tak pernah didatangkan dari provinsi lain.
Era 90-an sampai 2000-an, ladang cabai petani di Padang mulai hilang. Tananam cabai sering keriting dan tak berbuah. Tak sebanding cost produksi dengan hasil panen. Kian parah sejak masuknya cabai dari luar daerah. Cabai, Kabanjahe Sumatera Utara, dan Kerinci Jambi mulai membanjiri Pasar Raya Padang. Belakangan masuk pula cabai dari Jawa. Cabai jawa kurang pedas, tapi orang Padang malah suka. Jadilah cabai ini jadi buruan ibu-ibu rumah tangga.
Cabai lokal (cabai Padang, Pariaman) tetap dicari. Cabai darek (cabai Bukittinggi, Agam, Solok, Limapuluh Kota) terkenal pedas punya penggemar kian terbatas. Namun ketika harga mahal, jangankan yang pedas, cabai busuk pun dibeli.
Tidak hanya kepada pemerintah daerah, para peneliti dan doktor pertanian diharap turun tangan. Jangan hanya duduk manis di menara gading dan memuseumkan ilmunya.
Aplikasikan dan dedikasilah skill untuk khalayak. Support-lah petani menanam cabai lagi. Jangan sampai pula petani China berladang cabai di negeri kita seperti kejadian di Bogor Jawa Barat baru-baru ini.
Pemerintah daerah harus mengalokasikan dan memprioritaskan anggaran untuk petani, terkhusus petani cabai. Minimal bantuan bibit unggul, pupuk dan pemberantas hama.
Jika tiap daerah di Sumbar jadi sentra cabai, dipastikan kebutuhan untuk Sumbar terpenuhi dan tak perlu lagi mendatangkan cabai dari luar. Kelangkaan cabai pun tak akan terjadi lagi. (*)
LOGIN untuk mengomentari.