“Seekor anjing yang sedang menggigit tulang, ada dua hal yang tidak bisa dilakukannya: menggonggong apalagi menggigit.”
Perumpamaan ini pernah ditulis Elliot di tahun 1997 yang diungkapkan oleh diktator Meksiko “Porfirio Diaz” yang berkuasa 35 tahun. Negeri sombrero ini mencatatkan sejarah kelam praktik korupsi. Saat berbicara dunia korupsi banyak sekali pandangan dan pendapat pakar hukum tentang sebab penyebab terjadinya korupsi. Tetapi, istilah korupsi politik hanya sedikit disinggung para pakar apalagi masyarakat biasa yang belum dapat memahami dan mengetahui antara hubungan partai politik dan korupsi.
Serupanya Soeharto Indonesia, bagaimana sang mantan Presiden dapat menggunakan kekuasaannya hampir tanpa batas 32 tahun, menggunakan pola politik dengan hasil tanpa koreksi dari lembaga legislatif bahkan setiap kali sidang umum MPR, para politisi beramai-ramai mengangkatnya kembali memimpin negeri ini. Nah sekarang, jika ini terulang, maka orang-orang bebas bisa menyebut politisi yang menjabat di legislatif sebagai wakil rakyat, tapi rakyat mengenalnya sebagai penguasa baru pelaku abuse of public trusted for private gain alias korupsi.
Setiap mendekati masa-masa pemilu, antara partai politik dan modus korupsi seolah hewan dan pengekangnya. Tatkala korupsi telah mewabah di kalangan politisi dalam partai politik, maka sesungguhnya telah terbentuk sistem korupsi yang resisten dengan sasaran merubuhkan rule of law, merusak fungsional sistem politik nasional hingga akhirnya menularkan korupsi hingga ke tingkat bawah.
Korupsi Politik
Istilah korupsi politik merupakan ranah baru khazanah peradilan, sebelumnya menghimpun dari berbagai bacaan dan pandangan ahli, Mochtar Lubis kelahiran Padang (1992) dalam bukunya Korupsi Politik 1993 dengan menyunting 7 pandangan ahli dunia, bahwa korupsi itu tanpa batas dan senantiasa muncul akibat dukungan dari kekuasaan yang tanpa batas pula, hingga menjadi darurat endemik seandainya suatu perwakilan dalam pemilihan umum itu lahirnya dari perkawinan korupsi dengan orang politik yang korup sebagai wajah korupsi politik.
Si pemilik kerasnya palu keadilan untuk para koruptor, Hakim Agung Artidjo Alkostar dalam tulisannya tentang telaah praktik korupsi politik dan penanggulangannya mengungkapkan, korupsi politik itu selalu berusaha untuk mempertahankan dan memperpanjang penyalahgunaan kekuasaan dan kebutuhan terhadap tatanan sosio politis membutuhkan peran kontrol yang seimbang dalam pelaksanaan kekuasaan. Situasi korupsi seperti ini menunjukkan dampak yang luas dibandingkan korupsi yang dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki kekuasaan. Dan sudah pasti kiranya, korupsi politik berhubungan dengan pelanggaran HAM oleh kepala pemerintahan karena korupsi politik sangat erat kaitannya dengan mempertahankan atau melangsungkan kekuasaan.
Si hakim pun pernah menuliskan kata “Korupsi Politik” dalam putusan tingkat kasasi kasus mantan Bupati Karanganyar, Jawa Tengah Rina Iriani Sri Ratnaningsih, korupsi dengan modus menyalahgunakan anggaran subsidi perumahan dari Kementrian Perumahan Rakyat dengan kejahatan pencucian uang yang berlanjut dengan hukuman 12 tahun penjara atau 2 tahun di atas tuntutan jaksa. Si hakim dkk menyebutkan rumusan korupsi politik yaitu korupsi yang dilakukan pejabat publik dan uang hasil kejahatannya dialirkan untuk kegiatan politik. Karena Rina menggunaakan anggaran tersebut membuat Rina Center dan tim ini pula yang membawanya sebagi Bupati Karang Anyar. Ternyata tak lama berselang, kejahatan korupsi politik juga dijatuhkan pada Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq yang tadinya 16 tahun menjadi 18 tahun penjara dengan menyebut korupsi politiknya adalah perbuatan yang dilakukan pejabat publik yang memegang kekuasaan politik tetapi kekuasaan politik itu digunakan sebagai alat kejahatan.
Artinya putusan ini suatu saat akan menjadi sumber hukum yang dapat menggambarkan bagaimana politik dan hukum ibarat lokomotif dan gerbong kereta api.
Dinamikanya Partai Politik Korupsi
Sekarang di Indonesia jika orang berbicara mengenai korupsi, pasti yang dipikirkan hanya perbuatan jahat menyangkut keuangan negara dan suap. Andi Hamzah dalam bukunya Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional mengungkapkan, Pendekatan yang dapat dilakukan terhadap masalah korupsi bermacam ragamnya, dan artinya. Pendekatan sosiologis misalnya, seperti halnya yang dilakukan oleh Syed Hussein Alatas dalam bukunya The Sociology of Corruptioon, akan lain artinya kalau kita melakukan pendekatan normatif tentang korupsi; begitu pula dengan politik ataupun ekonomi. Misalnya Alatas memasukan “nepotisme” dalam kelompok korupsi, dalam klasifikasinya (memasang keluarga atau teman pada posisi pemerintahan tanpa memenuhi persyaratan untuk itu), yang tentunya hal seperti itu sukar dicari normanya dalam hukum pidana. Lalu bagaimana dapat dimintai pertanggungjawaban pidananya.
Gambaran deretan politisi hingga kepala daerah yang “mondok” di KPK kian menunjukkan bagaimana korupsi berkembang biak. Dahulu di era Orde Baru, korupsi tersentralisasi di Jakarta, terpusat pada eksekutif, dengan desentralisasi dan otonomi, maka terdesentralisasi pula korupsi, bukan hanya pada eksekutif, melainkan legislatif.
Tidak banyak hakim di republik ini yang melihat bahwa korupsi yang melibatkan para politisi adalah karena sistem politik yang salah. Sistem seperti ini menciptakan biaya yang begitu tinggi sehingga tindakan-tindakan untuk mengembalikan biaya politik yang sudah dikeluarkan. Buktinya ada hakim yang tidak memberikan putusan pencabutan hak politik. Dan kembalilah rakyat tertipu tidak tahu orang ini sudah cacat dan masih ada kekuasaannya di dalam partai politik.
Pada tanggal 29 Desember 2016, telah diundangkan Peraturan Mahkamah Agung tentang tatacara penanganan tindak pidana korporasi (PERMA No. 13 tahun 2016). Saatnya negara hadir di tengah rakyat melindungi dari badan hukum yang berkorupsi politik, penegak hukum yang berani adalah modal Indonesia sebagai negara hukum! (*)
LOGIN untuk mengomentari.