in

Mama, Guru Pertama dan Utama bagi Anak

Oleh: Nazarullah ZA, S.Ag, M.Pd *

Kehancuran sebuah negara biasanya diawali oleh kurangnya kepedulian orang tua terhadap pendidikan anak dalam rumah tangga. Orang tua merasa bebannya sudah ringan, di saat anak-anaknya dititip di lembaga pendidikan. Pemikiran semacam ini sebenarnya sangatlah salah. Memasukkan anak ke sekolah bukan berarti tugas dan kewajiban orang tua terhadap pendidikan anak telah gugur.

Peran rumah tangga dalam membentuk akhlak/karakter anak sangatlah menentukan. Sentuhan lembut orang tua dalam membimbing anak-anak sangat berpengaruh terhadap tingkah anak, walaupun anak tersebut sudah dititipkan ke sebuah lembaga pendidikan ternama sekalipun.

Kenapa dengan keluarga? Dalam keluarga ada orang tua, ada ayah dan juga ada yang namanya ibu. Ibu adalah guru pertama bagi anak-anak bangsa. Peran ibu terhadap pendidikan seorang anak tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Karena, kekuatan (imun) seorang anak, dimulai dari peran ibu dalam mendidik dan membentuk mereka.

Oleh karena itu, ibu dalam rumah tangga tidak bisa kita sematkan argumen bahwa: ‘Perempuan (ibu) itu makhluk lemah”. Ingat, kekuatan seorang ibu itu melebihi dari kekuatan ayah. Betapa tidak, tangannya boleh di ayunan, tapi anak dalam ayunan dan berkat bimbingan ibu, suatu saat nanti akan bisa menggoncang dunia.

Kalau begitu, “Education of Mama” atau pendidikan yang diberikan ibu, sangat berpengaruh terhadap watak dan perilaku anak-anak bangsa ke depan. Diakui atau tidak, peran ibu sebagai pendidik pertama dan utama dalam rumah tangga saat ini sudah mulai pudar, seiring dengan kesibukan ibu-ibu di luar rumah. Sepulang sekolah, anak-anak banyak menghabiskan waktu bermain atau belajar, hanya didampingi oleh pembantu.

Kemana ibu mereka? Ibu mereka masih berada di luar rumah untuk bekerja, mengejar karir di bank, pada perusahaan atau pada pemerintah, dan ibu baru akan pulang ke rumah menjelang sore atau malam hari. Pada malam hari terkadang masih pergi lagi untuk ikut meeting. Duh!

Kalau hal semacam ini terus menerus terjadi, bukan tidak mungkin, suatu saat nanti anak-anak indonesia akan tumbuh menjadi anak yang nakal, anak yang kurang bimbingan dan kurang tata krama yang disebabkan oeh kurangnya perhatian orang tua.

Saya punya mimpi besar, untuk Aceh ke depan, sebagai daerah yang bersyari’ah, perempuan yang bekerja di luar rumah, baik di pemerintahan ataupun di perusahaan swasta, pemerintah dengan di dukung para alim ulama, mestinya membuat Qanun khusus, bahwa perempuan Aceh boleh bekerja hanya “Part Time”.

Ibu-ibu di Aceh yang bekerja, profesi apapun itu, setelah Dhuhur tidak diperkenankan lagi kembali ke tempat kerja. Apa juga yang harus mereka lakukan? Kerja mereka berikutnya adalah menyambut kepulangan buah hatinya (anaknya), menemani makan siang sambil diskusi ringan tentang pembelajaran di sekolah, dan setelah itu. Bila anaknya ada PR, ibunya yang akan membimbing mereka. Dan bila anaknya ada pelajaran tambahan di sekolah, maka ibunya yang akan mengantarkannya.

Betapa bahagianya hati seorang anak, saat pulang sekolah, yang menyambutnya bukanlah pembantu rumah tangga, Tapi yang menyambut mereka saat pulang dari sekolah adalah ibunda tercinta. Kebahagiaan ini tidak bisa diukir dengan kata-kata, tapi hanya akan dapat dirasakan saat anak-anak tumbuh santun di suatu ketika.

Saat sang suami kembali ke kantor setelah makan siang karena kewajiban mereka sebagai abdi negara atau bekerja di perusahaan, maka kewajiban istri setelah siang yang diatur dalam Qanun Aceh adalah membentuk generasi Aceh terbaik ke depan. Artinya, ibu-ibu hanya wajib bekerja di luar rumah separuh hari saja (Part Time). Separuh harinya lagi, wajib bersama anak-anaknya.

Duhai, andai ini bisa dijalankan oleh Gubernur Aceh sekarang (Bapak Irwandi-Nova) sebagai Gubernur pilihan rakyat Aceh, bukan tidak mungkin, krisis moral dan krisis akhlak anak-anak Aceh akan ada solusinya. Kehancuran suatu bangsa diawali oleh kehancuran akhkak generasinya. Krisis suatu Negara, biasanya diawali oleh krisis moral bangsanya. Untuk meredam krisis akhlak dan krisis Moral Bangsa Aceh ke depan, kita percayakan kepada ibu-ibu dengan menjadikan rumah tangga sebagai Madrasah/Sekolah Utama bagi anak-anak Aceh.

Bukalah pintu rumah lebar-lebar, Bukalah Jendela, lihatlah ke luar rumah, apa yang sedang anak-anak kita dan pemuda kita lakukan saat ini. Narkoba mengintai, tawuran di mana-mana. Akibat jauh dari bimbingan orang tua, karena tidak ada yang peduli saat pulang sekolah, anak-anak kita mencari kesibukan lain di Warnet dengan bermain Game Online. Mendatangi tempat-tempat yang bisa main Play Station. Sekali lagi, Saat mereka pulang sekolah, ke mana ibu mereka? Siapa yang menemani mereka makan siang sambil bercengkrama?

Ibu, anak-anak mu butuh kasih sayang. Ibu, anak-anak mu butuh teman bermain, bercerita dan berbagi pengalaman. Waktu anak-anak mu pulang sekolah, Terutama yang masih SD/MI saat itu, di manakah engkau ibu? Anak-anak pulang sekolah terkesan sudah bebas, sudah “merdeka” dari aturan di siplin yang mengikat mereka sejak dari jam 08.00 Pagi. Sehingga tanpa pengawasan ibu, mereka bisa melakukan apa saja, tanpa ada yang membimbing pasca pulang dari sekolah mereka.

Bapak Gubernur, Fungsikan ibu sebagai pendidik dalam rumah tangga, apapun profesi mereka. Berikan aturan Kerja separuh hari kepada ibu-ibu demi anak bangsa. Bebaskan tugas ibu-ibu bekerja di malam hari. Biarkan malam hari hanya pekerja laki-laki saja yang ada di tempat kerja kecuali kerja medis bidang Persalinan yang sifatnya mungkin Emergency. Anak-anak Aceh, butuh kasih sayang dan bimbingan dari ibu-ibu mereka. Betapa banyak Generasi kita hancur saat ini, karena mereka mencari kasih sayang di luar rumah. Ibu, bimbing kami, manjakan kami dalam pelukan kasih sayang mu ibu. Uang yang banyak dari hasil ibu bekerja sampai malam hari, tidak bermakna bagi ibu, jika kami menjadi anak-anak yang krisis Moral, bila kami menjadi anak yang “nakal’. Bila kami suatu saat menjadi Generasi Aceh yang Hancur Akhlak, untuk siapa Aceh ini akan diwariskan Ibu?

*Penulis adalah Widyaiswara pada Balai Diklat Keagamaan Aceh dan Alumni Ma’had Al-Furqan Bambi, Pidie.

Komentar

What do you think?

Written by virgo

Segelas Kopi NasDem untuk Sama Indra

Usaha Keras Indonesia Tingkatkan EODB Dinilai Positif Bank Dunia