Jakarta (ANTARA News) – Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) menilai publik cukup kritis menanggapi hoax, atau berita bohong, berdasarkan survei Wabah Hoax Nasional yang mereka adakan bulan ini.
“Berita baiknya, terlihat masyarakat cukup kritis,” kata Ketua Umum Mastel Kristiono, saat jumpa pers di Jakarta, Senin.
Survei terhadap 1.116 responden menunjukkan 83,2 persen mengaku memeriksa kebenaran ketika mendapatkan informasi yang menghebohkan 15,9 persen menghapusnya dan hanya 1 persen yang meneruskannya.
83 persen responden memeriksa kebenaran informasi tersebut dengan bantuan mesin pencari di internet, 48, 6 persen bertanya ke orang yang dianggap tahu, 44,3 persen mengecek di media massa dan 36,8 persen mengecek di media sosial.
Mereka mencurigai informasi tersebut tidak benar bila sumber tidak jelas (54,1 persen), informasi dirasa aneh (28,9 persen), tidak ada di media massa (8,5 persen) dan terlalu sempurna untuk menjadi kenyataan, too good to be true (8,4 persen).
Hanya 28 persen yang langsung mengetahui berita tersebut adalah hoax, 18 persen tidak tahu dan 54 persen menyatakan ragu.
Mereka tahu berita tersebut adalah hoax melalui klarifikasi yang beredar di media sosial (31,9 persen), klarifikasi di media massa (29,1 persen), teman atau sumber terpercaya (29,1 persen) dan mengetahui yang sebenarnya (14,4 persen).
Sementara itu, dari 1 persen orang yang menyebarkan hoax, menurut Ketua Bidang Kebijakan Strategis Mastel Teguh Prasetya, mereka membuatnya viral tanpa mengecek keabsahan informasi.
Menurut survei tersebut, motivasi menyebarkan hoax adalah karena informasi berasal dari orang yang terpercaya (47,1 persen), mengira informasi bermanfaat (31,9 persen), mengira informasi benar (18 persen) dan hanya 3 persen yang ingin menjadi yang pertama menyebarkan informasi.
Survei tersebut juga menunjukkan persepsi masyarakat masih beragam dalam mengartikan hoax, meskipun 90,3 persen responden menjawab hoax adalah berita bohong yang disengaja.
Menurut Teguh, masih ada masyarakat yang menjawab hoax adalah berita yang menghasut (61,6 persen), berita yang tidak akurat (59 persen), berita ramalan atau fiksi ilmiah (14 persen), berita yang menyudutkan pemerintah (12 persen) dan berita yang tidak disukai (3 persen).
Editor: Ida Nurcahyani
COPYRIGHT © ANTARA 2017