Strategi Pembangunan – Fokuskan Infrastruktur untuk Angkat Kelompok Rentan Miskin
Penduduk yang hidup aman atau berkecukupan tidak lebih dari 30 persen.
Agresif kejar infrastruktur, defisit APBN bisa melebihi batas aman.
JAKARTA – Mayoritas penduduk Indonesia atau sekitar 70 persen, berdasarkan kriteria kemiskinan Bank Dunia, belum aman dari kemiskinan. Dengan demikian, dari sekitar 255 juta penduduk, tidak lebih dari 30 persen yang betul-betul hidup aman atau berkecukupan.
Hal itu dikemukakan oleh ekonom senior, Faisal Basri, di Jakarta, Senin (16/10). Menurut Faisal, mengacu pada data Bank Dunia, jumlah penduduk sangat miskin (extreme poor) dan miskin sedang (moderate poor) turun signifikan dalam satu dasawarsa terakhir, namun penurunannya kian melambat.
Sementara itu, persentase penduduk yang telah keluar dari kemiskinan, tetapi kehidupannya masih rentan (vulnerable poor) sehingga bisa kembali ke kubangan kemiskinan, mengalami peningkatan.
“Jadi ada extreme poor, moderate poor, dan vulnerable poor, dan ada secure group (kelompok aman), dan ada middle class (kelas menengah). Extreme poor, moderate, dan vulnerable itu jumlahnya 70 persen,” ungkap dia.
Memang, lanjut Faisal, jumlah masyarakat miskin turun, tapi yang vulnerable poor itu tidak turun-turun. “Jadi, dia tidak miskin tapi rentan. Kalau ada apa-apa, jatuh dia ke kemiskinan,” kata dia.
Bank Dunia mengelompokkan kemiskinan berdasarkan purchasing power parity (PPP) atau paritas daya beli per hari, sebagai berikut: kelas menengah dengan PPP sebesar 15 dollar AS (sekitar 202.500 rupiah) atau lebih, kelompok aman secara ekonomi (PPP 5,5–15 dollar AS),
rentan miskin (PPP 3,1–5,5 dollar AS), miskin sedang (PPP 1,9–3,1 dollar AS), dan sangat miskin (PPP kurang dari 1,9 dollar AS atau 25.650 rupiah)
Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin di Indonesia per Maret 2017 mencapai 27,77 juta orang atau sekitar 10,64 persen dari total penduduk. Jumlah itu naik 6.900 orang dibandingkan September 2016 yang sebanyak 27,76 juta orang atau 10,70 persen dari total penduduk.
Faisal mengakui saat ini angka kemiskinan di Indonesia mulai menurun. Namun, yang perlu menjadi perhatian adalah masyarakat yang rentan miskin masih stagnan dan tidak mengalami penurunan.
“Pembangunan infrastruktur yang masif ada baiknya lebih menitikberatkan pada upaya percepatan mengurangi jumlah penduduk yang kehidupannya masih rentan ini,” ujar dia.
Solusi mengatasi kemiskinan itu, kata Faisal, bukanlah pembangunan infrastruktur seperti jalan tol yang dibangun pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Namun, infrastruktur di perdesaan yang bisa meningkatkan produktivitas petani.
“Jadi itu (masyarakat rentan miskin) solusinya bukan jalan tol, tapi infrastruktur di desa, bagaimana meningkatkan produktivitas tani, mengurangkan ongkos angkut produk pertanian. Jadi infrastruktur desa, pembangunan masyarakat desa,” tukas dia.
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia, Ari Kuncoro, menambahkan pembangunan sektor pertanian berpotensi mendorong kelas menengah untuk meningkatkan konsumsi, apabila dikemas lebih menarik. “Jadi, Indonesia itu kekuatannya pada pertanian itu, tapi jangan hanya fokus berasnya, melainkan nilai tambahnya,” kata dia.
Krisis Kecil
Faisal mengingatkan Indonesia akan menghadapi krisis kecil apabila pemerintah terus melanjutkan pembangunan infrastruktur.
Bila pemerintah tetap ngotot dan menghabiskan dana APBN untuk infrastruktur, kemungkinan besar defisit bakal pecah melebihi ambang batas 3 persen dari produk domestik bruto (PDB).
“Dan itu nggak boleh. Jadi lama-lama melihat, Indonesia bahaya ini melanggar undang-undang,” kata dia.
Alasannya, lanjut dia, pendapatan negara, terutama dari penerimaan negara kemungkinan tidak mencapai target, sehingga belanja pemerintah mesti dipangkas agar defisit APBN tidak membengkak melebihi ketentuan.
Penerimaan pajak hingga September 2017 baru mencapai 60 persen dari target yang ditetapkan dalam APBN-P 2017 sebesar 1.283 triliun rupiah.
Oleh karena itu, Faisal mengingatkan agar pemerintah segera mengumumkan penundaan proyek infrastruktur sebelum November 2017. Dia meminta agar Presiden mempertimbangkan risiko yang lebih tinggi.
“Coba kalau krisis terjadi, rupiah ke 14.000 per dollar AS, pertumbuhan ekonomi lebih rendah, pengangguran naik. Ini kan lebih nggak populer,” papar dia. ahm/WP