in

Melahirkan Barista-barista Andal dari Balik Rutan Cipinang

Racikan Kopinya Pernah Dipuji Menteri Yasonna 

Sudah sekitar seratus warga binaan dididik jadi barista di Jeera Coffee House yang terletak di Rutan Cipinang. Berkat keterampilan mereka, kedai kopi itu berkembang hingga bisa membuka cabang.

DI kedai yang belum sepenuhnya tertata itu, Muhammad Toha tampak sibuk. Menata dengan hati-hati berbagai peralatan kopi. 
Ada grinder, French press, moka pot, v60, Vietnam drip dan teko air. Setelah semuanya rapi, dia mulai mengambil biji kopi. Memasukkannya ke grinder untuk digiling jadi bubuk kopi. 

Pada Rabu siang pekan lalu itu (26/7), kedai kopi tersebut memang belum beroperasi lagi. Lantaran baru selesai direnovasi seminggu. Tapi, di hadapan koran ini dan petugas rutan yang mendampingi, Toha tetap dengan cekatan memperlihatkan keterampilannya sebagai barista. ”House blend kami 50 Jawa dan 50 Sumatera. Perpaduan robusta dan arabika,” ujar mantan pegawai bank itu.

Menjadi barista di Jeera Coffee House, kedai kopi di sudut sebelah wihara kompleks Rutan Kelas I Cipinang, tak ubahnya sebuah kesempatan kedua baginya. Bekal bagi hidupnya kelak setelah selesai menjalani 6,5 tahun penjara karena kasus narkoba. 

Rajes Khanwar bahkan sudah merasakan langsung bagaimana Jeera yang konsumennya narapidana, tahanan, dan petugas di Rutan Cipinang mengubah hidupnya. Bebas dari Cipinang pada Ramadhan lalu, mantan terpidana kasus penganiayaan tersebut kini bekerja di cabang Jeera Coffee House di Kantor Imigrasi Jakarta Barat. 

”Tak pernah terbayangkan saya bakal seperti sekarang ini. Menyajikan kopi enak, jauh dari kehidupan yang penuh kekerasan seperti dulu,” kata Rajes yang dipenjara 1 tahun 6 bulan. 

Rommy Redono, leader Jeera, menjelaskan, Jeera Coffee House yang berdiri sejak setahun lalu memang dihadirkan untuk memberikan kesempatan kedua bagi para warga binaan. ”Kesempatan kedua untuk mereka bisa menjalani hidup dengan baik di masyarakat,” kata Rommy yang pernah bekerja di bagian pemasaran Saudi Airlines.

Kepala Rutan Kelas I Cipinang Asep Sutandar menambahkan, selama ini banyak sekali warga binaan yang tidak tahu harus berbuat apa setelah bebas. Tidak jarang mereka yang sudah bebas kembali mendekam di bui. Karena tidak punya skill dan akhirnya melakukan tindak kejahatan lagi.

Kendati sekarang sudah dibilang maju, Jeera dulu sempat mendapat tentangan. Asep berkisah, rutan yang umumnya dihuni para terdakwa yang sedang menjalani sidang tersebut dinilai tidak memerlukan pelatihan-pelatihan semacam itu. Toh, para terdakwa tidak punya kewajiban untuk bekerja.

”Tapi, pada kenyataannya, rutan ini juga dihuni para narapidana yang sudah inkracht. Mereka dipindahkan ke sini karena LP sudah kepenuhan,” terang Asep.

Sebelum kopi, lanjut Asep, Jeera berawal dari kerajinan kulit. Kebetulan, pada saat itu ada warga binaan yang memiliki kemampuan membuat kerajinan kulit. Berupa tas dan aksesori. Dari situ Jeera kemudian berkembang sampai ke kopi.
Kebetulan juga, ada pihak ketiga yang membantu, yakni Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI). ”Mereka bersama mitra-mitranya membantu kami membangun kafe ini. Semua peralatan mereka sediakan,” beber Asep.

Tidak sebatas peralatan, KNPI juga menghadirkan barista-barista andal untuk melatih para warga binaan. ”Pelatihan ini dilakukan agar saat bebas nanti, tenaga mereka dapat dimanfaatkan. Bisa bekerja sebagai barista atau membuka usaha kopi,” jelasnya.

Skill para barista dalam mengolah kopi, lanjut Asep, tidak bisa dipandang sebelah mata. Kopi buatan mereka tidak kalah dengan kopi mahal. ”Pak Menteri (Yasonna Laoly, menteri hukum dan hak asasi manusia, red) yang hobi kopi juga pernah mencicipi kopi di sini. Dan dia bilang tidak kalah (dengan kopi di kafe-kafe luar rutan),” cerita Asep.

Rabu siang lalu itu, Toha juga memperlihatkan keterampilannya menyiapkan Yellow Black dan Paradise. Keduanya menu favorit di Jeera Coffee House. Dua menu tersebut menggunakan double shot espresso yang dicampur dengan susu, gula aren, gula pasir, dan sirup karamel. 

Namun, komposisinya agak berbeda. Cara mencampurnya pun agak berbeda. Sehingga menghasilkan rasa yang juga berbeda. ”Kalau Paradise ini lebih strong dan bikin melek. Kalau mau minum ini harus makan dulu. Nah, yang Yellow Black lebih light,” ungkap pria 37 tahun itu.

Dengan modal skill mumpuni para warga binaan sebagai barista tersebut, Jeera Coffee House pun mulai mengembangkan sayap. Kantor Imigrasi Jakarta Barat di kawasan kota tua jadi cabang pertama. 

Rajes yang sudah dua bulan bekerja di sana mengatakan, sambutan masyarakat begitu baik. Mereka memuji rasa kopi Jeera. Sekaligus memuji konsep Jeera yang memberikan kesempatan kedua bagi para warga binaan untuk mengembangkan skill. ”Beberapa kafe di luar juga sudah siap menampung para barista ini setelah masa tahanan mereka berakhir,” tambah Asep.

Mendapat sambutan yang begitu baik membuat Rommy senang bukan main. Artinya, konsep Jeera sudah bisa masuk ke masyarakat. ”Awalnya kami memilih kopi adalah karena kopi sudah jadi lifestyle di masyarakat kita,” ungkap pria yang berprofesi DJ (disc jockey) itu.

Di luar lini bisnis kopi, Jeera juga konsisten mengembangkan kerajinan kulit untuk fashion. Rommy membeberkan, Jeera sudah bekerja sama dengan sekolah desain di Amerika Serikat. Mereka tertarik dengan produk tas Jeera yang berkualitas dan dikerjakan para warga binaan.

Dari Jeera di Cipinang, Toha juga tahu apa yang akan dilakukannya setelah bebas. Membuat kedai kopi yang enak dan murah. Sebab, dia ingin sekali menepis anggapan bahwa kopi enak itu pasti mahal. 

Di kafenya kelak Toha ingin menjual kopi berkualitas dengan harga merakyat. ”Ingin bikin di kawasan Gading Serpong. Tidak jauh dari tempat tinggal saya,” kata Toha.

Begitu pula Rajes. Di akan memanfaatkan betul kesempatan bekerja di Jeera di Kantor Imigrasi Jakarta Barat untuk menambah ilmu sebagai barista. ”Nantinya ingin juga bantu teman yang punya kedai kopi,” ucap pemuda 23 tahun asal Bengkulu itu. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Stok Garam di Sumbar Aman

Pendaftaran CPNS Mulai Siang Ini