in

Melawan Hoax, Membongkar Kepalsuan

Hoax sepertinya telah menjadi tren di pengujung tahun 2016 ini di Indonesia. Bagaimana tidak, hampir setiap postingan di media sosial memperbincangkan masalah hoax. Apa sebenarnya hoax itu? Dalam kamus bahasa Inggris-Indonesia, hoax sama dengan berita palsu. 

Wikipedia menjelaskan hoax sebagai usaha untuk menipu atau mengakali pembaca/pendengarnya untuk mempercayai sesuatu, padahal si pencipta berita palsu menyadari bahwa berita tersebut adalah palsu. 

Untuk memudahkan penyebutan, selanjutnya istilah hoax disebut saja dengan pemberitaan palsu. Dalam pemberitaan palsu, pembaca/pendengar secara tidak sadar telah dibohongi, sehingga percaya begitu saja dengan apa yang dibuat oleh si pembuat berita palsu. 

Hukum di Indonesia menyebut pemberitaan palsu sebagai berita bohong. Berita yang memuat informasi yang tidak benar dan tidak jelas sumbernya. Terkait dengan berita bohong ini setidaknya selain dilarang dalam Pasal 171 KUHP (pasal ini dihapuskan berdasarkan UU No 1 Tahun 1946), juga dilarang dalam Pasal XIV UU No 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana. 

Pasal XIV ayat (1) menyatakan, “Barang siapa dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya 10 (sepuluh) tahun. 

Siapa yang bisa disasar oleh ketentuan Pasal XIV UU No 1 Tahun 1946 tersebut? Setiap orang yang menyiarkan atau menerbitkan informasi/berita berisi kebohongan yang dapat menimbulkan kerusuhan. Terhadap orang yang dituduhkan melakukan tindak pidana sebagaimana disebut dalam pasal ini, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 tahun. 

Keberadaan Undang-Undang ini memberikan gambaran kepada publik, bahwa jauh sebelum UU ITE disahkan, ternyata sudah ada aturan yang tegas terhadap penyebaran berita bohong. Namun pertanyaannya apakah Undang-Undang ini dilaksanakan secara baik? Inilah problemnya.

Dalam catatan kelam kemerdekaan pers, Pasal XIV UU No 1 Tahun 1946 pernah dipakai penegak hukum untuk menjerat Bambang Harimurti (BHM), Pemred Majalah Tempo pada tahun 2003. Terkait aduan Tomy Winata atas pemberitaan Majalah Tempo edisi 3/9 Maret 2003 dengan judul “Ada Tomy di Tenabang”.

BHM pada akhirnya divonis bebas oleh Mahkamah Agung. Menjerat media yang jelas dan sesuai dengan UU Pers, tentu suatu kesalahan dan kekeliruan, karena terhadap media pers yang jelas, dilindungi Undang-Undang. 

Jika melihat rumusan pasal, yang disasar bukanlah media pers yang jelas, melainkan media abal-abal yang memberitakan kebohongan. Namun hingga saat ini, belum pernah ada kabar berita media abal-abal yang dijerat dengan UU tersebut.

Pasal XIV UU No 1 Tahun 1946 jika ditelisik lebih jauh, sebenarnya sama dengan Pasal 28 Ayat (1) dan (2) UU ITE. Pasal yang booming pasca disahkannya revisi UU ITE. Pasal 28 UU ITE juga menyasar orang dan badan hukum yang menyebarkan berita bohong yang menyesatkan konsumen dan dapat menimbulkan kebencian dan permusuhan. 

Dengan kata lain, tidak ada pun pasal 28 UU ITE, sebenarnya jika penegak hukum sedari awal berniat untuk menyelesaikan masalah pemberitaan bohong, dapat saja mengefektifkan pemberlakuan Pasal XIV UU No 1 Tahun 1946 tersebut.

***

Banyak website yang terang-terangan mengaku sebagai media berita, dan sayangnya banyak pula pembaca yang mendukung pernyataan tersebut. Bahkan dengan sadar ikut menyebarluaskan informasi yang dibuat dalam website tersebut. Padahal, tidak semua website bisa disebut sebagai media berita. 

Ada syarat-syarat yang harus dipenuhi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan peraturan Dewan Pers. Media berita (online dan cetak) haruslah dikelola oleh perusahaan yang berbadan hukum yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan atau menyalurkan informasi. Sebagai perusahaan pers, harus memiliki wartawan yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik, berupa mencari, memperoleh informasi yang selanjutkan akan disebarluaskan oleh perusahaan pers. 

Ketika sudah berbadan hukum dan memiliki wartawan, apakah lantas perusahan tersebut bisa menjadi perusahaan pers? Belum. Perusahaan tersebut harus mendapatkan pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM atau instansi yang berwenang, memiliki modal dasar sekurang-kuranganya Rp 50 juta, dan memiliki kemampuan finansial untuk menjalankan kegiatan perusahaan secara teratur sekurang-kurangnya selama enam bulan. 

Lalu lulus verifikasi oleh organisasi perusahaan pers dan terdaftar tentunya di Dewan Pers. Sebagai perusahan pers, wajib hukumnya mengumumkan nama, alamat, dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan, dan sebagai media berita siber, harus tunduk dan patuh pada pemberitaan media siber. 

Tidak bisa sakalamak hati awak surang. Sebagai perusahaan tidak haram bagi perusahaan pers mencari keuntungan, namun tetap mendahulukan fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial.

Adalah curang jika ada website mengaku-ngaku sebagai media berita siber, mencari keuntungan dengan cara meng-copy paste berita dari media lain, tanpa pemberitahuan apalagi izin, ditambah lagi mengganti judul. Namun hal ini yang banyak terjadi hari ini, tidak sedikit pengelola website yang melakukan perbuatan curang tersebut.

Parahnya, demi tujuan keuntungan semata, berita-berita itu dipelintir, sehingga menimbulkan arti keliru. Selain merupakan perbuatan curang, jelas ini tindak pidana, mulai dari tindak pidana terhadap karya intelektual, hingga menebarkan berita bohong. 

Pembuat berita abal-abal nan bohong serta diselimuti dengan kata-kata menyampaikan berita secara independen dan apa adanya ini, tidak sadar bahwa perusahaan pers yang beritanya di-copy paste tersebut mengeluarkan sejumlah uang untuk menggaji wartawannya. Sedangkan mereka dengan enaknya sambil duduk minum kopi, mengambil berita milik orang lain, dan memperoleh keuntungan. Kasarnya, kalau berusaha, berusahalah dengan halal. Toh seluruh ajaran agama mengajarkan kita seperti itu. 

Sudah saatnya para penikmat berita dan menikmat media sosial menjadi lebih cerdas. Bacalah berita dari sumber yang benar, yang berimbang, yang memenuhi kaedah jurnalistik dan ditulis oleh media yang benar pula. Jangan pula main asal menyebarluaskan berita yang tidak jelas sumbernya, apalagi mengandung unsur-unsur bohong, bukannya mendapat pahala, yang ada bisa-bisa berakhir di penjara. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Kisah-kisah Pilu di Balik Musibah Gempa Pidie Jaya, Aceh 2/Habis

KPK bakal Periksa Setya Novanto