Ngomel-ngomel Bangga Lewati Dua Sisi Stelvio
Italia mengklaim punya tanjakan-tanjakan terindah di dunia. Setelah mengunjungi Pegunungan Dolomites dan Italian Alps dalam seminggu terakhir, sulit untuk membantah klaim tersebut. Kalau beruntung punya kesempatan ke Italia, coba hindari kota-kota besarnya. Pergilah ke dua kawasan pegunungan yang luar biasa.
Yang pertama Dolomites, bisa dicapai lewat jalan darat, tiga jam dari Venice (Venezia). Yang kedua Italian Alps, tepatnya Kota Bormio, yang bisa ditempuh jalan darat tiga jam dari Milan.
Tidak harus hobi cycling. Asal suka alam, keduanya mampu memberikan kesan mendalam. Mengagumkan, menakjubkan. Dan dua kawasan itu memang kawasan wisata dahsyat. Silakan googling. Ada banyak kegiatan bisa dilakukan, musim dingin maupun musim panas.
Kebetulan saya hobi cycling, dan bersama sejumlah saudara dan sahabat dari Indonesia telah menikmati siksaan tanjakan di dua kawasan tersebut. Di kawasan Dolomites, kami ikut ajang gran fondo terbesar di dunia, Maratona dles Dolomites. Mencoba menaklukkan 138 km jarak dan 4.230 meter climbing dalam waktu sembilan jam.
Kemudian, kami ke kawasan Italian Alps, dekat perbatasan Swiss. Menetap di Kota Bormio, kami menjajal tiga tanjakan legendaris –dan super menyiksa– di sana.
Tidak terasa, dalam delapan hari, kami bersepeda enam hari. Total menempuh jarak hampir 500 km, menanjak total lebih dari 14 ribu meter! Dan selama enam hari itu, kami telah menaklukkan enam tanjakan “Cima Coppi”, plus satu lagi tanjakan yang masuk kategori terberat di Eropa.
“Cima Coppi” merupakan gelar yang diperkenalkan lewat ajang cycling profesional. Namanya diambil dari Fausto Coppi, salah seorang pebalap legendaris Italia.
Istilah “Cima Coppi” setiap tahun diberikan untuk tanjakan dengan elevasi tertinggi di Giro d’Italia, ajang balap yang banyak disebut lebih menakjubkan dari Tour de France. Slogan Giro d’Italia pula yang mengklaim Italia punya pegunungan lebih indah: “The hardest race in the most beautiful place”. Dan memang sulit untuk membantahnya!
Karena rute lomba setiap tahun bisa berubah-ubah, tanjakan yang menjadi Cima Coppi juga bisa berganti-ganti. Tapi, semuanya adalah tanjakan yang melewati ketinggian lebih dari 2.000 meter.
Di Dolomites, kami merasakan empat Cima Coppi. Ada Passo Sella (2.244 m), Passo Pordoi (2.239 m), Passo Giau (2.236 m), dan Passo Valparolla (2.200 m). Kebetulan empat-empatnya dilahap dalam sehari, ya saat event Maratona dles Dolomites 2 Juli lalu (sakitnya tuh di mana-mana!).
Sehari kemudian, kami berkendara empat jam menuju Italian Alps. Karena di sana ada beberapa lagi tanjakan legendaris. Bahkan dengan ketinggian lebih menakjubkan, atau dengan kemiringan lebih “menghancurkan” kaki. Yang pertama –dan paling kondang– adalah Passo dello Stelvio. Puncak Stelvio itu adalah jalan aspal tertinggi kedua di Eropa (2.758 m).
Julukannya puncak tiga bahasa, karena tempat bertemunya bahasa Italia, Jerman, dan Rumania. Di sekitar puncaknya juga ada garis perbatasan antara Italia dan Swiss.
Melihat angkanya, inilah tanjakan yang termasuk paling sering jadi Cima Coppi. Bahkan, para pebalap yang jadi juara di puncaknya seperti otomatis menjadi legenda.
Tidak hanya kondang di sepeda, bagi motorists, Stelvio juga rute yang mengesankan. Acara televisi Top Gear pernah menyebut Stelvio sebagai “greatest driving road in the world”. Bahkan, merek mobil Italia, Alfa Romeo, menamai salah satu SUV mereka “Stelvio”. Makanya di sana, jangan heran kalau bukan hanya bertemu dengan cyclist. Ada banyak penghobi motor besar, juga banyak mobil sport eksotis, yang melintas!
Kalau penasaran, tanjakan itu bisa “ditaklukkan” lewat tiga sisi. Dua via Italia, satu via Swiss. Semua bertemu di ujung puncak yang berbumbu salju walau di musim panas. Pada 4 Juli lalu, pada hari ulang tahun saya, kami langsung merasakan ketiganya. Dua naik, satu turun.
Rute total 106 km itu bermula di Kota Bormio, tempat kami menetap, di ketinggian sekitar 1.200 meter. Dari sana, jalan menyambung langsung menuju puncak Stelvio. Total 21 km, sambil melewati 38 tornante alias kelok. Dibilang berat mungkin tidak terlalu, karena kemiringannya tergolong “normal”, mayoritas 7–10 persen, rata-rata 7,1 persen.
Tapi, tidak sampai ke puncak, kami belok sekitar 3 km dari puncak. Kami menuju utara, melewati garis perbatasan Swiss (di dekat puncak itu), lalu terus turun lewat Umbrial Pass, menuju kota bernama Santa Maria.
Nah, kalau mau, ini satu lagi tanjakan menuju Stelvio, dari sisi Swiss. Begitu sampai di Santa Maria, kami melewati lagi perbatasan, masuk lagi ke Italia. Lalu, terus melaju relatif datar ke arah Prato, karena dari sanalah tanjakan Stelvio yang paling populer bermula.
“Isi bensin” dulu alias light lunch (jangan makan terlalu banyak sebelum menanjak), baru kami memulai program paling mengesankan itu.
Dari Prato ke puncak Stelvio, kemiringan rata-ratanya 7,4 persen. Hanya sedikit lebih berat dari sisi Bormio. Tapi, karena ketinggian Prato di bawah 1.000 meter, dibutuhkan perjalanan lebih jauh menuju puncak. Total 24 km, melewati 48 tornante (kelok).
Di setiap kelokan itu ada penanda angkanya. Di satu sisi, itu menolong, karena kita bisa tahu ada beberapa belokan lagi yang harus dilewati. Di sisi lain, itu juga menyiksa, karena kita harus menghitung berapa belokan lagi yang harus dilewati!
Tapi, pemandangannya memang sulit ditandingi. Di bawah 20 km perjalanan, pepohonan menjadi penyejuk. Lalu, saat ketinggian melewati angka 2.000 meter, tiba-tiba tidak ada lagi pohon. Dan semakin lama kita semakin seja jar dengan dinding-dinding salju di seberang.
Menengok ke bawah, wow, jalanan berkelok itu begitu menakjubkan. Silakan ketik “Stelvio” di search engine mana pun, dan gambar-gambar kelokan itu akan mendominasi. Melihatnya secara langsung, jauh lebih luar biasa.
Di atas, udara semakin tipis, napas semakin sulit. Beberapa di antara kami mengaku pusing-pusing. Obatnya adalah pemandangan itu, sekaligus rasa bangga bisa terus bersepeda menanjak menuju puncak.
Adik saya, Isna Fitriana, dengan bangga bilang hanya berhenti sekali saat menuju puncak. Dan dia mengomel bangga begitu melewati garis “Cima Coppi”, di puncak Stelvio. “Aku tidak akan melakukan ini kalau bukan gara-gara kamu!” teriaknya saat melewati garis puncak.
Dia tidak sendirian, beberapa teman juga “memberi judul” penuh umpatan pada perjalanan ke Stelvio ini, yang total elevation gain alias menanjaknya menembus angka 3.200 m (karena dari dua sisi). Tapi, umpatannya bernada positif karena semua benar-benar lega bisa menjalaninya.
Kami menandai pencapaian itu bukan hanya lewat foto-foto. Selain beberapa hotel dan kafe, di puncak Stelvio ada banyak toko suvenir. Kami membeli emblem untuk dijahitkan ke jersey yang kami kenakan. Bahwa itulah jersey yang kami pakai waktu ke Stelvio!
Menanjak Stelvio ini memang impian banyak cyclist (dan motorist). Kalau membaca review atau komentar-komentar di forum online, banyak yang menyebut menanjak Stelvio sebagai hari terindah mereka.
Sony Hendarto, kolektor sepeda custom terkenal asal Madiun, ikut mewujudkan impiannya hari itu. Kami sudah membicarakan Stelvio ini sejak enam tahun lalu, saat kami memulai tradisi “tur tahunan” ke event-event cycling kondang. Bahwa suatu saat kami harus naik ke Stelvio. “Sebagai cyclist, tanjakan ini harus dijalani sebelum mati,” ucapnya.
Raymond Siarta dari Surabaya juga mengaku tidak akan pernah melupakan hari itu. “Perayaan ulang tahun kok sulit sekali. Ini perayaan ulang tahun teman yang tidak akan pernah aku lupakan seumur hidup,” celetuknya sambil bersandar ke dinding batu dengan nada mengomel lucu.
Apes untuk Raymond, menanjak Stelvio bukanlah siksaan terakhir perjalanan ini. Masih ada tanjakan Cima Coppi lain, plus satu lagi tanjakan yang namanya berhubungan dengan “kematian”… (*)
LOGIN untuk mengomentari.