Pemilihan Wali Kota Padang tinggal menghitung bulan. Kurang dari 7 bulan lagi Pilkada Ibu Kota Sumbar ini akan diselenggarakan. Bahkan KPU Kota Padang sudah mulai melakukan sosialisasi agar partisipasi pemilih bisa meningkat dibandingkan dengan pilkada sebelumnya.
Tidak tanggung-tanggung target yang ditetapkan KPU, mencapai 77,5 persen pemilih. Jelas sesuatu yang hampir sulit untuk dicapai jika dilihat kinerja KPU Kota Padang selama ini. Apalagi sosialisasi yang dilakukan belum terasa gezahnya.
Sebagai perbandingan Pilkada Kota Padang putaran kedua pada Maret 2014 yang lalu hanya dihadiri oleh 53,38 persen pemilih saja. Karenanya partisipasi pemilih ini satu hal yang perlu menjadi perhatian dari banyak pihak, termasuk KPU. Namun dalam konteks yang lain, justru yang menarik untuk didiskusikan adalah siapakah kandidat wali kota yang berpeluang memenangkan Pilkada Juni 2018 mendatang?
Jika diperhatikan nama-nama yang muncul saat ini, tidak lebih adalah mereka yang sebenarnya berkeinginan maju sebagai pendamping calon petahana. Nama-nama tersebut tidak dalam kondisi yang “sungguh-sungguh” untuk mencalonkan diri sebagai wali kota. Kebanyakan mereka justru sedang menunggu pinangan calon wali kota petahana yang digadang-gadangkan oleh banyak lembaga survei masih memimpin perolehan suara masyarakat Padang.
Sebut saja Mahyeldi Ansarullah yang saat ini surveinya masih mengungguli calon petahana lainnya, yaitu Emzalmi. Walaupun Emzalmi sudah mendeklarasikan calon wakilnya adalah Desri Ayunda, namun tentu ini bukan pilihan yang tidak bisa dinegosiasikan. Apalagi pasangan Emzalmi-Desri tersebut tidak berasal dari kader partai tertentu.
Bagi partai politik komposisi yang sesuai dengan kepentingan politik mereka adalah tujuan yang harus mereka wujudkan. Faktanya, kedua pasangan ini masih mencari partai politik yang bersedia mengusung mereka dalam pilkada mendatang.
Justru yang “kebingungan” sekarang adalah Mahyeldi dalam mencari pasangan untuk mendampinginya dalam pilkada mendatang. Sebagai calon terkuat, sebenarnya Mahyeldi tidak perlu repot mencari pendampingnya sebagai calon wakil wali kota. Namun, yang jadi persoalan adalah kursi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menjadi kendaraan Mahyeldi tidak cukup untuk mengusung pasangan calonnya sendiri.
Mau tidak mau, PKS yang hanya memiliki 5 kursi dari 9 kursi yang harus dipenuhi harus berkoalisi dengan partai lain yang memiliki kursi di DPRD Padang. Karenanya tidak perlu heran jika akhir-akhir ini elite partai politik lain melakukan komunikasi yang intensif dengan elite PKS. Tujuannya adalah untuk menawarkan koalisi dan kader yang siap mendampingi Mahyeldi. Tentu ini bukan pilihan yang mudah bagi PKS.
Pertama, dalam hitungan jangka pendek tentu ini tidak menjadi persoalan bagi PKS, karena siapa pun yang berpasangan dengan Mahyeldi, dalam hitungan survey masih unggul dibandingkan dengan pasangan lain termasuk Emzalmi-Desri. Artinya, siapa saja yang akan berpasangan dengan Mahyeldi berpeluang besar untuk memenangkan pilkada. Karenanya partai politik pemilik kursi di DPRD berusaha menawarkan kadernya untuk berpasangan dengan Mahyeldi sebagai calon wakil wali kota.
Kedua, dalam hitungan jangka panjang PKS dan partai politik lain juga akan menghadapi pemilihan gubernur tahun 2020. Walaupun ada kader lain yang disiapkan, namun itu semua tetap bergantung pada elektabilitas dari calon tersebut. Faktanya, Mahyeldi dianggap “sukses” memimpin Kota Padang oleh mayoritas masyarakat, tentu memiliki modal besar dalam kontestasi gubernur mendatang. Apalagi jumlah pemilih Kota Padang termasuk yang terbanyak di Sumatera Barat.
Oleh karena itu, diprediksi Mahyeldi akan mundur sebagai wali kota dan akan maju mencalonkan diri sebagai gubernur atau wakil gubernur pada pilkada tahun 2020. Posisi jabatan wali kota otomatis akan diganti oleh wakilnya. Dapat dibayangkan, kalau wakil yang dipilih PKS dalam Pilkada Padang mendatang berasal dari partai lain? Tentu ini berdampak pada kekuatan PKS di Kota Padang yang selama ini menjadi basis politik utama mereka. Di sinilah dilemanya. Lalu, apakah PKS akan bersedia memberikan kursi wakil wali kota ke partai lain dalam pilkada mendatang? Inilah yang menarik ditunggu.
Poros Baru? Memang banyak wacana yang memunculkan poros baru untuk menghadapi calon dari petahana ini. Menariknya poros baru ini diwacanakan oleh calon-calon muda yang potensial. Sebut saja ada nama Andre Rosiade (Gerindra) , Hendri Septa (PAN), Maidestal Hari Mahesa (PPP) dan Faldo Maldini (PAN). Sayangnya perjuangan untuk membesarkan poros baru ini tidak cukup bertenaga, karena keyakinan mereka untuk menang juga kecil. Akibatnya, tokoh muda ini lebih menunggu pinangan dari Mahyeldi ketimbang berusaha melawannya dalam pilkada.
Seandainya poros baru ini pun dibentuk untuk menghadang calon petahana agar tidak kembali berkuasa, menurut saya ini pun akan sulit mendapat dukungan masyarakat. Paling tidak ada beberapa alasan. Pertama, dari berapa kali survei yang dilakukan Spektum Politika, masyarakat ternyata menginginkan pemimpin yang sudah berpengalaman dalam pemerintahan.
Ukuran berpengalaman ini bagi masyarakat adalah adanya bukti kerjanya untuk masyarakat ketika menjabat dalam pemerintahan. Kedua, kepuasan masyarakat terhadap kinerja kedua calon petahana ini cukup tinggi dengan angka di atas 70 persen. Tentu ini menjadi modal utama yang tidak dimiliki oleh calon lain. Ketiga, dari segi popularitas baik Mahyeldi maun Emzalmi cukup tinggi dibandingkan calon-calon lain yang ingin membentuk poros baru tersebut. Jelas ini pekerjaan yang sangat berat untuk membentuk poros baru, kalau tidak mau dikatakan akan “sia-sia.”
Walaupun begitu, dalam politik tentu tidak ada yang tidak mungkin. Apalagi persoalan pilihan politik bagi masyarakat adalah sesuatu yang sangat personal. Data survei hanya bisa memprediksi kecederungan yang terjadi dalam masyarakat pada satu waktu. Sementara, dinamika politik sangat cepat berubah dan turut mempengaruhi persepsi dan perilaku masyarakat.
Sayangnya, hingga saat ini calon-calon muda yang potensial tersebut lebih banyak sekadar berwacana saja sambil berharap menjadi wakil wali kota ketimbang walikota itu sendiri. Barangkali mereka sangat memahami kata-kata bijak dalam politik. If you can not beat him. Join him! (*)
LOGIN untuk mengomentari.